October 15, 2024

Fritz Edward Siregar: Jalan Terjal Penegakan Hukum Politik Uang

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) periode 2017-2022, Fritz Edward Siregar, menceritakan pengalaman penegakan hukum pemilu terkait kasus politik uang. Ia mengaku, memberantas politik uang bukan hal mudah. Tantangan tak hanya datang dari para pelaku, tetapi juga dari rekan di dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dan celah di undang-undang (UU) politik dan UU yang berkenaan dengan hukum pidana.

Simak cerita Fritz pada diskusi “Peta Jalan Pencegahan Politik Uang di Pilkada” yang diselenggarakan oleh Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) di Gondangdia, Jakarta Pusat (30/5) dalam bentuk wawancara.

Apakah Bawaslu mengklasifikasikan politik uang sehingga penegakan terhadapnya dapat lebih efektif?

Dalam konteks Bawaslu, ada empat hal yang harus dispesifikasikan soal politik uang. Pertama, di konteks pilkada, ada mahar politik. Aturannya ada di Pasal 46. Seorang calon tidak boleh memberikan imbalan kepada orang lain dalam proses pencalonannya sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Kalau dia memberi atau menerima imbalan, dia bisa didiskualifikasi.

Kedua, dana kampanye. Pada saat seseorang menerima sumbangan dana kampanye lebih besar dari yang seharusnya, atau dia tidak melaporkan atau menerima dari sumber yang dilarang, dia didiskualifikasi.

Ketiga, vote buying. Pasal 73 menyebutkan mempengaruhi orang untuk dapat dipilih atau kehilangan hak pilih. Sanksinya adalah pidana penjara.

Keempat, vote buying yang dilakukan secara TSM (terstruktur, sistematis, dan masif). Pelakunya bisa didiskualifikasi. Aturan ada di Pasal 73 dan 135 UU Pilkada.

Apa yang sudah dilakukan Bawaslu dalam penanganan politik uang berbentuk vote buying?

Bawaslu membuat proyek risk management. Kita mengklasifikasi politik uang itu sepeti apa. Kita melihat putusan pengadilan dan pendapat para ahli. Hasilnya akan kita jadikan buku dan pegangan saat membahas politik uang.

Beberapa waktu lalu kami juga berdiskusi dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). PPATK mengatakan, saat seorang calon menjadi kepala daerah, maka ada peningkatan terhadap jumlah transaksi keuangan yang masuk ke rekening mereka. Sampai sekarang, jumlah itu stabil. Jadi, kita prediksikan, apakah selama bulan ramadhan ini, saat orang mau bayar zakat, infaq, dan sedekah, ada transaksi keuangan yang semakin meningkat di tanggal-tanggal tersebut? Itu salah satu indikator yang harus kami amati.

Apakah proyek risk management ini strategis?

Begini, kewenangan Bawaslu untuk menindak politik uang memang diperkuat oleh UU Pemilu No.7/2017. Pembuat UU, di situ, seolah menegaskan bahwa politik uang adalah masalah kita bersama. Namun, penegakan hukum terhadap politik uang menjadi terhambat di Sentra Gakkumdu. Dari kacamata kepolisian, oke barangnya diterima, uang diterima. Tapi, mana unsur mempengaruhi hak pilihnya? Dari mana kita tahu bahwa dia menerima uanga tau barang dan dia akan memilih orang yang disuruh untuk dipilih? Kan pemungutan suaranya belum ada. Kalau dia memilih orang lain bagaimana? Jadinya kan gak terpenuhi unsur mempengaruhi hak pilih.

Nah, unsur mempengaruhi hak pilih di UU ini yang menjadi hambatan dalam proses penegakan hukum politik uang. Ini yang membuat, tunggu dulu dia menang, baru hukumnya berjalan. Kalau dia gak menang, berarti kan gak ada gunanya ditindak. Itu kacamata kepolisian.

Berarti kepolisian yang menghambat proses penegakan hukum terhadap politik uang? Bagaimana dengan pengadilan?

Ada beberapa putusan yang progresif dari hakim dan kepolisian, tapi masih banyak putusan yang harus berhenti di kepolisian atau pengadilan karena konsep mempengaruhi hak tadi. Trendnya, di 2017, dari seluruh perkara yang kami masukkan ke pengadilan, yaitu ada 49 perkara, yang diputus baru 9. Di 2018, ada 6 yang kami sampaikan ke penyidikan. Yang diputus hakim baru 3. 2 dipidana, 1 dibebaskan. Untuk 2018 memang masih sedikit karena belum masuk hari terakhir kampanye, dimana di situlah trend politik uang akan terjadi.

49 perkara ini, bukankah angka yang sebenarnya terbilang minim?

