September 13, 2024

Menengok Reformasi Pemilu Malaysia

Kemenangan koalisi Pakatan Harapan pada pemilihan umum Malaysia tahun 2018 membawa harapan baru untuk reformasi kepemiluan di negara persemakmuran Inggris ini. Reformasi pemilu memang telah lama didesak oleh Koalisi Malaysia untuk Pemilihan Umum yang Bersih dan Adil, yang umumnya dikenal sebagai Bersih (Smeltzer& Paré 2015: 120). Pada 28 April 2012, Bersih, yang terdiri atas 184 organisasi non-pemerintah (The Straits Time, 27 Agustus 2015), berhasil memobilisasi puluhan ribu masyarakat turun ke jalan untuk bersama-sama menyerukan reformasi pemilu secara menyeluruh (Smeltzer& Paré 2015: 120). Memang, sebagaimana diakui oleh salah satu penyelenggara pemilu Malaysia, Tan Sri Abdul Rashid Abdul Rahman, yang saat ini menjadi Ketua Komite Reformasi Pemilu yang dibentuk oleh Perdana Menteri Mahathir Mohammad, Malaysia memiliki sistem pemilu yang tak adil dan tak demokratis selama lebih dari enam dekade sejak pemilu pertama diselenggarakan pada 1955 (New Straits Time, 9 Oktober 2019).

Dalam artikel yang ditulis oleh Ahmad Fairuz Othman, kontributor New Straits Time, Abdul Rashid menjelaskan bahwa sistem pemilu Malaysia merupakan warisan pemerintah kolonial Inggris. Dibawah sistem pemilu ini, pemilih Malaysia memang dapat memberikan suaranya secara sukarela ke tempat pemungutan suara (TPS), namun proses pemilu seperti mekanisme kandidasi oleh partai politik, pendanaan kampanye, wewenang pemerintah pelaksana sementara, dan kebebasan media yang tak diatur didalam undang-undang pemilu membuat pemilu Malaysia tak dapat dipandang sebagai pemilu yang demokratis.

“Sejujurnya, undang-undang pemilu kami sangat buruk. Namun, terlepas dari undang-undang buruk yang ditinggalkan oleh Inggris ini, penyelenggara pemilu telah mengelola pemilu dengan cukup baik dengan memastikan hak rakyat untuk memilih dipenuhi.  Tetapi memang, ketika Anda berbicara tentang keadilan di antara para kandidat, saya harus mengatakan pemilu kami tidak adil,” kata Abdul Rashid sebagaimana dikutip dari New Straits Time, 9 Oktober 2019.

Buruknya sistem pemilu Malaysia juga disebabkan oleh pembentukan daerah pemilihan (dapil) yang tak sesuai dengan prinsip-prinsip pembentukan dapil. Selama ini, pada praktiknya, pembentukan dapil seringkali melanggar ketentuan yang disebutkan oleh konstitusi. Pakar pemilu dari University of Western Australia, Benjamin Reilly menilai pendapilan di Malaysia sebagai bentuk dari persekongkolan penguasa dengan penyelenggara pemilu untuk menjaga status quo (Reilly, 3 Desember 2019).

Kini, dibawah pemerintahan koalisi Pakatan Harapan, Komite Reformasi Pemilu (KRP) dibentuk untuk menyusun rekomendasi perubahan sistem pemilu Malaysia selama dua tahun. KRP merupakan badan penasihat yang terdiri dari akademisi, pengacara, pegiat pemilu, dan praktisi politik. Sejak 2018, KRP telah menjaring pendapat masyarakat di setidaknya 11 lokasi. Adapun Reformasi Pemilu Malaysia melibatkan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Proyek Bantuan Reformasi Pemilu (New Straits Time, 9 Oktober 2019).

KRP memiliki ambisi untuk menyusun omnibus law election. Sebabnya, jikapun ada revisi undang-undang pemilu, undang-undang ini akan tak bersesuaian dengan undang-undang lain yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan. Pada 30 November dan 1 Desember, Electoral Reform Roundtable diselenggarakan dengan peserta terdiri atas KRP, politisi, masyarakat sipil, Bersih 2.0, Yayasan Kofi Annan, Global Bersih, Komisi Anti Korupsi Malaysia, International Fellowship of Evangelical Students (IFES) dan International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA). Berbagai isu didiskusikan, diantaranya independensi lembaga penyelenggara pemilu, desain sistem pemilu, pembentukan dapil, pendaftaran pemilih dan manajemen daftar pemilih, dan keuangan politik (Berita International IDEA, 3 Desember 2018).

