August 8, 2024

Titi Anggraini: Catatan Evaluasi Pemilu 2019 dan Mendesaknya Revisi Terbatas UU Pilkada

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memiliki  catatan terhadap Pemilu 2019. Catatan-catatan tersebut berkaitan dengan kerangka hukum pemilu, tata kelola pemilu, dan penegakan hukum pemilu. Simak catatan evaluasi Perludem melalui penjelasan Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, dalam bentuk wawancara.

Perludem baru saja merilis hasil evaluasi terhadap Pemilu 2019. Mengapa Perludem merasa perlu mengevaluasi?

Tentu harus dievaluasi. Tujuannya, pertama, agar kita tidak terjebak pada rutinitas penyelenggaraan pemilu semata. Kedua, agar pemilu sebagai salah satu instrumen demokrasi dipraktekkan dengan asas, nilai, dan prinsip yang memperkuat demokrasi kita, bukan sekadar memilih dan pergantian sirkulasi elit. Jadi, evaluasi itu agar kita melakukan perbaikan-perbaikan, mengambil pelajaran untuk mengelola pemilu kita di tahun-tahun yang akan datang.

Baik. Perludem biasanya melakukan evaluasi terhadap tiga aspek pemilu, yakni kerangka hukum pemilu, tata kelola pemilu, dan penegakan hukum pemilu. Apa saja evaluasi Perludem dari aspek kerangka hukum pemilu?

Ya, jadi, salah satu manfaat kita punya satu undang-undang yang terkodifikasi adalah adanya satu naskah yang mengatur penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu legislatif. Kita lebih mudah menghindari inkonsistensi, tumpang tindih, dan duplikasi pengaturan. Hal-hal itu relatif bisa kita capai melalui Undang-Undang (UU) No.7/2017. Peraturan itu tersinkronisasi. Tetapi, ternyata kerangka hukum pemilu kita juga masih menyimpan ruang-ruang yang menimbulkan permasalahan ketika kita bicara dua aspek yang lain. Akibatnya, hukum pemilu kita masih berkontribusi pada terjadinya permasalahan dari aspek tata kelola pemilu dan keadilan pemilu.

Contoh, kerangka hukum pemilu kita terkait isu perlindungan kelompok rentan. Hak pilih, di UU Pemilu kita, tidak punya skema yang kuat ketika berhadapan dengan pemilih yang belum punya KTP (Kartu Tanda Penduduk) elektronik. Tetapi, dia sudah melakukan perekaman. Itu yang kemudian jadi kendala dia saat memilih. Jalan keluar lalu ditawarkan melalui mekanisme JR (judicial review). Jadi, terjadi judisialisasi elektoral karena problem-problem di dalam hukum kita tidak mampu dijawab oleh pembentuk undang-undang,. Kita membutuhkan institusi peradilan untuk memberikan jalan keluar. Oleh karena itu, berkali-kali keluar putusan MK untuk menjawab dinamika karena kerangka hukum kita masih bermasalah.

Lalu soal dana kampanye, ada anomali. Kita menerapkan pemilu proportional representative open list. Caleg (calon anggota legislatif) bisa langsung berkampanye dan pemilih bisa langsung memilih caleg. Akan tetapi, anehnya, dalam pelaporan dana kampanye, justru caleg tidak punya akun dana kampanye yang terpisah dari partai. Kalau mau jujur, tidak semua pendanaan kampanye, baik penerimaan maupun pengeluaran caleg mampu dipotret oleh laporan dana kampanye partai politik peserta pemilu. Jadi, kerangka hukum kita belum sepenuhnya memfasilitasi akuntabilitas pelaporan dana kampanye. Dengan kata lain, law in the text tertinggal dari law on the field. Pada faktanya, caleg menerima dan mengeluarkan dana kampanye secara aktif. Tetapi tidak semua bisa dipotret dalam pelaporan dana kampanye yang dilaporkan partai. Itulah sebabnya pelaporan dana kampanye tidak merefleksikan dinamika kampanye pemilu kita.

Kemudian, soal perempuan. Afirmasi perempuan kita yang tidak berubah dari 2004, bahwa 30 persen perempuan mesti ada di daftar calon, semi zipper, ternyata tetap sama perannya. Caleg terpilih paling banyak tetap yang berada di nomor urut 1. Kalau ditotal, seluruh caleg terpilih, ada di nomor urut 1 dan 2. Artinya, kerangka hukum untuk afirmasi perempuan belum sepenuhnya memadai untuk menghasilkan perempuan yang tidak hanya jumlah, tetapi juga kualitas.

Lanjut pada aspek tata kelola pemilu. Apa evaluasi Perludem?

Dari indikator yang paling  sederhana, ada catatan kami terkait tata kelola logistik Pemilu. Surat suara tertukar,dan  surat suara tidak sampai ke tujuan tepat waktu. Pemilu 2019 adalah pemilu yang jumlah surat suara tertukar dan jumlah surat suara tidak sampai tepat waktunya paling tinggi. Lebih tinggi dibanding Pemilu 2014. Masalah ini merupakan implikasi dari banyak faktor. Salah satunya, kerumitan pemilu serentak presiden dan legislatif yang membebani penyelenggara pemilu. Jadi, sistem atau skema pemilu serentak lima surat suara tidak kompatibel dengan tata kelola pemilu kita yang mengedepankan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu: jujur, adil, profesional, efektif, efisien, akuntabel, dan lain-lain.

Lalu soal kampanye, kami melihat dialog sangat minim. Target kampanye para peserta pemilu hanya  bagaimana si pemilih mengenali calon. Jadi, levelnya belum naik ke politik gagasan. Sulit untuk bisa mewujudkan kalau pemilunya sekompleks sekarang. Akhirnya, jadi begitu mahal.

