Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2015 lalu diwarnai dengan penyelenggaraan pilkada dengan calon tunggal. Di Tasikmalaya, Blitar, dan Timor Tengah Utara, pilkada hanya diikuti oleh satu pasangan calon. Beberapa soal terjadi di daerah tersebut. Dari soal tudingan keberpihakan penyelenggara, antusiasme pemilih, hingga signifikannya suara tidak sah.
Gagapnya regulasi jadi sebab beberapa masalah tersebut. Pilkada dengan calon tunggal tak terprediksi sebelumnya. Regulasi yang disusun luput mengatur penyelenggaraan pilkada calon tunggal ini.
Ikhsan Darmawan, pengajar pada Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, mewanti-wanti agar para pembuat aturan pilkada mempersiapkan semua aspek regulasi dengan maksimal agar pilkada dengan calon tunggal berjalan dengan baik, tak tertatih sebagaimana Pilkada 2015 lalu. Berikut wawancara Rumah Pemilu dengan Ikhsan tentang rekomendasi pengaturan penyelenggaraan pilkada dengan calon tunggal.
Apakah ada potensi pilkada dengan calon tunggal?
Potensi itu ada, terlebih regulasi kita sekarang memberikan celah untuk pilkada calon tunggal. UU Nomor 10 Tahun 2016 itu mengakomodasi kemungkinan terjadinya pilkada dengan satu pasang calon, yakni pasal 85 ayat 2b yang menyatakan bahwa pilkada dengan satu calon tetap dapat diselenggarakan dengan cara mencoblos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54C ayat 3.
Apakah persaingan partai politik akan membiarkan terjadinya pilkada calon tunggal?
Menurut saya, elite politik di 101 daerah pemilihan (dapil) Pilkada 2017 sepertinya tidak akan membiarkan pilkada diikuti satu calon, sekalipun mereka berhitung apabila ikut berkompetisi belum tentu akan menang. Akan tetapi, kemungkinan adanya pilkada calon tunggal tetap ada. Paling tidak, bisa jadi, ada juga calon kepala daerah, terutama calon petahana, yang ingin memanfaatkan regulasi ini dengan cara â€memborong†semua dukungan partai politik.
Apa yang bisa jadi rekomendasi perbaikan dari penyelenggaraan pilkada dengan calon tunggal di 2015?
Dari pengalaman di Tasikmalaya dan Timor Tengah Utara, banyak suara tidak sah. Sebab, jika hanya mencoblos gambar dan tidak diikuti mencoblos kotak setuju atau tidak setuju, hal itu dianggap tidak sah. Padahal, tidak sedikit pemilih yang tidak paham mengenai ketentuan itu. Lebih-lebih, syarat sah tersebut berlaku pula untuk pemilih buta huruf.
Lalu, apa yang mesti dibenahi jika terdapat kasus pilkada calon tunggal di 2017?
Saran saya, pertama, model surat suara yang terdapat foto pasangan calon sebaiknya diubah menjadi hanya kotak bertuliskan â€setuju†atau â€tidak setujuâ€. Foto pasangan calon bisa ditaruh di tempat pemungutan suara dan terpisah dari surat suara. Tujuannya untuk menekan kemungkinan terjadinya kekeliruan yang dilakukan pemilih karena mencoblos foto pasangan calon dan tidak mencoblos kotak “setuju†atau “tidak setujuâ€.
Kedua, penyelenggara pemilu harus meningkatkan sosialisasi kepada calon pemilih. Dalam konteks pilkada calon tunggal, tidak sedikit masyarakat yang tidak hadir karena mereka menganggap ketidakhadiran mereka merupakan wujud dari opsi â€tidak setujuâ€. Padahal, memilih tidak setuju harus ditunjukkan dengan hadir dan mencoblos kotak “tidak setuju†sehingga dapat dihitung sebagai perolehan suara.
Ketiga, penyelenggara pilkada harus memberikan wadah dan fasilitas bagi masyarakat yang tidak setuju pada pasangan calon tunggal untuk berkampanye. Hal ini baru disadari ketika masyarakat di Tasikmalaya dan Timor Tengah Utara melakukan demonstrasi sebelum pilkada pada 9 Desember 2015. Mereka menuntut kesetaraan hak dan pengakuan atas pilihan â€tidak setujuâ€.
Saya rasa hal tersebut perlu diatur oleh Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), karena tuntutan tersebut logis dan demi menjamin kesetaraan dalam pilkada. KPU perlu membuat peraturannya agar KPU daerah dapat melaksanakan pilkada calon tunggal dengan adil. []