November 28, 2024

Demokrasi Impresi

“Hanya pemenang yang kita yakini.”

Begitu salah satu kalimat dalam lirik lagu “Impresi” dari Pas Band. Lagu yang dibuat dan dipopularkan pada konteks pemerintahan Presiden Soeharto ini menjelaskan keadaan politik yang diukur dari impresi Pimpinan Eksekutif. Yang benar, yang baik, yang sesuai, adalah yang ditunjukan oleh Presiden. Yang berbeda apalagi melawan dinilai salah bahkan bisa dihukum penjara.

…Pencaci bersemi luka luka,

kekerasan dan tangisan

Kritisme Pas Band mewakili oposisi Orde Baru. Memanfaatkan ruang sempit kebebasan melalui jalur kebudayaan yang simbolik. Sekonyong-konyong mengkritik saat itu bisa masuk dikurung, hilang, bahkan pulang tinggal nama. Sedikit saja pikiran saat itu sudah cukup menyadari bahwa demokrasi sedang bermakna otokrasi. Kekuasaan Soeharto adalah ketunggalan yang menghilangkan segala perbedaan dan perlawanan. Kebebasan bicara berarti omong kosong.

Kemiskinan dan ketakutan ditenangkan dengan pembangunan. Para petani menyerta komoditasnya dikendalikan tirani melalui kamuflase kesejahteraan Kelompencapir TVRI. Pemikiran berbeda dilarang karena Pancasila sudah final—yang kita tak tahu kapan semifinal-nya? Politik dibuat tak dinamis karena NKRI harga mati. Yang bergerak adalah pengabdian kekaryaan yang mengisi gegap gempita infrastuktur.

Melalui penyelenggaraan pendidikan nasional, warga dihasut dengan citra negeri yang harus dicintai. Indonesia ijo royo royo padahal hutan dikuasai pimpinan tentara dengan Surat Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Hujan emas di negeri orang masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Cinta tanah air sebagian dari pada iman. Dan, haram hukumnya mengkritik pemimpin muslim (baca: beragama Islam).

Aku mulai bosan dengan harapan

Padahal, dalam banyak indeks kualitas negara-negara dunia, Indonesia ada di ranking buruk. Indonesia bukan hanya sebagai negara korupsi tinggi tapi juga dipimpin koruptor nomor 1 di dunia menurut Transparency International. Bhinneka Tunggal Ika hanyalah slogan karena ekspresi keragaman diancam sehingga Indonesia terjerambap dalam peringkat indeks kebebasan Freedom House.

Aku mulai muak dengarkan ceritamu

Reformasi pecah dirayakan pesta demokrasi 1999. Ini Pemilu terbaik kedua Indonesia setelah 1955, terbaik pada aspek kontestasi dan hasil pemilu. Kita punya anggota parlemen yang memilih Simbol Reformis sebagai presiden. Entah kapan lagi terjadi.

Dipimpin lokomotif perdamaian, pendekatan perang militer terhadap ekspresi kemerdekaan di Aceh dan Papua diubah dengan penghormatan budaya dan otonomi khusus. Yang berbeda, yang kecil, dan yang lemah dirangkul diposisikan setara sebagai warga di hadapan negara hukum.

Sayangnya, impresi disabilitas Presiden Reformasi dipolitisasi dengan kebutuhan stabilitas. Perempuan sebagai penggantinya, punya impresi kegagahan laki-laki yang diturunkan sejarah sperma: Revolusi, merdeka, linggis, setrika, ganyang!

Memang, Reformasi hanya tepat sebagai sesuatu yang pecah. Terjebak pada impresi ketokohan personal, pengupayaannya tak menyertakan perencanaan politik alternatif yang solid dalam bentuk kelembagaan demokrasi. Sehingga, kekuasaan zalim yang kalah tak serta merta luluh lantah. Karakter dan tindak Orde Baru masih ada bahkan berlipat ganda dalam ragam bentuk yang mengatasnamakan pembaru: demokratis, solidaritas, dan kini kaum progresif.

Reformasi menghasilkan amandemen memilih presiden melalui pemilu langsung. Tak tahu, apakah perubahan konstitusi ini menyertakan pengetahuan bahwa sistem pemerintahan presidensial kalah berhasil dengan parlementer dibanyak peringkat negara dunia? Sejak merdeka, negara bhinneka tunggal ika ini berkarakter multipartai tapi malah kemerdekaan politik mengawinkan banyak partai dalam parlemen dengan presidensial. “Tak ada negara presidensial multipartai ekstrim yang baik,” begitu kesimpulan riset panjang Scott Mainwaring yang dipublikasikan 1 dekade sebelum Indonesia memilih presidensial.

Pemilihan presiden langsung berkonsekuensi sistemik membelah masyarakat berdasar identitas mayoritas. Perebutan 1 kursi kekuasaan kepala pemerintahan sekaligus kepala negara ini mendorong elite politik memainkan sentimen identitas terkuat yang ada dalam masyarakat. Logika pemenangan menyerta dukungan pemilih cenderung menjadi dua: mendukung yang terkuat atau melawannya.

Ian Budge dalam “Direct Democray” mengingatkan kritik yang ditujukan dalam pemilu bersistem mayoritas (50%+1). Selain dilupakannya eksistensi kelembagaan utama demokrasi seperti partai politik dan parlemen oleh publik, pemilu bersistem mayoritas akan menghadirkan tirani mayoritas. Sehingga, demokrasi langsung cenderungan bersifat otoritarian terhadap minoritas.

Dalam sistem politik ini, impresi personal ketokohan lebih mungkin dieksploitasi menyertai identitas mayoritas. Oposisi biner “Pancasila vs Islam” dalam masyarakat yang berhasil diredam melalui Pemilu Parlemen 1999 kembali muncul sejak Pemilu Presiden 2004 lalu makin menguat pada Pilkada DKI 2012, Pemilu Presiden 2014, Pilkada 2017, dan Pemilu Serentak Nasional 2019. Kontestasi politik Indonesia yang bhinneka malah soal impresi personal nasionalis atau religius dengan massa membebek bernama “cebong” atau “kampret”.

Pemilu pimpinan eksekutif langsung yang membelah massa membuat bhinneka tinggal dua terus berseteru. Ada yang dipenjara hanya karena berbicara. Ada yang diusir dari lingkungannya. Ada yang tak diterima pemakamannya karena perbedaan pilihan calon eksekutif. Harmoni masyarakat rusak setiap pemilu dan kembali rusak sebelum utuh diperbaiki.

Demokrasi impresi menjadikan “dari, oleh, dan untuk rakyat” sebagai hal yang seolah-olah. Impresi kedaulatan. Padahal tumbal kekuasaan.

Kita lupa rindangnya nurani, pertarungan adalah mati

Tak jadi akhirkan cerita, tak sembuhkan luka-luka. []

USEP HASAN SADIKIN