Dari aspek penegakan hukum pemilu, apakah catatannya tertuju ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)?

Ya, PR (pekerjaan rumah) kita, pertama, kalau memperhatikan sidang-sidang dan putusan MK (Mahkamah Konstitusi), MK sangat mempertimbangkan bagaimana para pihak menempatkan Bawaslu dalam penyelesaian hukum pemilu. Jadi, Bawaslu posisinya makin dibuat terang-benderang oleh MK sebagai penyelesai masalah hukum pemilu kita.

Tapi sebetulnya, ada masalah yang harus dijawab. Misal, relasi kelembagaan antara KPU dan Bawaslu berkaitan dengan kewenangan menyelesaikan permasalahan hukum yang berdampak pada hasil pemilu. Beberapa kasus, Bawaslu menangani masalah administrasi setelah hasil pemilu ditetapkan KPU secara nasional, yang mana permasalahan itu berdampak pada hasil. Ini harus ada ketegasan di dalam undang-undang. Posisi Bawaslu yang melakukan kerja pengawasan sekaligus sebagai hakim pemilu, itu bertentangan dengan konsep keadilan pemilu. Seorang hakim mestinya hanya melandaskan pada opini di proses persidangan. Tetapi, Bawaslu punya opini sebagai pengawas. Nah, posisi yang tidak kompatibel ini harus diperjelas dalam proses pemilu ke depan. Perludem berpandangan, mestinya tidak mencampurkan antara fungsi pengawasan dengan fungsi penyelesaian sengketa atau kuasi peradilan.

Yang harus diberi ruang pada saat ini, partisipasi makin baik, baik partai, maupun pemilih. Jadi, yang harus dibangun adalah mekanisme penyelesaian hukum pemilu yang transparan dan akuntabel. Ketika transparan dan akuntabel, maka fungsi pengawasan mestinya bergeser dari fungsi pengawasan yang dipegang oleh Bawaslu menjadi oleh masyarakat sipil dan peserta pemilu. Kita harus bergeser ke situ.

Baik. Tiga aspek sudah dievaluasi. Tadi Mbak Titi mengatakan bahwa tujuan evaluasi salah satunya adalah agar bisa belajar dan memperbaiki pemilihan selanjutnya. 2020 akan ada Pilkada di 270 daerah. Pelajaran apa yang bisa dipetik?

Betul! Kita tidak boleh mengulang celah-celah ini di kerangka hukum pilkada kita. Kerangka hukum pilkada kita kan menyimpan permasalahan. Itu konsekuensi karena kita memisahkan rezim pilkada dengan pemilu, dengan logika yang menurut kami tidak terlalu logis. Katanya Pilkada adalah rezim Pemda (Pemerintah Daerah), dan pemilu adalah rezim pemerintah pusat. Sementara asas pemilu dan penyelenggaranya sama. Jadi, akhirnya terjadi inkonsistensi. Pengaturan pemilu dan pengaturan pilkada tidak harmonis. Di UU Pemilu, Bawaslu sudah permanen sampai kabupaten/kota, punya kewenangan memutus. Tapi, UU Pilkadanya masih ketinggalan. Ini konsekuensi dari pemisahan pemilu dengan pilakda. Ini harus diselesaikan dengan revisi terbatas undang-undang.

Revisi terbatas UU dinilai oleh pengamat pemilu lain membutuhkan waktu lama. Apakah judicial review cukup?

Memang bisa JR, tapi seberapa jauh MK bisa menyentuh hal-hal teknis berkaitan tata kelola pilkada? Pengalamannya, MK hampir jarang sekali menyentuh hal-hal teknis. Meskipun ada terobosan ketika MK memutus jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota dan PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) jumlahnya harus sama, lima. Jadi, karena ada keterbatasan MK, harus dijawab di revisi UU terbatas.

Termasuk rekapitulasi elektronik juga harus dimuat di revisi UU Pilkada?

Tentu. Tidak cukup hanya  mengandalkan peraturan KPU. Kita harus refleksi, sejauh mana PKPU bisa mengikat ketaatan pihak-pihak terdampak seperti Bawaslu dan partai politik. Apalagi, dengan pengalaman beberapa kali Bawaslu mengoreksi PKPU. Jadi, ada daya jangkau legitimasi terhadap e-rekap. Ada sesuatu yang masih belum kokoh kalau hanya diatur di PKPU. Pelaksanaan e-rekap membawa konsekuensi hukum. Ini yang harus dijawab di revisi UU Pilkada terbatas.

Termasuk juga diskursus mantan napi korupsi. Ranahnya harus ditarik ke level undang-undang. Minimal pengaturannya kita kembali ke Putusan MK tahun 2009. Jadi, minimal pemberlakuan masa jeda antara dia keluar dengan pencalonan. Pembelajaran kasus Kudus. Dua kali mencalonkan diri, dua kali korupsi, dua kali kena OTT (operasi tangkap tangan). Jadi, ada alasan yang sangat kuat untuk Pilkada 2020, harus dilakukan revisi terbatas UU Pilkada. Tujuannya, satu, untuk memayungi inkonsistensi pengawas pemilu. Kedua, untuk melegitimasi pemberlakuan e-rekap. Meski e-rekap tidak diberlakukan di 2020, tapi itu jadi dasar pijakan pemberlakuan e-rekap di Indonesia. Ketiga, untuk mengangkat derajat pengaturan pencalonan mantan napi korupsi di level undang-undang.

Mbak Titi optimis UU Pilkada dpaat direvisi terbatas demi kebutuhan Pilkada 2020?

Kami mendorong Pemerintahan dan legislatif terpilih untuk bertindak. Saatnya kepemimpinan Jokowi membuktikan komitmennya akan anti korupsi. Ini momen pula bagi legislator hasil Pemilu 2019.