November 28, 2024

Menarik Kerah Parlemen

Putusan Mahkamah Konstitusi (23/1’14) yang menitah penyelenggaraan pemilu serentak pada 2019 bisa dinilai sebagai penguatan sistem pemerintahan presidensial. Tapi menguatnya presidensialisme Indonesia bergantung pada pengertian serta bentuk implementasi pemilu serentak. Salah memberikan pengertian atau salah mendesain pemilu serentak bisa berdampak pada kompleksitas semata. Indonesia yang semakin sulit kembali ke sistem parlementer seharusnya bisa mempersiapkan Pemilu Serentak 2019 sesuai dengan tujuan penguatan presidensial.

Pakar hukum tata negara, Saldi Isra mengatakan (12/2’15), pemilu serentak (concurrent election) mempunyai latar belakangan pemilu di pemerintahan presidensial yang menghasilkan presiden dari partai pendukung yang memperoleh kursi sedikit di parlemen atau bukan mayoritas. Latar belakang yang Saldi sebutkan jika merujuk pada tiga pemilu presiden secara langsung/pilpres (popularly elected), memang tak pernah presiden terpilih didukung partai mayoritas parlemen.

Pemilu 2004 jelas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merupakan calon dari Partai Demokrat yang kursinya hanya 10,36 persen (57/550) di parlemen. Pun di periode Presiden SBY kedua, Demokrat dengan 26,78 persen (150/560) kursi parlemen tak bisa disebut partai mayoritas. Lalu hasil Pilpres 2014 Joko Widodo didukung PDIP dengan kursi parlemen kurang dari 20 persen (109/560).

Berdasarkan pembahasan sistem dan desain pemilu, penyelenggaraan pemilu serentak pada 2019 bertujuan menguatkan presidensialisme melalui parlemen hasil pemilu yang kondusif mendukung kerja eksekutif. “Bagaimana pemilu mendorong hasil, partai pemenang pemilu merupakan partai mayoritas parlemen yang mengusung presiden terpilih?” menjadi pertanyaan utama.

Sayangnya, jawaban dari pertanyaan ini mempunyai hambatan hukum. Keadaan konstitusi dan undang-undang mengenai kepemiluan belum mendukung pemilu serentak bisa berjalan sesuai tujuan.

Pemilu serentak

Didik Supriyanto dkk. dalam “Menata Ulang Penjadwalan Pilkada” (2013) menjelaskan, pemilu serentak adalah penggabungan pelaksanaan pileg dan pilpres dalam satu hari H pemungutan suara. Tujuannya untuk menciptakan pemerintahan kongruen  atau menghindari pemerintahan terbelah (divided government) yang berwujud jumlah kursi mayoritas parlemen bukan dimiliki partai atau koalisi partai yang mengusung presiden terpilih. Maksudnya, terpilihnya pejabat eksekutif yang mendapatkan dukungan legislatif sehingga pemerintahan memungkinkan lebih stabil dan efektif secara politik.

Disimpulkan, pemerintahan presidensial ternyata lebih tak stabil dibandingkan pemerintahan parlementer. Meskipun pemerintahan presidensial punya periode kekuasaan pasti (fix system), namun keadaan dukungan parlemen menjadi salah satu penentu usia dan efektivitas eksekutif.

Mengapa pemilu serentak bisa menghindari pemerintahan terbelah? Jawabannya, pemilu serentak menimbulkan efek menarik kerah (coattail effeck). Efek menarik kerah adalah tingkat keterpilihan tokoh yang diusung sebagai calon pimpinan eksekutif oleh partai atau koalisi partai akan mempengaruhi suara partai atau partai-partai di dalam koalisi yang mengusung si tokoh. Jika pemilih disodorkan satu surat suara untuk memilih presiden dan memilih partai sekaligus, maka pemilih cenderung memilih partai yang mencalonkan presiden yang disukai pemilih.

Pemilu serentak yang diterapkan di Brasil pada 1994 berhasil menstabilkan dan mengefektifkan pemerintahan. Uruguay dan negara Amerika Latin lainnya ikut menerapkan pemilu serentak. Stabil dan efektifnya pemerintahan hasil pemilu serentak di Amerika Latin berhasil menghilangkan kutukan sistem pemerintahan presidensial yang tak cocok dengan sistem multipartai dan sistem pemilu proporsional (list proportional representation/PR).

Hambatan proporsional daftar terbuka

Yang menjadi catatan, efek menarik kerah di Pemilu Brasil relatif berjalan baik karena menerapkan sistem pemilu proposional tertutup (close list PR). Pemilu serentak Brasil memang butuh dua periode pemilu untuk menghasilkan pemerintahan kongruen. Pada pemilu serentak pertama, Partai Buruh yang mengusung presiden terpilih, Lula tak menjadi partai pemenang pemilu legislatif. Tapi di pemilu serentak kedua dan pemilu serentak berikutnya, presiden terpilih bersama partai pengusungnya menghasilkan pemerintahan kongruen seiring nalar publik yang menyadari efek menarik kerah.

Hal itu menjadi pembeda dengan pemilu Indonesia. Belum adanya undang-undang untuk penyelenggaraan pemilu serentak 2019 menjadikan sistem proporsional daftar terbuka (open list PR) dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2012 berkemungkinan dilanjutkan. Sistem ini pun dinilai masih menjadi solusi mengatasi buruknya kualitas partai di Indonesia.

