September 13, 2024

Kisruh PKPU 20 Berlanjut, Episode Kedua Tom and Jerry Penyelenggara Pemilu

Norma di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.20/2018 yang mengatur agar partai politik peserta pemilu tak mencalonkan mantan narapidana tiga kasus kejahatan, yakni korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba, dan PKPU No.14/2018 yang melarang mantan narapidana tiga kasus yang sama untuk mencalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ditentang oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Tak beranjak dari argumentasi awal sejak norma ini diwacanakan dalam uji publik PKPU, Bawaslu menilai norma ini tak sesuai dengan norma di Undang-Undang (UU) Pemilu No.7/2017 dan hak asasi manusia (HAM). Disayangkan, pasca PKPU No.20/2018 diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Bawaslu tak menempuh proses uji materi di Mahkamah Agung (MA) dan membiarkan jajarannya di provinsi dan kabupaten/kota meloloskan mantan narapidana kasus korupsi melalui penyelesaian sengketa.

Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Adelline Syahda, menilai Bawaslu tak gentleman. Jika tak sepakat dengan Pasal 4 PKPU No.20/2018, Bawaslu semestinya mengambil ruang uji materi di MA. Sengketa di Bawaslu bukan ruang untuk menafsirkan UU.

“Seharusnya Bawaslu menggunakan jalur uji materi di MA sedari awal. 30 hari waktu diberikan oleh UU. Tapi Bawaslu tidak menggunakan jalur ini secara gentleman. Bawaslu tidak taat hukum, tidak menggunakan jalur hukum yang tersedia,” tandas Adel pada diskusi “Putusan Bawaslu dan Lampu Hijau Mantan Napi Korupsi Jadi Caleg” di Media Centre KPU, Menteng, Jakarta Pusat (16/8).

Adel juga mempertanyakan legal standing pemohon sengketa di Bawaslu daerah. Pasalnya, yang dilarang di dalam PKPU 20 adalah partai politik, bukan perseorangan. Pun Berita Acara yang menjadi objek sengketa ditujukan kepada partai politik.

“Kalau yang mengajukan sengketa adalah perseorangan, apakah sesuai dengan legal standing-nya? Apakah ini tidak menjadi benturan terhadap regulasi?” tukas Adel.

Curhat KPU

Anggota KPU, Wahyu Setiawan menceritakan bahwa pihaknya telah bersurat kepada Bawaslu untuk meminta Bawaslu mengoreksi putusan Bawaslu Aceh, Toraja Utara, dan Sulawesi Utara. Wahyu juga telah berkomunikasi secara informal dengan anggota Bawaslu, guna mencegah sengkarut lebih lanjut. Namun katanya, Bawaslu menafikan PKPU 14 dan PKPU 20.

“Saya tanya pandangan teman-teman Bawaslu terhadap PKPU. Kami ingin menyamakan cara pandang. Ternyata, kesimpulan saya atas diskusi informal itu, mereka menafikan PKPU,” ujar Wahyu.

Menurutnya, selama PKPU 14 dan PKPU 20 belum dibatalkan oleh MA, semua pihak, termasuk Bawaslu, terikat oleh seluruh norma yang diatur. Semestinya Bawaslu mengawasi tata cara dan prosedur yang dijalankan oleh KPU sesuai dengan PKPU, bukan menafsirkan PKPU terhadap UU Pemilu.

“Mestinya Bawaslu menjadikan PKPU sebagai standar pelaksanaan. Kalau KPU sudah benar sesuai PKPU, benarkan. Kalau salah, salahkan. Jadi, Kita minta Bawaslu melakukan koreksi atas keputusan bawahannya di tiga tempat itu,” kata Wahyu.

Sikap Bawaslu kontradiktif dengan Pakta Integritas

Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (Pusako Unand), Feri Amsari menilai kehadiran Putusan Bawaslu daerah kontradiktif dengan Pakta Integritas yang dikeluarkan oleh Bawaslu untuk semua partai politik peserta pemilu. Bawaslu menghendaki agar tak ada satu pun partai yang mencalonkan mantan narapidana korupsi, namun putusannya meloloskan bacaleg mantan narapidana korupsi.

“Tindakan Bawaslu itu menunjukkan kontradiktif dengan sikap Bawaslu sendiri. Kasus di tiga daerah, menunjukkan mereka gak punya wibawa begitu Pakta Integritas itu ditandatangani. Mestiya, seluruh jajaran Bawaslu menaati itu. bukan malah jadi juru selamat bagi para koruptor yang ingin maju di Pileg,” tegas Feri.

Salah satu pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), Hadar Nafis Gumay menyatakan bahwa sumber masalah dari sikap Bawaslu yang menafikan PKPU adalah tak dimasukkannya PKPU sebagai acuan pengawasan di dalam Perbawaslu. Hal ini dinilai mengherankan, sebab perintah UU Pemilu agar Bawaslu mengacu pada seluruh peraturan perundang-undangan, dan PKPU merupakan peraturan perundang-undangan.