Dalam artikel ini, hanya tiga topik reformasi yang akan dibicarakan, yakni kelembagaan penyelenggara pemilu, sistem pemilu, dan pembentukan dapil.

Independensi lembaga penyelenggara pemilu

Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR), lembaga penyelenggara pemilu Malaysia merupakan lembaga permanen yang didirikan pada 1957 (Reilly 2019). Keberadaannya disebutkan dalam Pasal 114 Konstitusi Malaysia. Anggota SPR dipilih oleh Agong atau Raja, atas nasihat perdana menteri. Anggota SPR dapat menjabat hingga mencapai usia 65 tahun (Keterangan jurnalis Malaysiakini.com, Zikri Kamarulzaman, 31 Oktober 2019, kepada rumahpemilu.org).

Jumlah anggota SPR berubah dari waktu ke waktu. Awalnya, SPR terdiri atas tiga orang, yakni seorang ketua dan dua anggota. Namun, pada 1963, jumlah anggota SPR ditambah satu orang  untuk mewakili negara bagian Sabah dan Sarawak. Pada 1981, jabatan wakil ketua diadakan sehingga komposisi SPR hingga saat ini menjadi tujuh orang (Reilly, 3 Desember 2019).

Dalam desain penyelenggara pemilu Malaysia, SPR bertanggung jawab untuk merekomendasikan pembentukan dapil⸻yang kemudian disahkan oleh parlemen⸻menyelenggarakan pemilu, dan mendengarkan keluhan dari para kandidat dan pemilih mengenai proses pemilihan. Pada wewenang yang terakhir disebutkan, pada praktiknya banyak dijalankan oleh lembaga legislatif dan perdana menteri (Reilly, 3 Desember 2019).

SPR yang sebetulnya merupakan lembaga independen, seringkali dituduh partisan oleh masyarakat. Salah satu alasannya ialah pembentukan dapil oleh SPR yang kerap tak mengikuti amanat di dalam konstitusi. Salah satu media alternatif Malaysia, newnarasi.com, menyoroti penyalahgunaan wewenang SPR yang dinilai berkontribusi pada pengingkaran akan prinsip “satu suara satu nilai” dalam pemilu Malaysia. Pembentukan dapil oleh SPR menyebabkan ketidakadilan perolehan kursi bagi partai politik peserta pemilu.

Benjamin Reilly dalam paper berjudul “Malaysian Electoral Reform: Three Proposals A Report for the Southeast Asia Rules-Based Order Project” (2019) menyatakan bahwa penyelenggara pemilu yang independen mestilah dapat bertindak secara otonom tanpa kendali langsung oleh pemerintah atau parlemen. Idealnya, penyelenggara pemilu tidaklah ditunjuk oleh eksekutif dan legislatif, tidak memiliki afiliasi dengan partai politik manapun, dan bekerja secara transparan dan akuntabel.

Fenomena pembentukan dapil yang menyimpang oleh SPR, menurut Reilly disebabkan oleh dua hal. Pertama, dipilihnya penyelenggara pemilu didasarkan pada nasihat perdana menteri yang notabene merupakan politisi dari partai politik pemenang pemilu. Kedua, pembentukan dapil tak dilakukan secara transparan dan akuntabel, juga dipengaruhi oleh lembaga legislatif yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan.

“Ada banyak contoh di mana pengaruh yang dirasakan dari suatu partai politik atau partai-partai atas mesin pemilu telah sangat mengurangi validitas hasil pemilu. Sekali lagi, Malaysia adalah salah satunya. …. Sebagai contoh, bagian Proyek ACE dari Jaringan Pengetahuan Pemilu di Malaysia menyatakan dengan jelas bahwa “Komisi Pemilihan dipandang sebagai salah satu instrumen utama di mana BN (Barisan Nasional) telah memanipulasi proses pemilihan untuk keuntungan politiknya sendiri,” tulis Reilly.

Dalam mereformasi lembaga penyelenggara pemilu, terdapat enam hal yang perlu dilakukan menurut International IDEA. Satu, adanya basis hukum yang menjamin bahwa penyelenggara pemilu dapat bertindak secara independen. Dua, memiliki wewenang untuk membuat regulasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu. Tiga, rekrutmen penyelenggara pemilu memberikan akses kepada semua orang dan pemilihannya berdasarkan merit sistem. Empat, adanya larangan yang mencegah terjadinya konflik kepentingan di dalam kerja-kerja penyelenggaraan pemilu. Lima, adanya sistem yang membuat penyelenggara pemilu bekerja secara transparan dan akuntabel. Enam, kerangka hukum menetapkan prosedur pengadaan barang dan jasa. Tujuh, keuangan dikelola oleh penyelenggara pemilu secara akuntabel. Delapan, tersedianya mekanisme untuk meninjau keputusan atau regulasi yang dibuat oleh penyelenggara pemilu, yang mengutamakan pada pemulihan hak warga negara(International IDEA, 2014: 102-107).

