November 28, 2024

Politik Uang, Saat Kultur Tak Enakan Mesti Dikompatibelkan dengan Konteks Pemilu

Peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu menilai kelahiran politik uang tak lepas dari masalah struktur hukum dan masalah kultur. Secara struktur hukum, regulasi untuk mencegah dan mengadili praktik politik uang belum cukup, dan secara kultur, masyarakat Indonesia lekat dengan kebiasaan memberikan uang sebagai tanda terima kasih.

“Secara kultural, masih melekat ucapan terima kasih dengan memberi imbalan. Orang Jawa misalnya, ngasih uang saku, uang jalan. Itu secara kultural sebetulnya gak ada maksud politik uang, tapi karena gak enak kalau gak ngasih. Misal, saya main ke rumah ponakan, gak enak kalau gak ngasih uang. Nah, itu jadi problem ketika itu dikompatibelkan dengan konteks pemilu,” urai Yohan pada diskusi “Awas, Politik Uang di Pemilu 2019” di Cikini, Jakarta Pusat (27/3).

Menambahkan Yohan, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina berpendapat bahwa politik uang lahir atas ketidakpercayaan peserta pemilu untuk menang dengan cara yang jujur. Dalam hal ini, partai politik semestinya membenahi sistem rekrutmen calon agar yang dicalonkan adalah kader yang memiliki rekam jejak baik dan telah berkontribusi di masyarakat. Jika calon telah dikenal baik oleh masyarakat, politik uang tak dibutuhkan.

“Partai makanya calonkan orang-orang yang memang sudah berbuat banyak kepada publik. Kalau calonnya instan, memang tidak cukup mereka hanya memasang baliho. Tidak ada waktu yang cukup untuk membangun relasi antara calon dengan pemilih. Makanya, akhirnya pakai politik uang,” terang Almas.

Survei Litbang Kompas menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin permisif pada politik uang. Meskipun mayoritas responden mengatakan menolak politik uang dan memilih sesuia hati nurani, tetapi mayoritas menilai bahwa politik uang sudah membudaya, sulit dihilangkan, dan praktiknya melibatkan semua kalangan. Survei pun menggambarkan, bahwa tinggi rendah tingkat pendidikan dan tua muda usia responden tak mempengaruhi pilihan seseorang untuk menolak politik uang.

“Jadi, pemilih, mau pendidikannya tinggi rendah, bisa jadi menerima. Begitu juga usia. Jangan dipikir milenial yang dianggap kritis itu menolak. Mereka ternyata kalau ditawarin uang, mau juga. Begitu juga dengan gender,” tukas Yohan.

Menurutnya, politik uang masih menjadi jalan pintas yang akan digunakan oleh peserta Pemilu 2019. Politik uang diduga masih diterima oleh pemilih, sebab pemilih masih melihat politik uang sebagai sesuatu yang tidak membahayakan. Berdasarkan kesaksian beberapa calon anggota legislatif (caleg) yang diwawancarai Yohan, caleg mengatakan kampanye tak akan gerak jika tak ada uang.

“Memang kultur di bawah itu, gak ada uangnya, gak gerak. Ini kesaksian beberapa caleg. Jadi, orang memang minta, nagih. Jadi, caleg awalnya gak mau ngasih, tapi karena diminta, dia jadinya ngasih,” kata Yohan.

Politik uang dapat diminimalisir dengan memasifkan pendidikan politik kepada pemilih. Membangun narasi bahwa pemilih adalah pemilik pemilu dan aktor utama yang menentukan hasil pemilu dapat digaungkan dan dinilai lebih efektif, ketimbang kampanye tolak politik uang dan laporkan pelakunya. Kesadaran untuk menolak politik uang hanya akan berangkat dari pemahaman pemilih bahwa politik uang merugikan kualitas demokrasi dan kepentingan pemilih.

“Kita perlu mengajak masyarakat untuk menyadari apa bahaya dari politik uang. Kami sekarang angkat tagline pilih yang jujur. Jadi, membuat pemilu itu dirasakan miliknya pemilih. Tujuannya, agar bergeser pemahaman, bahwa suara kami tidak worth it dengaan uang 50 ribu,” ujar Almas.