August 8, 2024

Titi Anggraini: 6 Tantangan Penyelenggara Pemilu Hadapi Pemilu Terberat Sepanjang Sejarah

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menjabarkan lima tantangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 yang disebutnya sebagai sistem super ribet sedunia yang pertama kali diterapkan di Indonesia. Titi tak hanya menyinggung persoalan teknis penyelenggaraan, tetapi juga kebutuhan untuk menjaga integritas kelembagaan, sifat kolektif kolegial dalam keanggotaan di KPU, serta jaminan hak pilih dan hak memperoleh informasi yang benar. Simak selengkapnya dalam format wawancara.

Apa tantangan utama penyelenggara pemilu 2019 menurut Ibu?

Menurut saya, hal paling penting dalam penyelenggaraan pemilu di mana pun adalah kepercayaan publik. Nah, bagaimana membuat publik percaya adalah tentang bagaimana kita bisa membuat pemilih terinformasi dengan baik soal hal-hal kepemiluan, seperti hukum pemilu, teknis penyelenggaraan pemilu, manajemen pemilu, dan hal-hal lain. Kalau publik terinformasi dengan baik, kita akan lebih mudah meyakinkan bahwa penyelenggara pemilu sudah menyiapkan pemilu sesuai dengan aturan hukum, sesuai dengan konstitusi.

Kepercayaan publik ini juga merupakan fondasi penting penyelenggaraan pemilu, agar kita bisa membedakan mana praktik pemilu yang hanya sekadar berpemilu, dan mana pemilu yang demokratis.

Nah, karena Pemilu 2019 adalah pemilu yang paling berat dalam perjalanan bangsa kita, maka mendapat kepercayaan publik terhadap proses dan hasil Pemilu 2019 adalah wajib. Di tengah politik kita yang amat terpolarisasi, maraknya hoaks, tantangan utama penyelenggaraan pemilu adalah menyelamatkan pemilih dari informasi bohong.

KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) berada di tengah-tengah kelompok yang terbelah.. Satu, diasosiasikan sebagai penguasa atau petahana, satu lagi oposisi. Nah, KPU sering dijebak untuk masuk ke narasi kontestasi itu. Contoh, kasus kotak suara karton. Ketika suara untuk mengkritisi itu datang dari oposisi, semenetara kelompok petahana cendeurng bisa memahami keberadaan kotak suara karton, lalu narasi KPU seolah-olah dibawa sama dengan kelompok penguasa. Padahal, kontesknya beda.

Maka, tantangan terbesar KPU adalah bagaimana membebaskan pemilih dari kebohongan atau pengaruh yang menyesatkan, atau tekanan pada pemilih. Di masa sekarang ini, ada narasi politik yang terdikotomi. Kalau KPU tidak membangun narasi atas identitas dirinya sebagai lembaga yang mandiri, nonpartisan, dan kredibel, dia akan tertarik ke narasi-narasi kelempok ini.

Menurut saya, KPU harus memahami betul situasi saat ini. Karena publik, ketika KPU narasinya A, dia akan bilang KPU adalah A. Begitu sebaliknya. Ini situasi yang akan KPU hadapi.

Baik. Lalu apa tantangan yang kedua?

Konsep kolektif kolegial. Selama ini, saya merasa kolektif kolegial dalam informasi dan penguasaan tata kelola pemilu di KPU tidak berjalan dengan maksimal. Misal, masalah DPT (Daftar Pemilih Tetap), hanya dikuasasi oleh Viryan. Saya rasa penting agar semua informasi dikuasai oleh seluruh anggota.

Tantangan ketiga?

Baru masuk ke tantangan teknis. Pemilu 2019 itu kompleksitas teknis pungut-hitungnya luar biasa. KPU bisa mendesain peraturan dengan sangat bagus, tapi mungkin saja pemahaman itu tidak sampai ke bawah. Misal, disabilitas mental. Pengalaman 2018, ternyata pemahaman KPU soal hak pilih penyandang disabilitas mental tidak dipandang utuh oleh banyak jajaran di bawah. Makanya merekea minta surat dokter, kalau ada surat dokter, baru dikasih.Oleh karena itu, KPU harus memastikan 7 juta personilnya bekerja sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan oleh KPU.