Memang tak ada standar desain manajemen tertentu: berapa jumlah anggota penyelenggara pemilu yang ideal, dan berapa lama periode jabatan penyelenggara pemilu. Di wilayah regional Asia Tenggara, hanya satu negara dimana penyelenggara pemilu dapat tetap menjabat hingga usia mencapai 65 tahun, yakni Malaysia. Dan, dari segi jumlah, negara dengan penyelenggara pemilu menjabat hanya selama tahapan pemilu, jumlah penyelenggara pemilu lebih banyak dari negara dengan penyelenggara pemilu menjabat selama periode jabatan tertentu. Berikut tabel desain penyelenggara pemilu di kawasan Asia Tenggara.

 

Tabel Desain Manajemen Penyelenggara Pemilu

Negara Jumlah anggota KPU Masa jabatan Anggota KPU dipilih oleh Ketua KPU dipilih oleh Latar belakang anggota KPU
Myanmar 5 5 tahun Presiden Presiden Ahli
Kamboja 9 Selama pemilu Pemerintah, anggota parlemen Pemerintah, anggota parlemen Ahli
Indonesia 7 5 tahun Tim seleksi Anggota KPU Ahli
Laos 17 Selama pemilu Parlemen nasional Tidak ada data Ahli
Malaysia 7 Sampai usia 65 tahun Raja, berdasarkan konsultasi dari the Conference of Rulers (eksekutif dari masing-masing negara bagian) Monarch in consultation of the Conference of Rulers Ahli
Filipina 7 7 tahun Presiden,dengan sepengetahuan Komisi Penunjukan Presiden,dengan sepengetahuan Komisi Penunjukan Ahli
Thailand 7 7 tahun Dinominasikan oleh Senat berdasarkan pengajuan dari Komite Seleksi dan Mahkamah Agung, dan ditunjuk oleh Raja. Anggota KPU Ahli
Timor Leste 7 5 tahun Presiden, anggota parlemen, dan anggota lembaga kehakiman Anggota parlemen Ahli
Vietnam 15 Selama pemilu Anggota parlemen Anggota parlemen Ahli

Sumber: data International IDEA

Reilly mengemukakan bahwa permanen atau tidaknya lembaga penyelenggara pemilu tergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Jika lembaga penyelenggara pemilu permanen, biaya mahal yang dikeluarkan mesti sepadan dengan pengelolaan administrasi kepemiluan. Komisi pemilihan umum tertua di dunia, yakni India salah satunya, sifat permanennya menunjukkan hasil penyelenggara pemilu yang memiliki kapasitas dan keahlian mumpuni dalam administrasi pemilu.

Dari perspektif masyarakat sipil di Indonesia yang telah memiliki pengalaman reformasi pemilu pada 1998, menjamin independensi lembaga penyelenggara pemilu dapat dilakukan dengan dua cara, yakni membangun mekanisme check and balance dalam proses rekrutmen penyelenggara pemilu, dan pembentukan kode etik penyelenggara pemilu untuk mengatur tata kerja penyelenggara. Dewan etik dapat dibentuk secara ad hoc, dan disesuaikan dengan budaya hukum di Malaysia.

“Rekrutmen tidak seharusnya memberikan ruang untuk monopoli oleh satu pihak saja, tetapi memberikan ruang perimbangan untuk kontrol. Tapi, jangan sampai mekanisme kontrol ini menyebabkan saling sandera. Di Amerika Serikat, senat hanya untuk mengonfirmasi nama-nama yang diberikan oleh presiden. Pola Indoneisa, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) melakukan fit and proper test lalu memutuskan nama-nama yang diberikan oleh presiden berdasarkan hasil rekrutmen oleh para ahli,” ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini saat diminta keterangan di kantor Perludem, Tebet, Jakarta Selatan (7/1).

Mengenai jabatan penyelenggara pemilu Malaysia saat ini, Titi yang juga merupakan Duta Demokrasi International IDEA menilainya patut untuk turut diubah. Periode jabatan yang panjang memang memungkinkan agenda perubahan lebih mudah dicapai dan adanya kesinambungan, namun dapat melahirkan status quo. Terpilihnya figur yang kurang tepat sebagai penyelenggara pemilu juga dapat menyebabkan sulitnya melakukan perubahan ke arah yang lebih demokratis.