Ya memang, tapi angka itu adalah angka yang berhasil masuk ke Sentra Gakkumdu. Jumlahnya tidak mengatakan bahwa hanya ini laporannya. Laporan pelanggaran politik uang jauh lebih banyak dari angka 49. Tapi sekali lagi, meyakinkan Sentra Gakkumdu, kepolisian, untuk pelanggaran politik uang ini susah.

Apakah Bawaslu membuat sebaran wilayah dengan jumlah pelanggaran politik uang yang tinggi?

Ada, sebarannya di Maluku Utara, Jawa Barat, Bangka Belitung, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Riau, dan Kalimantan Timur.

Bisa diceritakan Pak, succes story yang Bawaslu pernah alami saat memberantas politik uang?

Memang ada beberapa kisah sukses dan sedih ya. Di Babel (Bangka Belitung), salah seorang calon mengisi token listrik di dua ribu rumah. Apakah itu politik uang? Menurut polisi, itu bukan politik uang. Itu kegiatan lain.

Di Jawa Tengah, saat rapat, dibagi-bagikan uang. Hakimnya agak progresif. Kata dia, seharusnya yang dihukum bukan si pemberi uang tetapi orang yang menyediakan uang. Jadi, si pemberi uangnya tidak dikenakan sanksi.

Lalu kasus di Kuningan. Si bapak, pertama dia dipidana tiga tahun, tapi jaksanya naik banding ke Mahkamah Agung, akhirnya dapat hukuman enam bulan.

Kasus lain di Majene, terpidana memberikan uang 50 ribu rupiah. Kebetulan ditangkap oleh Panwascam (Panitia Pengawas Kecamatan), dilaporkan dan dipidana.

Di Kendari, ada amplop berisi uang. Dia tunjuk orang untuk ngasih-ngasihin ke orang. Hakim menyatakan itu perbuatan melawan hukum.

Sayangnya, kisah sukses ini tidak ada di banyak tempat. Banyak hakim yang berpikiran berbeda sehingga akhirnya kasusnya gak bisa lanjut.

Ada beberapa kisah kegagalan Bawaslu membawa kasus politik uang sampai kepada pemberian sanksi oleh pengadilan. Sebenarnya, apa yang mesti dilakukan Bawaslu untuk meyakinkan Sentra Gakkumdu agar mereka memproses kasus-kasus ini?

Sepanjang perjalanan kita dalam menegakkan hukum terhadap politik uang, ada hal-hal khusus yang harus jadi perhatian. Pertama, penegakan hukum pidana pemilu terkait uang itu tidak fokus kepada UU Pilkada. Misal, untuk menangkap orang, harus ada beberapa hari dia harus dipanggil. Kalau dia lari bagaimana?

Banyak kasus seperti di Lampung. Dia bagi-bagikan uang, sudah ditetapkan sebagai tersangka, kemudian dia lari. Setelah lewat masa daluwarsanya, dia balik lagi. Dia bilang, saya minta dong status tersangka saya dilepas, kan sudah masuk daluwarsa. Nah, untuk melakukan penegakan politik uang ini tidak semudah yang dibayangkan.

Hal lain yang harus dikejar oleh Bawaslu adalah bahwa pasal itu mengatakan setiap orang. Ada korporasi yang menyediakan uang begitu banyak kepada calon. Nah, kami harus menentukan siapa orang yang memberikan uang. Kalau diselidiki tidak menemukan adanya hubungan antara yang diberi dengan pemberi, maka kasus jadi lamban.

Laporan-laporan pelanggaran itu kan biasanya dilaporkan dari pengawas di tingkat lapangan. Adakah ancaman terhadap pengawas lapangan dari para pihak yang dilaporkan?

Tentu. Beberapa hari ini, beberapa Panwascam kita dilaporkan di Lampung karena melakukan penelusuran terhadap politik uang. Dia dilaporkan ke Timses (Tim sukses). Nah, kami duga, kasus pelaporan Panwascam oleh Timses akan muncul lagi di daerah-daerah lain. Setiap anggota Panwascam menelusuri, mereka akan dilaporkan ke kepolisian dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan, masuk ke daerah orang lain, dan lain-lain.

Kasus mahar politik La Nyalla, Pak. Sampai mana kasusnya? Apakah hanya bentuk politik uang vote buying saja yang baru diputus di pengadilan, sedangkan bentuk mahar politik belum ada?

Soal La Nyalla nanti di kesempatan lain akan saya ceritakan. Mahar politik membuktikannya susah. Kasus Palangkaraya saja, dimana pemberi dan penerima mengaku adanya mahar politik, tapi tidak bisa ditindak karena buktinya tidak ada. Uangnya sudah habis. Nah, ini bagaimana kita menceritakan ke polisi kalau mahar itu ada, tapi buktinya gak ada? Apa pengakuan saja cukup? Bagi yang belajar pidana pasti mengerti bahwa satu bukti saja tidak cukup.