August 8, 2024

Bayu Dwi Anggono: Putusan Bawaslu Melampaui Wewenang dan Sewenang-Wenang

Pakar hukum tata negara dari Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, melakukan penilaian terhadap Putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) No.008./2018. Putusan ini pada intinya berisi tiga poin, yakni agar Komisi Pemilihan Umum (KPU)  menerbitkan kembali Surat Keputusan penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) perseorangan Pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), memasukkan Oesman Sapta Odang (OSO) ke dalam DCT yang baru tersebut, dan agar KPU tidak menetapkan keterpilihan OSO jika OSO tak mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik.

Bayu menilai Putusan Bawaslu tersebut cacat hukum dan dengan demikian tak patut dilaksanakan oleh KPU. Simak selengkapnya penjelasan Bayu pada diskusi “Catatan terhadap Putusan Bawaslu Np.008/2018 tentang Pelanggaran Administrasi Pemilu oleh KPU terkait Pencalonan DPD” di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Kuningan, Jakarta Selatan (14/1), dalam bentuk wawancara.

Bagaimana penilaian Bapak sebagai pakar hukum tata negara terhadap Putusan Bawaslu No.008/2018?

Saya mau nilai dari forensik putusannya dulu. Putusan Bawaslu itu 54 halaman, tapi kalau kita lihat logika Bawaslu yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengeluarkan lima amar putusan, hanya dua halaman, yaitu halaman 50 dan 51.

Lalu coba kita lihat amar putusannya. Ternyata Bawaslu tidak menguraikan secara rinci. Kalau di pengadilan, meskipun Bawaslu ini forum ajudikasi, harusya tiap amar ada legal reasoning yang menjelaskan kenapa Bawaslu membuat amar seperti itu. Bandingkan dengan Mahkamah Konstitusi (MK), amar putusannya itu rinci sekali. Tapi Bawaslu, amar yang lima ini, hanya dijelaskan dalam dua halaman tadi dan tidak dijabarkan secara komprehensif.

Dan juga, kan ada sissenting opinion dari salah satu anggota Bawaslu, yaitu Fritz Edward Siregar. Pendapat berbeda Fritz ini tidak dimasukkan ke dalam putusan sehingga publik tidak  mengetahui seperti apa dissenting opinion Fritz itu. Semestinya dissenting opinion dimasukkan ke dalam putusan agar publik tahu perdebatan Bawaslu saat mengambil keputusan.

Tapi, lima amar putusan Bawaslu tersebut masuk logika hukum?

Untuk menjawab itu, mari kita bedah satu per satu amar putusan Bawaslu. Amar yang pertama, berbunyi menyatakan terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan  pelanggaran administrasi pemilu dalam proses pencalonan OSO sebagai calon anggota DPD. Amar putusan ini berangkat dari Bawaslu yang menilai salah KPU yang mengeluarkan surat tanggal 8 Desember kepada OSO agar OSO mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik setelah keluar Putusan Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). KPU tidak menindaklanjuti Putusan PTUN No.242/2018, sebagaimana diperintahakan oleh Pasal 471 Undang-Undang (UU) Pemilu No.7/2017.

Amar putusan ini aneh, sebab surat itu merupakan ikhtiar KPU yang menghadapi tiga putusan pengadilan yang mengandung pertentangan norma yang nyata. Ada yang bilang KPU harus ikut PTUN karena kasusnya kongkrit, tapi ada juga yang bilang untuk ikut Putusan MK karena konstitusional. Lalu KPU ikut Putusan MK dengan tujuan penyelenggaraan pemilu tetap berjalan dalam koridor konstitusi.

Amar kedua, KPU mesti melakukan perbaikan administrasi dengan mecacbut Keputusan KPU No.1130/2018 tentang Penetapan DCT Pemilu 2019. Amar ini menarik, tetapi aneh. Bawaslu jelas merujuk Putusan PTUN dalam amar putusan poin kedua ini, tetapi Putusan MK sama sekali tidak jadi pertimbangan.

Lanjut amar ketiga: Perintahnya, KPU masukkan OSO ke dalam DCT paling lama 3 hari kerja sejak putusan dibacakan. Ini sesuai dengan Pasal 462 UU Pemilu. Nuansanya kental dengan Putusan PTUN.

Lalu masuk amar keempat, ini sebetulnya perspektif yang kita tidak pernah duga. Bawaslu memerintahkan KPU untuk menetapkan OSO sebagai calon terpilih pada Pemilu DPD 2019. Ini aneh sekali, karena tidak ada kata jika di dalam poin amar keempat itu. Jadi, pemilunya belum terlaksana, calon-calon masih berkompetisi, tapi Bawaslu sudah yakin OSO akan terpilih.

Di poin ini juga, Bawaslu memerintahkan agar tidak menetapkan keterpilihan OSO jika OSO tidak menyerahkan surat pengunduran diri dari partai politik maksimal satu hari sebelum penetapan. Poin inilah yang jadi masalah besar, yang menurut saya, melampaui wewenang Bawaslu dan menunjukkan kalau Bawaslu telah sewenang-wenang.

