Fahri Hamzah merupakan salah satu anggota dewan yang berperhatian bicara perbaikan keuangan politik. Salah satu pendapatnya yang tak populer adalah tentang sumber keuangan politik. Wakil ketua DPR ini termasuk yang tidak setuju pembiayaan politik oleh uang swasta dan setuju peningkatan bantuan negara terhadap partai politik. Dalam studi kepemiluan, pendapat Fahri di konteks Pemilu Indonesia bersistem proporsional yang menempatkan partai (bukan orang/caleg) sebagai peserta pemilu merupakan aksioma yang mendorong kemandirian partai dari intervensi oligark dalam legislasi. Peningkatan bantuan keuangan partai memang berarti juga peningkatan tuntutan keterbukaan dan tanggungjawab partai kepada negara serta konstituen, rakyat sang pemilik kedaulatan.
Berikut penjelasan Fahri Hamzah mengenai peningkatan keuangan politik kepada rumahpemilu.org saat diterima audiensi bersama Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) di DPR, Jakarta (24/3):
Mengapa keuangan partai perlu dibantu negara?
Partai Politik di Indonesia memang sudah dibantu keuangannya oleh negara. Undang-undang Partai menyebutkan salah satu sumber pemasukan keuangan Partai adalah dari APBN/D. Tapi bantuannya masih sangat sedikit. Tak relevan dengan kebutuhan partai di tiap tahunnya. Akhirnya partai harus ekstra melakukan penggalangan dana sendiri. Di sinilah awal persoalannya.
Mengapa bantuan keuangan partai dari negara perlu ditingkatkan?
Coba pikirkan, satu suara rakyat yang diperoleh partai hanya bernilai 108 rupiah. Dalam pembiayaan politik ini tak rasional. Bantuan ini tak signifikan bagi kebutuhan partai di tiap tahunnya. Meningkatkan bantuan partai akan menguatkan partai sehingga terhindar dari intervensi oligarki dan konglomerasi dalam politik Indonesia. Selama ini dana pasti partai berasal dari gaji bulanan dewan dan pejabat eksekutif, ini sebetulnya tidak bisa dibenarkan. Bahkan karena kurang juga, selebihnya para pejabat ini mencari dari sumber lain . Ini kemudian menjadi sebab semua pejabat politik seperti bertugas mencari dana buat partai. Akhirnya karena tidak ada aturannya, yang legal dan tidak legal tidak jelas. Karena itu tak heran jika ada pejabat yang tertangkap korupsi respon pembelaannya makin heroik. Dalam pikirannya, mereka telah berjuang untuk partai dalam menggalang dana.
Berapa nilai peningkatannya?
Pembiayaan politik ada tiga pola, oleh negara seperti umumnya di eropa barat, oleh swasta seperti di Amerika Amerika dan sistem campuran. Saya berpendapat, bantuan keuangan partai oleh negara saja. Selama ini para anggota dewan kerja dan tanggungjawabnya terbagi. Biaya dari negara selain menghindari intervensi oligarki dan konglomerasi, bisa membuat politisi fokus dalam bekerja tanpa beban fundraising. Jadi tak terbebani bagaimana harus mencari biaya kampanye pemilu lalu dan yang akan datang.
Mengapa angkanya tidak 30% sampai 50% saja?
Saya tahu rujukan angka 30% sampai 50% dipraktekkan di negara dengan kelas menengah sudah kuat. Tak cocok dengan Indonesia. Warga kelas menengah seperti di Jepang dan Kanada kuat untuk menopang keuangan partai. Warga kelas menengah kita lemah. Tak bisa dilibatkan banyak dalam pembiyayaan partai.
Saya sudah hitung itu. Saya bandingkan dengan hitung-hitungannya Pak Didik (Perludem). Kalau kita tingkatkan sampai 10 ribu persuara, saya yakin negara bisa. Kalau pemilih 100 juta maka cuma 1 triliun rupiah totalnya. APBN tak akan terbebani.
Mengapa peningkatan keuangan partai tak pernah berhasil dalam legislasi?
Karena ini hal yang sangat tidak populer. Diserahkan kepada fraksi-fraksi partai di parlemen, partai akan takut kehilangan simpatik publik dan suara di pemilu. Kalau saya presidennya, saya buat Perppu sekarang. Kurang darurat apa ini negara. korupsi politik ini harus dicabut akarnya sekali dan seterusnya. Demokrasi Indonesia dalam keadaan darurat karena banyak partainya tersandera keuangannya oleh pembiayaan yang sumbernya tidak jelas.. Sangat layak muncul Perppu ini. []
Foto diambil dari fahrihamzah.com