“65 tahun itu terlalu panjang. Sebaiknya tidak menjadi jabatan seumur hidup. Lebih baik ada durasi yang proporsional sehingga pembaharuan-pembaharuan di lembaga bisa terus dilakukan dan ada kaderisasi,” tukasnya.

Sistem pemilu

Berdasarkan keterangan dari Thomas Fann dari Bersih 2.0 saat ditemui pada Election Study Program yang diadakan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Indonesia di Bali (12/12), pilihan sistem pemilu Malaysia mengerucut pada sistem proportional representative (PR). Sebelumnya, dalam diskursus, muncul usulan sistem mixed-member majoritarian (MMM) atau sistem paralel dan mixed-member proportional (MMP), yang termasuk dalam keluarga sistem pemilu campuran. Dalam skenario MMM, 111 anggota parlemen dipilih di tingkat nasional dengan metode proporsional daftar partai, dan 222 anggota distrik dipilih dengan sistem distrik. Sementara dalam skenario MMP, alokasi kursi daftar partai disesuaikan untuk setiap disproporsionalitas yang timbul dari sistem distrik. Sebagai contoh, jika sebuah partai memenangkan 30 persen dari keseluruhan suara secara nasional tetapi hanya mendapatkan 20 persen kursi berdasarkan sistem distrik, maka partai tersebut akan diberikan kursi tambahan berdasarkan sistem proporsional daftar tertutup agar total kursi yang diperolehnya menjadi 30 persen. Di bawah sistem MMM dan MMP, pemilih harus mengisi dua surat suara, satu surat suara memilih satu kandidat, dan satu surat lainnya memilih satu partai(Reilly, 3 December 2019).

Sistem pemilu Malaysia yang baru akan diterapkan pada Pemilu Malaysia 2024. Jika pada pemilihan parlemen pilihannya pada sistem PR, Komite Reformasi Malaysia masih menghendaki sistem first past the post (FPTP) sebagai sistem pemilihan anggota majelis negara bagian(Malaymail, 2 Oktober 2019).

Tabel Sistem Pemilu di Asia Tenggara

Negara Sistem Pemilihan Legislatif Nasional Jumlah Anggota yang dipilih
Malaysia FPTP (sebelum reformasi) 222
Indonesia PR daftar calon 575
Thailand MMP (350 anggota dipilih berdasarkan sistem distrik, dan 150 anggota dipilih berdasarkan sistem PR daftar parta). 500
Filipina Paralel (245 anggota dipilih berdasarkan sistem FPTP, dan 61 anggota dipilih berdasarkan sistem PR daftar partai). 306
Kamboja PR 125
Myanmar FPTP 330
Laos Block Vote (BV) 149
Timor Leste PR daftar partai 65
Vietnam Two Round System (TRS) 496
Singapura FPTP 89

Sumber: data International IDEA

Pakar pemilu dari International IDEA, Adhy Aman seringkali mengatakan bahwa trend di dunia internasional, negara-negara dengan sistem FPTP dan sistem lain dalam keluarga sistem pemilu plurality/majority beralih ke sistem campuran dan PR. Setidaknya, terdapat 5 negara yang mengubah sistem pemilunya ke sistem PR, yakni Irak, Rwanda, Sierra Leone, Afrika Selatan, dan Moldova. Ada juga 4 negara lain yang berubah ke sistem paralel, yaitu Filipina, Monaco, Ukraina, dan Rusia(International IDEA 2005: hal 26).

Kasus Thailand, sistem Block Vote (BV) yang merupakan bagian dari keluarga sistem plurality/majority diubah ke sistem paralel pada 1997(Data ACE Project), dan diubah lagi menjadi sistem MMP pada 2017(Data International IDEA). Sistem MMP dipilih dan bertahan hingga saat ini karena dianggap memberikan ruang bagi banyak warna politik. Thailand memang mengganti pilihan sistem pemilunya untuk mengakhiri dominasi satu partai politik yang terjadi akibat pilihan sistem pemilu plurality/majority(The Nation Thailand, 12 Mei 2015).

Di Indonesia, sistem pemilihan legislatif sejak Pemilu pertama pada 1955 tak pernah berubah meski konstitusi tidak mengamanatkan sistem pemilu tertentu untuk pemilihan legislatif. Perubahan hanya terjadi pada skema PR daftar partai yang diubah pada Pemilu 2004 menjadi PR semi daftar calon dan pada Pemilu 2009 PR daftar calon. Perubahan ini didesak oleh masyarakat sipil karena sistem PR daftar partai mengakibatkan dominasi elit dalam tubuh partai dan terjadinya jual beli nomor urut. PR daftar partai dinilai masyarakat sipil menghambat terpilihnya kader-kader partai berkualitas yang tak dekat dengan elit partai atau tak punya uang banyak untuk membeli nomor urut atas(wawancara dengan Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, pada 6 Januari 2020).

