Pasca lahirnya Putusan Nomor: 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak lagi berwenang untuk mengadili sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Kini, memang sudah seharusnya dipikirkan untuk mempercepat pembentukan Badan Peradilan Khusus Pilkada, agar persoalan hukum yang terjadi dalam setiap penyelenggaraan Pilkada tidak lagi menjadi beban MK.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang menjadi acuan dalam penyelenggaraan Pilkada serentak 2015 kemarin, memang pada hakikatnya banyak menimbulkan permasalahan hukum yang tidak terselesaikan. Diantara permasalahan itu: delik pemiihan (seperti: suap politik pilkada), dan sengketa administrasi pemilihan yang banyak dijadikan dasar pengajuan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) di MK.
Bagaimana selanjutnya, cara mengatasi agar permasalahan hukum Pilkada yang tidak ada sangkut pautnya dengan PHPKada tidak dicampurbaurkan? Saya kira solusi hukum yang paling jitu, bersamaan dengan momentum UU Pilkada kini sudah masuk dalam Program Legilasi Nasional (Prolegnas) 2016, revisi UU ini dikemudian hari sudah harus mengefektifkan badan peradilan khusus Pilkada, mulai pada gelombang kedua Pilkada serentak 2017 nanti.
Badan peradilan pilkada
Pada dasarnya badan peradilan khusus Pilkada sudah diamanatkan dalam Pasal 157 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Hanya saja, selain badan peradilan ini belum diefektifkan untuk menangani PHPKada, juga hanya dikhususkan untuk menangani PHPKada saja di masa yang akan datang.
Dalam konteks itu, menyikapi banyaknya perkara pidana dan administrasi pemilihan yang seringkali dijadikan sebagai alasan untuk membatalkan penetapan hasil pemilihan oleh KPUD. Sebab terkait dengan proses yang bisa mempengaruhi hasil pemilihan.
Maka, ada baiknya pembentukan badan peradilan khusus Pilkada tidak hanya berwenang untuk mengadili PHPKada saja. Akan tetapi badan peradilan ini seharusnya juga diberikan kewenangan untuk mengadili perkara pidana dan administrasi yang memiliki sangkut paut dengan penetapan hasil Pilkada.
Lebih lanjut, agar peradilan ini kemudian tidak terjadi kekacauan hukum dalam menangani tiga model perkara Pilkada (Pidana, Administrasi, dan PHPKada) pendirian Badan Peradilan Khusus Pilkada harus memerhatikan beberapa hal.
Pertama, Badan Peradilan Khusus ini cukup dibentuk adhoc saja. Sehingga segala perkara Pilkada diselesaikan pada Pengadilan Negeri (PN) sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Jadi, badan peradilan khusus berada di bawah naungan PN yang berwenang mengadili perkara Pilkada dari Provinsi, kabupaten, dan Kota dimana sebagai tempat sedang berlangsungnya Pilkada.
Kedua, oleh karena Badan Peradilan Khusus Pilkada di tempatkan di bawah nauangan PN. Maka, sebaiknya di PN dibentuk dua kamar peradilan Pilkada, yang terdiri dari: kamar Peradilan Pidana Pilkada dan kamar Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) Pilkada. Kamar Peradilan Pidana Pilkada berwenang untuk menyelesaikan secara cepat perkara pidana pemilihan yang memiliki pengaruh dengan Penetapan Hasil Pemilihan. Sedangkan kamar peradilan TUN Pilkada diberikan kewenangan: selain mengadili perkara administrasi Pilkada juga mengadili PHPKada.
Persoalan kemudian yang membutuhkan rasio hukum, mengapa pada kamar TUN Pilkada dapat mengadili PHPKada? Hematnya, karena PHPKada tidak lain adalah hasil keputusan (beschikking) bersifat konkret, individual, dan final yang ditetapkan oleh KPUD sebagai pejabat eksekutif. Sehingganya, mempersoalkan cacat prosedur dari hasil penetapan hasil pemilihan akibat kesalahan hitung misalnya, sudah merupakan bagian dari kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Ketiga, persoalan selanjutnya, siapakah hakim yang akan mengisi dari dua kamar yang telah disediakan pada Badan Peradilan Khusus Pilkada itu, yang telah ditempatkan di Pengadilan Negeri? Penulis memberikan solusi, bahwa pengisian hakim untuk kamar dalam perkara Pidana Pilkada, cukup direkrut dari hakim pada Pengadilan Negeri.
Badan peradilan khusus itu menggunakan Pengadilan Negeri sebagai tempatnya untuk mengadili perkara Pilkada. Sedangkan perekrutan hakim untuk kamar TUN Pilkada, bisa dengan merekrut hakim Pengadilan TUN maupun dari Pengadilan Tinggi TUN yang menjadi bagian dari PTUN/PTTUN dimana sebagai daerah yang sama (Provinsi, Kabupaten, Kota)Â dalam penyelenggaraan Pilkada.
Sederhananya, bahwa ketika semua perkara Pilkada ditempatkan dalam satu Badan Peradilan Khusus Pilkada di bawah naungan PN, dimana menjadi tempat sedang berlangsungnya penyelenggaraan Pilkada. Maka diharapkan perkara pidana dan perkara administrasi Pilkada yang memiliki konsekuensi hukum dengan penetapan hasil pemilihan bisa disinkronkan oleh hakim Pengadilan Khusus Pilkada.
Sebab, setiap perkara tersebut berada dalam satu tempat. Dan tentunya bagi hakim yang sedang mengadili perkara di Badan Peradilan Khusus Pilkada ini, dapat mengontrol putusannya agar bersesuaian dengan putusan perkara Pilkada yang lainnya.
Di atas segalanya, yang patut menjadi perhatian pula dalam percepatan berfungsinya badan peradilan khusus Pilkada ini. Selain merevisi Undang-Undang Pilkada dengan mengatur lebih lanjut tiga kompetensi Badan Peradilan Khusus Pilkada, dalam mengadili perkara pidana dan administrasi Pilkada serta PHPKada. Maka perlu ada Undang-Undang yang berdiri sendiri dengan nomenklatur Undang-Undang Tentang Badan Peradilan Khusus Pilkada.
Hal ini menjadi penting, sebab dalam kajian Perundang-Undangan terkait penambahan wewenang baru bagi setiap badan peradilan, hanya dibolehkan sepanjang Undang-Undang tersendiri yang memberinya wewenang dengan segala tata kelolanya.[]
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI
Program Magister Hukum Tata Negara UMI