Lanjut ke tantangan keempat.

Tantangan kemandirian dan integritas. Sistem kita masih proporsional terbuka. Di 2009, sistem itu banyak dikatakan kanibal. Nah, di 2019, KPU akan adadi tengah kompetisi dengan tarik-menarik yang kuat. Kompetisi sangat mungkin akan curang. Maka, KPU harus kawal jajarannya hingga di tingkat paling bawah untuk menjaga kemandirian dan integritasnya.

Tantangan kelima? Bagaimana soal sistem informasi KPU yang serin dipersoalkan?

Betul! Itu juga jadi tantangan dalam penyediaan layanan informasi yang cepat. Salah satu tolak ukur pemilu itu baik atau tidak adalah hasil yang cepat. Kita sudha terbiasa dengan adanya hasil cepat sejak 2014. KPU menginformasikan hasil penghitungan di TPS melalui Situng (Sistem Informasi Penghitungan). Maka, selagi memastikan personil di lapangan bisa beradaptasi dengan kompleksitas teknis yang ada, pastikan juga KPU tidak kedodoran untuk mentransparansi hasil cepat tadi. Itu adalah bentuk pelayanan informasi yang cepat.

Ibu sering menyorot mengenai perlindungan hak pilih. Apakah pasca penetapan DPT Hasil Perbaikan kedua, masalah hak pilih masih akan menjadi tantangan, mengingat masih banyak pemilih yang belum memiliki KTP elektronik?

Memang imbasnya kalau perekaman KTP elektronik disamakan dengan syarat pilih, seperti halnya berusia minimal 17 tahun. Ini tentu menjadi tantangan, karena nyata, ada warga negara berhak pilih yang sudah merekam KTP elektronik, tapi belum punya fisiknya, dan dia tidak terdata di DPT. Salah satu staf kami di Perludem mengalami itu.

Jalan keluarnya, KPU dan Bawaslu harus memastikan, bagaimana mereka yang seperti itu, bisa tetap menggunakan hak pilihnya. Perlindungan hak pilih harus dilakukan sampai pada hari H pemungutan suara.

Banyak sekali tantangan. Apa rekomendasi yang Ibu berikan?

Satu, KPU harus membuat prioritas kerja dengan baik. Mana yang harus didahulukan dibandingkan dengan yang lain, tanpa  mengorbankan tingkat pelayanannya. Di 2019, pergi ke luar negeri itu kan butuh waktu panjang, maka, bisakah yang pergi ke luar negeri itu bukan komisioner?

Dua, memperkuat keterbukaan dan akuntabilitas pelayanan. Data-data caleg (calon anggota legislatif) belum dipublikasikan, data-data DPD (Dewan Perwakilan Daerah) juga belum. Kami berharap, infopemilu.go.id bisa jadi sistem yang mengintegrasikan semua data pemilu. Kita gak bisa mengandalkan metode kampanye untuk mendapat informasi pemilihan, makanya, data yang terintegrasi itu harus dilakukan.

Tiga, KPU harus mengatur komunikasi publik lebih baik dan merespon cepat berbagai informasi yang menerpa KPU. KPU tidak boleh membiarkan informasi bohong mendelegitimasi proses pemilu. Kalau KPU lambat, KPU akan kesulitan mengatur posisi KPU dimana.

Empat, bimtek (bimbingan teknis) bagi petugas pelaksana di lapangan harus sdioptimalkan. Jangan hanya satu-dua orang yang dilatih. Tujuh-tujuhnya harus dapat pelatihan dan bimtek yang cukup. KPU kan bisa menyediakan instrumen sosialisasi dan diseminasi penguatan kapasitas yang mudah diakses. Dalam bentuk video, leaflet, dan pamflet misalnya. Selama ini ada disparitas pemahaman antara KPU RI dengan petugas di lapangan. KPU harus pastikan petugas di lapangan konsisten dan taat aturan.