Sistem PR dan campuran memang cocok diterapkan di sebuah negara dengan identitas dan warna politik beragam, tak seperti sistem plurality/majority yang hanya menghasilkan satu atau dua partai politik dalam pemerintahan. Namun, catat Reilly, bagi Malaysia yang akan menerapkan sistem PR atau campuran, meski diketahui bahwa kedua sistem ini memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, sistem pemilu akan lebih kompleks bagi politisi dan pemilih, terutama pada sistem campuran. Kedua, menciptakan pluralisme terpolarisasi karena sistem memberikan ruang bagi lebih banyak partai politik.

Perludem juga mewanti-wanti pilihan sistem PR yang diambil oleh KRP. Perubahan dari FPTP ke PR merupakan perubahan ekstrim karena merubah sistem secara fundamental. Dalam merancang perubahan sistem pemilu, setiap pihak yang berkepentingan tak hanya harus mengkaji dampak politik dan elektoral, melainkan implikasi teknis. Perubahan sistem juga membutuhkan waktu untuk sosialisasi dan adaptasi seluruh pihak, terutama partai politik yang telah memiliki relasi representasi dengan konstituen.

“Contoh Indonesia, saat kita menerapkan pemilu serentak lima kotak, implikasi teknik luput diperhatikan. Hanya melihat desain politik dan elektoralnya. Oleh karena itu, konsekuensi-konsekuensi atas setiap pilihan harus betul-betul diukur,” tandas Titi.

Pembentukan dapil

Guna menyudahi praktik gerry mandering dalam pembentukan dapil di Malaysia, Komite Reformasi Pemilu Malaysia mengusulkan agar pembentukan dapil ditetapkan oleh badan independen dan bukan oleh komisi pemilihan. Komite Reformasi juga merekomendasikan amandemen terhadap aturan di dalam konstitusi yang mensyaratkan agar perubahan terhadap dapil hanya dapat dilakukan delapan tahun sejak dapil terakhir ditetapkan, dan agar konstitusi memuat parameter yang adil dalam pembentukan dapil. Namun, usulan amandemen dinilai Thomas Fann, Ketua Bersih 2.0, akan menghadapi tantangan besar karena berdasarkan Pasal 46 konstitusi, amandemen hanya dapat dilakukan jika disetujui oleh dua pertiga anggota parlemen. Saat ini, posisi partai pendukung Pemerintah sebagai pihak yang mengusulkan reformasi pemilu tak mencapai dua pertiga.

“Konstitusi Federal kami menyatakan bahwa itu (perubahan dapil) hanya dapat dilakukan 8 tahun setelah yang terakhir, dan yang terakhir itu adalah di tahun 2018. Tetapi, amandemen bisa dipicu jika ada perubahan dalam jumlah kursi federal di Majelis Rendah Parlemen. Sayangnya, untuk bisa melakukan amandemen, Pasal 46 mensyaratkan persetujuan oleh mayoritas dua pertiga suara di Parlemen, yang tidak dimiliki oleh Pemerintah saat ini,” terang Thomas dalam keterangan tertulisnya kepada rumahpemilu.org (7/1).

Reilly dalam paper-nya (Reilly, 2019) mendukung upaya Komite Reformasi untuk melakukan amandemen. Pasalnya, menurut Reilly, senada dengan pendapat Malaysiakini dan New Naratif,  aturan di dalam konstitusi terkait prinsip-prinsip pembentukan dapil merupakan sumber ketidakadilan dalam pemilu.

Dalam Konstitusi Malaysia tahun 1957, terdapat ketentuan yang memaklumkan jika jumlah perwakilan di pedesaan lebih besar dari daerah perkotaan. Latar belakangnya, etnis Melayu lebih banyak tinggal di daerah pedesaan, dan politik yang ada menghendaki agar Melayu mendomisasi sistem politik Malaysia. Adapun ketentuan tambahan yakni, agar nilai suara tak terlampau jomplang, yakni perbedaan ukuran suara antar dua kabupaten tak boleh lebih dari 15 persen (Reilly, 2019).