“Di Perbawaslu itu, tidak ada poin menimbang atau memperhatikan PKPU.  Ini jadi problem-nya. KPU diperintahkan oleh UU untuk membuat tata cara lebih lanjut. Kalau tidak mengacu pada PKPU, kemudian Bawaslu mengawasi tata cara yang mana? Padahal, kalau kami tanya mana Perbawaslunya, mereka bilang menunggu PKPU. Kalau tidak mengacu PKPU, ngapain menunggu?” tandas Hadar.

Sikap anti korupsi Bawaslu ditunggu, stop korupsi dari hilir

Feri menagih pernyataan Bawaslu yang mengatakan bahwa Bawaslu sepakat dengan semangat anti korupsi. Bawaslu didorong untuk menangkap semangat kebatinan publik yang tak ingin adanya caleg mantan koruptor dan memahami substansi pendirian lembaga penyelenggara pemilu serta substansi pencalonan legislatif yang dikehendaki oleh konstitusi.

“Bawaslu, dalam substansinya terhadap proses pencalonan legislatif adalah memastikan agar lembaga legislatif diisi oleh orang-orang baik. Ibaratnya penjual buah, buah yang sudah busuk, ada ulatnya, ngapain dimasukin ke keranjang sehingga pembeli bisa membelinya. Hanya penjual yang sesat dan jahat kalau buah sudah busuk tapi dijual kembali sehingga orang bisa membelinya dan dia dapat keuntungan dari itu,” urai Feri.

Memperkuat pernyataan Feri, Mulki Sadr, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Indonesia mengemukakan penelitian yang dilakukan oleh Marco R. di Amerika. Hasil penelitian menunjukkan, masih terpilihnya mantan narapidana korupsi di Amerika disebabkan oleh pemilih yang tak tahu informasi rekam jejak calon. Pemilih yang tersebar di berbagai daerah dengan keterbatasan jangkauan informasi, memungkinkan terpilihnya mantan narapidana korupsi.

“Jadi, simply karena pemilih tidak tahu, tidak paham. Nah, Pemilu 2019 yang lima kotak nanti, waktu untuk memahami lima pihak ini tidak singkat. Ada urgensi negara melindungi orang-orang yang tidak mendapatkan akses informasi untuk terhindar dari pilihan yang tidak dia sadari,” kata Mulki.

Ia kemudian menjelaskan, bahwa konstitusi membuka ruang untuk diadakannya pengecualian terhadap mantan narapidana korupsi. Dalam konteks impeachment, presiden dapat dijatuhkan dari posisinya jika terbukti melakukan korupsi atau tindakan pengkhianatan kepada negara.

Bawaslu didorong untuk menahan diri agar tidak melakukan hal di luar logika hukum dan wewenang yang diberikan. Bawaslu diharapkan dapat mencontoh Mahkamah Konstitusi (MK) yang pernah menggagalkan calon kepala daerah di Bengkulu Selatan karena yang bersangkutan merupakan mantan narapidana korupsi. Namun, meskipun menyatakan yang bersangkutan tak dapat menjadi kepala daerah, MK menahan diri untuk tidak membatalkan peraturan UU karena kasus yang diselesaikan MK bukanlah uji materi terhadap UU melainkan sengketa hasil pemilu.

“Bawaslu mestinya bisa menahan diri seperti MK. Kalau mau menguji PKPU, ujilah ke MA. Bawaslu harusnya tidak melakukan interpretasi karena tugas pengawasan lebih besar pada administratif,” ujar Mulki.

Unpredictable process, ancaman bagi Pemilu 2019

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengingatkan bahaya dari tak adanya kesamaan cara pandang pada lembaga penyelenggara pemilu. Sebagaimana pernah disebutkan oleh ahli kepemiluan Indonesia, Ramlan Surbakti, hal ini dapat menyebabkan terjadinya fenomena unpredictable process atau proses pemilu yang tak dapat diprediksi. Jika tata cara yang telah dibuat ditentang oleh sesama penyelenggara, maka proses pemilu menjadi tak berkepastian hukum bagi publik dan peserta pemilu.

“Sama seperti kasus Sipol (Sistem Informasi Partai Politik) kemarin, peserta pemilu kembali menghadapi unpredictable process. Nah, potensi yang seperti ini bisa terulang lagi, kalau Bawaslu dan KPU terus punya cara pandang berbeda,” jelas Titi.

Perludem, KoDe Inisiatif, Indonesia Corruption Watch (ICW), NETGRIT, Pusako Unand dan PSHK Indonesia mendorong Bawaslu untuk mengoreksi putusan Bawaslu di tiga daerah. Perdebatan mengenai norma larangan mantan narapidana tiga kasus kejahatan luar biasa mestinya telah selesai sejak PKPU diundangkan. Bawaslu mesti tunduk pada peraturan UU Pemilu bahwa PKPU yang belum dibatalkan oleh MA mengikat semua pihak.копирайтинг с чего начатьmobile ad server