Bagaimana bisa melampaui wewenang dan sewenang-wenang?

Saya jawab lebih dulu mengenai melampaui wewenang. Lihat UU Pemilu Pasal 461. Pasal itu menyebutkan jenis-jenis putusan terkait pelanggaran administratif. Ada empat jenisnya, yaitu perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur atau mekanisme, teguran tertulis, tidak diikutkan dalam tahapan tertentu, dan sanksi administratif lainnya. Nah, kalau kita lihat amar putusan kedua, ketiga, keempat, dan kelima, itu tidak masuk kriteria Pasal 461 UU Pemilu. Pasal ini tidak menyebutkan adanya perbaikan administrasi terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh KPU. Keputusan KPU, kalau mau diubah, harus lewat sengketa proses, bukan pelanggaran administrasi. Sengketa proses itulah yang bisa menyatakan keputusan KPU bertentangan dengan UU Pemilu atau putusan MK.

Jadi, putusan Bawaslu atas penyelesaian pelanggaran administrasi tidak bisa berupa pembatalakan keputusan KPU, memuat keputusan baru, apalagi membuat syarat keterpilihan baru. Jadi, Putusan Bawaslu No.008/2018 itu melampaui wewenang Bawaslu. Ini jadi ironi, sebab dalam putusannya di halaman 48, Bawaslu menyinggung bahwa MK, MA, dan PTUN memiliki batas-batas kekuasaan. Tapi, Bawaslu tidak menyebut bahwa Bawaslu punya batas-batas kekuasaan.

Baik. Berarti karena melampaui wewenang, maka Bapak nilai Bawaslu sewenang-wenang?

Lebih dari itu. Begini, MK dalam Putusan No.30/2018 menafsirkan frasa pekerjaan lain dalam Pasal 182 UU Pemilu. Pasal ini bicara mengenai syarat pencalonan menjadi calon anggota DPD. Namun, Bawaslu dalam amar putusan di poin kelima, mengatur syarat keterpilihan calon, yang di dalam UU Pemilu tertuang dalam Pasal 423 dan 426. Artinya, Bawaslu memberikan tafsir baru terhadap Pasal 423 dan 426. Bawaslu telah menjalankan wewenang seperti MK yang memiliki wewenang menafsirkan undang-undang. Bawaslu bertindak seolah-olah menjalankan Putusan MK, tetapi nyatanya malah membuat tafsir baru.

Tafsir baru Bawaslu ini bertentangan dengan putusannya sendiri yang dikeluarkan sebelumnya. Kalau pada 11 Oktober 2018 Bawaslu mengamini bahwa pengunduran diri sebagai pengurus partai politik adalah syarat pencalonan, tapi 9 Januari 2019, Bawaslu beralih menyatakan itu sebagai syarat penetapan.

KPU akan memutuskan sikapnya sebagai tindaklanjut atas Putusan Bawaslu No.008/2018 hari ini. Bagaimana jadinya kalau KPU melaksanakan Putusan tersebut?

Memang, putusan Bawaslu ini seperti jebakan batman yang mengandung bom waktu yang akan meletus dan akan menyalahkan seluruh proses pemilu kita. Coba bayangkan, bagaimana mungkin rakyat sudah memilih, tapi KPU, akibat Putusan Bawaslu No.008/2018, membatalkan keterpilihan calon karena si calon tidak mau mengundurkan diri? Ini sangat bisa akan dipermasalahkan oleh OSO nanti, karena UU Pemilu tidak mengatur syarat keterpilihan itu. Di sini, Bawaslu semestinya bisa memitigasi. Tidak semudah itu mengalihkan suara calon kepada calon yang lain.

Poinnya, ada cacat substansi yang sangat nyata di putusan Bawaslu ini. Karena melampaui wewenang, sewenang-wenang dan tidak konsisten, maka dia cacat hukum. Karena cacat hukum, maka dia mesti batal demi hukum, tidak bisa dilaksanakan. Bagaimana mungkin KPU dipaksa melaksanakan putusan yang cacat hukum, yang tidak ada cantolannya di UU Pemilu dan UU Dasar (UUD) 1945?

Maka, dari saya, KPU tidak perlu melaksanakan Putusan Bawaslu No.008/2018 sebagaimana adanya. KPU memang wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu dalam waktu tiga hari kerja setelah putusan dibacakan. Tapi, tindak lanjut itu maksudnya KPU bisa menyatakan, bahwa setelah melakukan kajian dan pencermatan berdasarkan prinsip kehati-hatian, KPU tak bisa mengacu pada putusan yang tidak memiliki alasan yuridis yang kuat. Dasar itu sebetulnya sudah cukup kuat. KPU bisa menindak lanjuti putusan Bawaslu dengan menyurati Bawaslu bahwa KPU tidak bisa melaksanakan putusan itu.