Pada praktiknya, perbedaan nilai suara bahkan menjadi 33 persen. Sebagai contoh, harga satu kursi di dapil terkecil, yakni Putrajaya adalah 15.791 pemilih. Harga ini sembilan kali lipat dari harga kursi di Kapar, yakni 144.369 pemilih. Akibatnya pula, pada Pemilu Malaysia 2018, meski pihak oposisi memenangkan suara sebesar 50,8 persen, tetapi pihak Barisan Nasional yang memperoleh suara 47,37% memperoleh 133 dari 222 kursi atau setara dengan 59,9 persen (New Naratif, 21 Maret 2018).

Menanggapi masukan tersebut, Thomas mengatakan Komite Reformasi berupaya mendorong agar pembentukan dapil mendekati kaidah kesetaraan nilai suara. Namun, karena adanya karakteristik demografi di desa-desa tertentu⸻luas daerah besar tetapi jumlah pemilih sedikit⸻Komite Reformasi mengusulkan agar tetap diadakan pengecualian dengan mempertahankan kelompok 15 persen dan kelompok 33 persen.

“Kami setuju dengan prinsip satu orang satu suara dengan beberapa pengecualian untuk konstituensi pedesaan yang luas daerahnya lebih besar dan pemilih lebih sedikit. Ttu sebabnya varian kelompok 33 persen berada di bawah rata-rata negara. Ada kelompok 15 persen dan 33 persen ini karena kami ingin mencapai kesetaraan nilai suara dan batas-batas dapil yang memisahkan komunitas lokal, yang menghasilkan gerry mandering,” urai Thomas.

Komite Reformasi Pemilu Malaysia diharapkan mengadopsi prinsip-prinsip pembentukan dapil internasional. International Foundation for Electoral Systems (IFES) memberikan empat prinsip dalam pembentukan dapil. Pertama, pembentukan dapil mesti dilakukan oleh badan independen, non-partisan, independen, dan professional. Kedua, kesetaraan nilai suara. Ketiga, mempertimbangkan kohesivitas masyarakat yang ditentukan oleh faktor-faktor seperti batas administrasi, keadaan geografis, dan komunitas yang sama. Keempat, penetapan dapil tidak mendiskriminasi pemilih berdasarkan ras, warna kulit, bahasa, agama, atau status tertentu. Kelima, proses pembentukan dapil terbuka dan dapat diakses oleh publik (IFES 2007: hal. 59-74).

“Parlemen harus dapat menetapkan kriteria pembentukan dapil berdasarkan standar yang diterima secara internasional. Jika pembentukan dapil sesuai dengan prinsip-prinsip internasional, hasil pemilu Malaysia akan semakin adil dan diterima oleh publik,” tulis Reilly dalam makalahnya berjudul Malaysian Electoral Reform – Three Proposals, A Report for the Southeast Asia Rules-Based Order Project (2019).

Kasus Indonesia, prinsip pembentukan dapil dimuat di dalam Undang-Undang (UU) Pemilu. Dapil parlemen nasional dan provinsi ditentukan oleh anggota parlemen nasional dan dicantumkan dalam lampiran UU Pemilu, sementara dapil parlemen kabupaten/kota disusun oleh KPU kabupaten/kota dan ditetapkan oleh KPU pusat. Model ini dikritik oleh pegiat pemilu, salah satunya Hadar Nafis Gumay(CNN Indonesia, 8 Maret 2017), mantan anggota KPU pusat. Dapil semestinya tak ditentukan oleh pemain, dan penyusunannya melalui proses terbuka dimana publik dapat memberikan masukan dan kritik.

Di Thailand, dapil seluruhnya ditentukan oleh komisi pemilihan dan diberikan kesempatan kepada publik dan partai politik untuk memberikan masukan. Pihak yang tak menyetujui dapil yang telah disahkan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Administrasi (The Nation Thailand, 28 November 2018).

Di Myanmar, jumlah dapil ditentukan di konstitusi dan pembentukannya diserahkan kepada komisi pemilihan (United States Institute of Peace 2019: 11). Sejak kemerdekaan Myanmar, pembentukan dapil ditentukan berdasarkan batas-batas administratif, bukan jumlah populasi atau jumlah pemilih. Alhasil, terjadi ketidaksetaraan nilai suara (Laporan The Carter Center 2015: 6 dan 27).

Jika melihat peraturan di berbagai negara di Asia Tenggara, dapil ditentukan oleh lembaga penyelenggara pemilu. Pengalaman Malaysia bahwa wewenang penyelenggara pemilu membentuk dapil menyebabkan gerry mandering tak akan terulang jika terdapat mekanisme kontrol dalam rekrutmen penyelenggara pemilu dan tata kerja yang transparan pun akuntabel. Jika penyelenggara pemilu dipastikan kemandirian dan independensinya, maka tak perlu dibentuk lembaga atau komisi baru untuk membentuk dapil. Terlebih, jika pada komisi baru tersebut tak juga dapat dipastikan kapasitas dan paradigma anggotanya yang mampu memperkuat demokrasi.

