Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) merupakan lembaga masyarakat sipil kedua yang mendapatkan status terakreditasi sebagai pemantau Pemilu 2019, setelah Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Bersama 48 lembaga lainnya, Perludem berkomitmen untuk mengawal tahapan-tahapan Pemilu 2019, agar proses penyelenggaraan Pemilu 2019 berjalan adil, demokratis, dan berkepastian hukum.
Ironinya, akhir-akhir ini, muncul tagar #INAelectionobserverSOS yang digunakan oleh sekelompok orang yang merasa banyak kecurangan terjadi dalam proses Pemilu 2019. Tagar menjadi alarm SOS atau save our soul yang membawa pesan bahwa dengan kehadiran pemantau internasional, Pemilu 2019 dapat diselamatkan. Tagar ini, diikuti dengan pernyataan dari beberapa politisi, seperti Hidayat Nur Wahid dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang menyangsikan kehadiran para pemantau dalam negeri. Pemantau dinilai partisan atau tak objektif dan tak berani membuka hasil pemantauan sebetul-betulnya.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, kampanye SOS dan penilaian tak objektif melukai kinerja para pemantau pemilu. Para pihak yang berpendapat demikian dinilai Titi tak mengikuti pengawalan kawan-kawan pemantau. Simak penjelasan Titi dalam bentuk wawancara.
Perludem merupakan salah satu lembaga masyarakat sipil yang telah menjadi pemantau pemilu sejak Pemilu 2009. Adakah kode etik pemantau pemilu?
Betul. Kami sudah menjadi pemantau pemilu sejak Pemilu 2009, bahkan untuk Pilkada, sudah sejak Pilkada tahun 2005. Di Pemilu 2014 kami memantau, dan sekarang di 2019 juga.
Selain menjadi pemantau untuk pemilu Indonesia, kami juga menjadi pemantau pemilu internasional. Perludem, bersama Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP) dan JPPR merupakan anggota dari ANFREL (Asian Network for Free Elections). Kami pernah memantau pemilu Amerika Serikat, pemilu Nepal, pemilu Myanmar, dan saat ini dua orang staf kami sedang mengikuti program pemantauan pemilu di Thailand.
Sebetulnya, baik pemantau pemilu dalam negeri maupun pemantau pemilu asing, tetap harus patuh pada kode etik pemantau pemilu. Yang paling penting adalah non partisan. Tidak boleh pemantau pemilu partisan, apalagi memperjuangkan agenda-agenda peserta pemilu. Nah, bagi pemantau asing, ada tiga kode etik yang utama, yaitu menghormati kedaulatan negara yang sedang menyelenggarakan pemilu, menghormati dan mematuhi peraturan perundang-undangan pemilu di negara tersebut, dan non partisan atau netral.
Baik. Yang paling penting adalah non partisan. Tetapi ada segelintir orang yang masih menyangsikan soal objektifitas pemantau pemilu. Bagaimana Perludem memandang hal ini?
Testimoni dari orang-orang yang menilai pemantau pemilu tidak objektif dan tidak berani mempublikasikan semua hasil pemantauannya, itu kami hormati. Tetapi, sebetulnya dimana letak tidak objektifnya? Sebab, berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) No.4/2018, persyaratan untuk menjadi pemantau dalam negeri dan pemantau asing sudah diatur. Syaratnya, memiliki sumber pendanaan sendiri, independen, dan non partisan. Jadi, kalau partisan atau tidak objektif, tidak mungkin mendapatkan akreditasi dari Bawaslu.
Perludem sendiri, dalam peran kami sebagai pemantau pemilu untuk 2019, kami fokus memantau pembuatan kebijakan dan regulasi, pemutakhiran data pemilih, dan pada hari H pemungutan dan penghitungan suara. Memang jumlah pemantau kami tidak seberapa dibandingkan 809.500 TPS (Tempat Pemungutan Suara). Belum lagi ditambah TPS khusus bila tanggal 28 Maret nanti dikabulkan MK (Mahkamah Konstitusi).
Kami melakukan judicial review saat ini pun dalam rangka menggunakan semua saluran sebagai bagian dari pemantau. Kami tidak hanya memeriksa kerja penyelenggara dan kontestasinya saja, tetapi juga instrumen hukumnya kami coba koreksi. Kami datang ke MK. Tidak untuk kepentingan peserta pemilu, tapi untuk hak seluruh warga negara.