Sistem proporsional daftar terbuka tak efektif untuk mengoptimalkan efek menarik kerah dalam pemilu serentak. Dampaknya, pemerintahan kongruen sebagai tujuan dari pemilu serentak bisa tak terwujud. Jika pemilih disodorkan surat suara pilihan presiden dan pilihan partai secara terpisah menyertakan daftar caleg, maka ada kecenderungan pilihan presiden tak sesuai dengan pilihan partai yang mencalonkan presiden karena pemilih memilih caleg berdasarkan kualitas caleg bukan kualitas partai/presiden.

Keadaan itu bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi di Pemilu 2014. Selain faktor banyaknya partai serta waktu pemilihan pileg dan pilpres yang berbeda (yang otomatis surat suara pilpres dan pileg terpisah), sistem proporsional daftar terbuka membuat Jokowi efek yang diperkirakan muncul di hasil pemilu tak signifikan menarik elektabilitas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).  Orang yang akan memilih Jokowi  di pilpres 9 Juli 2014 bukan berarti pemilih PDIP di pileg 9 April 2014. Pemilih tak serta-merta memilih PDIP meskipun Jokowi telah diumumkan sebagai capres oleh PDIP sebelum pemungutan suara pileg.

Kecenderungan dan faktor itu bisa mengevaluasi lembaga survei di Pemilu 2014. Pertanyaan survei untuk mengetahui elektabilitas partai dan bakal capres tak relevan di konteks sistem pemilu proporsional terbuka. Pertanyaan survei “jika (pemungutan suara) pemilu hari ini, anda akan memilih partai apa?” tak relevan karena pemilih di 9 April 2014 berkecenderungan memilih nama caleg, bukan partai.

Belum lagi faktor politik uang yang tak terpusat pada partai melainkan berasal dari masing-masing caleg. Selain itu, pilihan caleg antara DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota berkecenderungan berbeda partai. Ini faktor laten kenapa prediksi elektabiltas PDIP antara survei dengan kenyataan berbeda jauh.

Hambatan syarat keterpilihan presiden

Selain sistem pemilu proporsional daftar terbuka, pembentukan pemerintahan yang kongruen dari efek menarik kerah pemilu serentak akan terhambat oleh syarat keterpilihan presiden. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 6 (A) ayat (3) bertuliskan, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.

Lalu ayat (4) bertuliskan, dalam hal tidak adanya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Dua ayat tersebut menetapkan bahwa ada dua syarat keterpilihan presiden dan wakil presiden di ayat ini, suara terbanyak dan sebaran daerah. Syarat suara terbanyak adalah minimal 50 persen sedangkan syarat sebaran daerah adalah minimal 20 persen suara tiap provinsi di lebih dari setengah provinsi jumlah provinsi Indonesia. Jika kedua syarat tersebut tak terpenuhi maka dilakukan pilpres putaran kedua.

Djayadi Hanan (12/2’15) mengatakan, pemilu presiden dua putaran atau lebih (majority run off/MRO) dalam pemilu serentak cenderung mengurangi kemungkinan munculnya partai mayoritas dalam parlemen. Ini berarti pemerintahan kongruen sebagai salah satu tujuan pemilu serentak bisa tak tercapai. Koalisi partai-partai lebih awal yang ingin didorong pun akan tertunda karena  partai dan kandidat yang berkompetisi lebih terfokus pada bagaimana maju ke putaran kedua.

Djayadi merujuk pada data nilai partai efektif (ENPP) di 34 negara pada 1997 (Nunes and Thies, 2013). Jika pemilu serentak menggunakan sistem pluralitas pada pilpres akan menghasilkan ENPP 2,77. Sedangkan pemilu serentak menggunakan sistem MRO, akan menghasilkan ENPP 4,28 (selisih 1,51).

Partai-partai peserta pemilu serentak cenderung akan mengajukan calon presiden mereka masing-masing. Jika kecenderungan ini tak disertakan dengan sistem pluralitas (plurality/majority) pada pilpres, pemilu serentak tak membantu banyak menguatkan sistem presidensial multipartai. Fragmentasi sistem kepartaian di parlemen tetap kuat terjadi.

Mekanisme pluralitas penting dipertimbangkan untuk menyikapi partai-partai yang berpotensi terfragmentasi ketika pileg dan pilpres diselenggarakan serentak. Ada kecenderungan, setiap partai yang mempunyai kandidat presiden yang hebat akan mengabaikan pertimbangan koalisi. Dengan pilpres satu putaran, partai-partai cenderung mencalonkan salah satu dari dua kandidat paling kompetitif, dan berujung pada mengumpulnya dukungan partai-partai legislatif pada dua kandidat tersebut. Ketika salah satu dari kandidat itu memenangkan pilpres, maka dukungan terhadap presiden tersebut di legislatif cenderung akan mayoritas atau mendekati mayoritas.

Pemetaan dua hambatan terhadap pemilu serentak untuk menguatkan presidensialisme perlu disikapi paling lambat 2018. Mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup seharusnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam penggabungan (kodifikasi) undang-undang kepemiluan untuk siap menyelenggarakan pemilu serentak 2019.

Pasal 6A UUD 1945 pun perlu diamandemen menjadi tak perlu dituliskannya syarat keterpilihan dan putaran kedua dalam pilpres. Berdasarkan pengalaman pemilu yang sudah dilalui Indonesia dan Amerika Latin, bisa disimpulkan sistem presidensial multipartai akan lebih dikuatkan dengan penyelenggaraan pemilu serentak pluralitas. Melalui sistem dan desain pemilu ini efek menarik kerah legislatif lebih optimal untuk menciptakan pemerintahan kongruen. []

USEP HASAN SADIKIN