“Keuntungan pembentukan dapil oleh penyelenggara pemilu, kalau pengelenggaranya independen, lebih tersedia jaminan untuk punya output yang juga independen. Dan, mekanismenya lebih sederhana, tidak melibatkan banyak pihak dan banyak badan. Jadi, ada institusi yabng fokus mengurusi pemilu, tanpa perlu menambah badan baru lagi. Membentuk lembaga baru pun tidak akan menjadi solusi kalau tidak diikuti oleh kapasitas, kompetensi, dan paradigma anggota yang memperkuat demokrasi,” tutur Titi.

Mengawal reformasi pemilu

Dijadwalkan, Komite Reformasi Pemilu Malaysia akan menyerahkan laporan lengkap dan proposal reformasi pada pertengahan 2020. Belajar dari pengalaman Indonesia, setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan oleh masyarakat sipil di Malaysia dalam rangka mengawal reformasi pemilu yang tengah berjalan. Pertama, memastikan reformasi pemilu memiliki sambungan dengan perbaikan kualitas politik.

Di Indonesia, reformasi pemilu pada masa Reformasi tahun 1998 ditekankan pada penyelenggara pemilu yang independen dan nonpartisan, serta landasan hukum yang mampu menjamin terselenggaranya  pemilu yang transparan, bebas, adil, dan demokratis. Reformasi pemilu Indonesia kala itu merupakan bagian dari reformasi politik, yang salah satu tujuannya adalah kebebasan berpartisipasi dalam politik. Oleh karena itu, reformasi melahirkan syarat yang mudah untuk menjadi partai politik peserta pemilu.

Euforia tersebut ternyata mengalihkan perhatian masyarakat sipil atas reformasi menyeluruh terhadap sistem politik Indonesia. Peneliti senior pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsyuddin Haris berpendapat Reformasi 1998 merupakan reformasi setengah-setengah (Rumahpemilu.org, Mei 2018). Undang-undang pemilu tak memiliki sambungan dengan undang-undang politik lainnya sehingga aturan main dalam pemilu yang baru tak sanggup menghasilkan pemerintahan yang berkualitas. Undang-undang pemilu juga luput mengatur keuangan partai politik dan pendanaan kampanye sehingga reformasi tak memberikan insentif bagi penyelesaian masalah akuntabilitas dana politik.

Jika melihat isu-isu yang dibahas dalam Reformasi Pemilu Malaysia, isu keuangan politik telah masuk mejadi topik bahasan. Penting untuk memastikan mekanisme tranparansi dan akuntabilitas keuangan ini memiliki sambungan dengan undang-undang politik lainnya. Jangan sampai mengulangi kegagalan reformasi di Indonesia, reformasi pemilu tak akan berarti tanpa reformasi partai politik. Reformasi pemilu harus menggunakan pendekatan holistik, yakni reformasi itu mampu menghubungkan antara sistem pemilu, sistem kepartaian, sstem perwakilan, dan sistem pemerintahan.

“Salah stau pembelajaran dari reformaisi politik di Indoensia adalah Indonesia melewatkan momen untuk mereformasi kelembagaan partai politik. Partai mau tidak mau harus menjadi aktor yang mendapatkan fokus besar untuk direformasi. Karena, akses-akses kekuasaan sangat besar pada mereka. Jadi, Malaysia harus memastikan kelembagaan partai politik difreformasi menjadi lembaga penopang utama demokrasi,” ucap Titi.

Kedua, mengimbangi konsensus politik antar elit dengan memperkuat konsolidasi sipil. Sebagaimana diutarakan oleh Reilly, reformasi perlu mendapat pengawalan ketat dari sipil karena elit seringkali berkonsolidasi untuk mempertahankan sistem yang membawanya pada kekuasaan. Utamanya perubahan sistem pemilu, partai-partai politik akan berkalkulasi menghitung untung-rugi atas pilihan sistem yang diajukan oleh Komite Reformasi Pemilu. Bagi partai besar, sistem FPTP akan mempertahankan posisinya. Namun bagi partai kecil, sistem PR terlihat menjanjikan untuk memberi tambahan kursi atau mempertahankan kursi yang sedikit.