Perludem memandang positif hadirnya pemantau pemilu asing pada Pemilu 2019?
Menurut International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), ada 15 standar agar sebuah kerangka hukum pemilu dikatakan demokratis. Nah, salah satunya adalah diizinkannya pemantau pemilu, baik dalam negeri maupun luar negeri. Untuk warga negara bisa memantau pemilu di negaranya sendiri adalah hak, sedangkan untuk pemantau asing yang mau memantau pemilu di negara lain, itu bukan hak, melainkan pilihan. Karena dia adalah pilihan, maka pemantauan tidak boleh dipaksa. Dia harus berangkat dari keputusan kalau mereka memang ingin hadir di suatu negara.
Pemantau pemilu asing berkaitan dengan pergaulan antar negara dan soal kedaulatan suatu negara. Makanya, harus ada undangan. Tetapi dalam praktiknya, tidak semua pemantau asing hadir karena undangan. Ada juga lembaga internasional yang mau menjadi pemantau pemilu di suatu negara, karena dia bekerja untuk isu pemenuhan hak-hak minoritas dan kelompok rentan misalnya. Nah, kalau begini, biasanya tidak mengandalkan undangan. Mereka mestinya diizinkan untuk memantau pemilu di negara itu untuk memeriksa apakah hak-hak kelompok minoritas dan rentan dipenuhi dalam pemilu.
Soal pemantau asing sudah diatur di dalam di Peraturan Bawaslu No.4/2018. Indonesia adalah negara yang sangat terbuka dan bersahabat. Indonesia selalu mengundang negara asing untuk memantau dan belajar dari pemilu Indonesia. Pasal 6 Peraturan Bawaslu No.4/2018 mengatur bahwa pemantau asing dapat melakukan pendaftaran melalui form secara online. Jadi, kerangka hukum kita tidak mempersulit itu.
Kalau ada pemantau pemilu asing, kami akan sambut baik, karena kami anggap mereka akan lebih membawa warna. Kami sangat senang kalau internasional mau memantau dan belajar dari pemilu Indonesia, memberi masukan agar pemilu kita lebih baik dan kuat. Tetapi, ketiadaan pemantau internasional tidak bisa diterjemahkan kalau pemilu Indonesia tidak kredibel. Yang terpenting adalah masyarakat Indonesia mau peduli, mau terlibat, dan mau mengawasi dan mengawal pemilunya.
Apa ukuran sebuah negara perlu mendatangkan pemantau pemilu asing? Apakah Pemilu Indonesia 2019 memang butuh untuk dipantau oleh pemantau asing?
Begini, setelah Pemilu 2004, ada penurunan animo pemantau asing. Ada beberapa alasan yang kami temukan. Salah satunya adalah bahwa Indonesia dianggap bahwa masyarakat sipilnya sudah dinamis sehingga kredibilitas dan transparansi proses Pemilu bisa dikawal oleh lembaga-lembaga pemantau dalam negeri. Saya berkomunikasi dengan kawan-kawan pemantau internasional, dan mereka mengatakan mereka percaya masyarakat sipil di Indonesia bisa mengawal penyelenggaraan pemilunya sendiri. Kita saksikan, lembaga seperti IFES (International Foundation for Electoral Systems) sekarang sudah mengalihkan bantuannya dari Indonesia ke negara-negara Afrika yang mereka nilai instrument masyarakat sipilnya tidka sekuat Indonesia.
Jadi, kami melihat, pemantau pemilu asing tidak terlalu dibutuhkan. Kita bisa mengawal penyelenggaraan pemilu kita sendiri. Apalagi, sekarang ada pengawas di masing-masing TPS. Pemantau asing itu, kalaupun mereka datang ke Indonesia, saya tidak yakin mereka bisa mengisi semua TPS. Kami terhubung dengan kawan-kawan pemantau internasional, dan mereka memahami kapan mereka harus mengirimkan misi atau tidak.
Kredibilitas pemilu Indonesia sesungguhnya secara dominan ditentukan oleh masyarakat Indonesia sendiri, oleh pemilih yang mau peduli, oleh pemantau pemilu yang mau mengawasi, dan oleh peserta pemilu yang mau berkompetisi secara jujur.