Ditengah tarik-menarik kepentingan dalam reformasi pemilu, sipil mesti berkonsolidasi agar dapat memegang kendali dan memiliki posisi tekan terhadap pemerintah. Komite Reformasi Pemilu telah menjaring pendapat dari berbagai kelompok, hasilnya mestilah sejalan dengan kepentingan publik dan mengindahkan prinsip-prinsip pemilu internasional. Belajar dari pengalaman Indonesia, konsolidasi masyarakat sipil harus mampu mencegah reformasi dikendalikan oleh elit. Untuk menjamin konsolidasi, politik Malaysia harus menjamin kebebasan berpendapat baik bagi publik maupun media massa.

 

Referensi:

Data dari International IDEA dapat diperoleh melalui link https://www.idea.int/data-tools.

CNN Indonesia. 8Maret 2017. “KPU Minta DPR Tak Urusi Penataan Dapil Pemilu 2019”. Berita dalam https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170308082258-32-198591/kpu-minta-dpr-tak-urusi-penataan-dapil-pemilu-2019.

IFES. (2007). “Challenging the Norms and Standards of Election Administration: Boundary Delimitation”. Artikel dalam https://ifes.org/sites/default/files/4_ifes_challenging_election_norms_and_standards_wp_bndel.pdf.

International IDEA. (2005). “Desain Sistem Pemilu: Buku Panduan Baru International IDEA”. Buku dapat diakses melalui laman https://www.idea.int/sites/default/files/publications/desain-sistem-pemilu.pdf.

International IDEA. (2014). “Electoral Management Design”. Buku dapat diakses melalui laman https://www.idea.int/sites/default/files/publications/electoral-management-design-2014.pdf.

International IDEA. 3 Desember 2018. “Roundtable on Electoral Reform of Malaysia: The Way Forward for Free and Fair Elections”. Berita dalam https://www.idea.int/news-media/news/roundtable-electoral-reform-malaysia-way-forward-free-and-fair-elections.

Malaymail. 2 Oktober 2019. “Electoral Reform Committee proposes proportionate representation system for parliamentary seats”. Berita dalam https://www.malaymail.com/news/malaysia/2019/10/02/electoral-reform-committee-proposes-proportionate-representation-system-for/1796495.

New Naratif. 21 Maret 2018. “Bagaimana pilihan raya di Malaysia disalah atur”. Artikel dalam https://newnaratif.com/research/bagaimana-pilihan-raya-di-malaysia-disalah-atur/.

New Straits Times. 9 Oktober 2019. “Electoral reform vital to ensure level playing field”. Berita dalam https://www.nst.com.my/news/nation/2019/10/528264/electoral-reform-vital-ensure-level-playing-field.

Reilly, Benjamin. 3 Desember 2019. “Electoral reform promises to change Malaysian politics”. Artikel dalam https://www.eastasiaforum.org/2019/12/03/electoral-reform-promises-to-change-malaysian-politics/.

Reilly, Benjamin. 2019. “Malaysian Electoral Reform, Three Proposals: A Report for the Southeast Asia Rules-Based Order Project”. Artikel penelitian dipublikasi dalam https://researchimpact.uwa.edu.au/wp-content/uploads/2019/09/Malaysia-electoral-reform-options.pdf.

Rumahpemilu.org. Mei 2018. “Syamsuddin Haris: Sistem Politik Indonesia Gagal Direformasi”. Wawancara dalam http://rumahpemilu.org/wp-content/uploads/2018/05/Newsletter-20-Tahun-Reformasi.pdf.

Smeltzer, Sandra; Paré, Daniel J. (2015). “Challenging electoral authoritarianism in Malaysia: the embodied politics of the Bersih movement”. Artikel dalam Jurnal Social Movement Vol. 7 (2): 120 – 144. Dapat diakses melalui laman http://www.interfacejournal.net/wordpress/wp-content/uploads/2015/12/Issue-7-2-Smeltzer-and-Pare.pdf.

The Carter Center. 2015. “Observing Myanmar’s 2015 General Elections”. Laporan diterbitkan dalam https://www.cartercenter.org/resources/pdfs/news/peace_publications/election_reports/myanmar-2015-final.pdf.

The Nation Thailand. 12 Mei 2015. “Will new voting system work for Thailand?”. Berita dalam https://www.nationthailand.com/politics/30259960.

The Nation Thailand. 28 November 2018. “EC completes redrawing of constituencies”. Berita dalam https://www.nationthailand.com/politics/30359473.

The Straits Times. 27 Agustus 2015 . “What you need to know about Malaysia’s Bersih movement”. Artikel dalam https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/what-you-need-to-know-about-malaysias-bersih-movement.