Tahun 2020 Indonesia kembali melangsungkan sensus penduduk sebagai rutinitas sepuluh tahunan. Data demografi penduduk hasil sensus tidak hanya bermanfaat untuk mengetahui laju kependudukan, lebih jauh sangat berguna untuk urusan politik perwakilan di pemilu. Idealnya sensus penduduk dijadikan momentum untuk menata ulang keberimbangan alokasi kursi lembaga perwakilan di Indonesia yang cenderung timpang di beberapa provinsi.
Sebagai negara yang menganut sistem pemilu proposional sejak pemilu legislatif pertama di 1955, keberimbangan kursi lembaga perwakilan menjadi mandat utama yang harus dipenuhi. Setiap kursi perwakilan harus di hitung secara setara dalam menentukan jumlah kursi di tiap-tiap provinsi, pembentukan daerah pemilihan, sampai kursi yang diterima oleh partai politik harus setara dengan perolehan suara yang didapatkan sebagai konsekuensi penerapan sistem pemilu proporsional.
Rumus hitung alokasi kursi
Formula hitung largest reminders dengan varian kuota hare atau yang biasa di kenal dengan istilah bilangan pembagi pemilih (BPP), adalah rumus hitung dalam sistem pemilu proporsional yang sering digunakan. Tujuannya untuk menjamin keberimbangan alokasi kursi di lembaga perwakilan.
Formula hitung kuota hare paling proporsional. Loosemore and Hanby (1971) dan Arendt Lijphart (2003) dalam degrees of proportionality of proportional representation formula membuktikan, kuota hare lebih proprosional dibanding formula lainnya, seperti highest average dengan varian sainte lague dan d’hondt.
Formula hitung kuota hare tidak hanya digunakan untuk mengkonversi perolehan suara partai ke kursi. Formula ini pun bisa mengkonversi jumlah penduduk ke kursi untuk menentukan alokasi kursi ke provinsi termasuk pembentukan daerah pemilihan.
Dari prinsip konversi itu, kita bisa mencari tahu alokasi kursi pembentukan dapil melalui rumus yang sederhana. Pertama, cari bilangan pembagi penduduk (harga kursi) dengan membagi total penduduk dengan total kursi. Bilangan pembagi penduduk ini kemudian digunakan untuk membagi jumlah penduduk di setiap provinsi untuk mengetahui alokasi kursi yang berhak diperoleh secara berimbangan berdasarkan jumlah penduduk di provinsi tersebut.
Disproporsionalitas kursi ke provinsi
Sayanganya sejak Pemilu 2009 alokasi kursi DPR ke provinsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan undang-undang. Dari tiga undang-undang pemilu (UU 10/2008, UU 8/2012, dan UU 7/2017) di tiga pemilu terakhir (2009, 2014, dan 2019), keseluruhannya sudah mengatur jumlah alokasi kursi DPR di setiap provinsi termasuk daerah pemilihannya. Mekanisme fixed seat yang ditentukan dalam lampiran undang-undang ini belum mampu menghasilkan proporsionalitas antara jumlah kursi dengan jumlah penduduk di tiap-tiap provinsi. Alhasil terdapat provinsi yang mengalami kekurangan alokasi kursi under representated dan ada juga provinsi yang memperoleh kursi berlebih over representated.
Dengan menggunakan data sensus penduduk 2010 dan jumlah kursi DPR masih 560 di Pemilu 2014 yang dihitung melalui formula kuota hare, hanya ada 15 prorvinsi yang jumlah kursinya proporsional dengan jumlah penduduk. Sedangkan terdapat sepuluh provinsi yang mengalami kursi berlebih dan delapan provinsi yang mengalami kekurangan kursi. Sulawesi Selatan (Sulsel) dengan total penduduk 8.032.551, seharusnya memperoleh 19 kursi DPR namun UU 8/2012 memberikan 24 kursi. Tetapi Jawa Barat (Jabar) dengan penduduk 43.021.826, yang seharusnya mendapat 101 kursi malah hanya mendapat 91 kursi. Dampaknya, terjadi ketimpangan antara satu kursi DPR untuk mewakili proporsi jumlah penduduk yang berbeda antar provinsi. Di Sulsel satu kursi DPR setara dengan 334.690 penduduk, sedangkan di Jawa Barat satu kursi DPR setara dengan 472.767 penduduk.
Di Pemilu 2019 terjadi peningkatan jumlah kursi DPR dari 560 menjadi 575. Bertambahnya 15 kursi DPR tersebut didistribusikan ke sepuluh provinsi dengan jumlah yang berbeda-beda. Jika dihitung ulang dengan data sensus penduduk antar sensus (Supas) 2015, penambahan 15 kursi DPR di Pemilu 2019 tidak sepenuhnya menyelesaikan disproporsionalitas alokasi kursi DPR ke Provinsi. Hanya beberapa provinsi yang sebelumnya mengalami kekurangan kursi menjadi proporsional setelah mengalami penambahan, seperti Kepulauan Riau yang sebelumnya mendapatkan tiga kursi berubah menjadi empat kursi dan Nusa Tenggara Barat yang semula memperoleh 10 kursi menjadi 11 kursi DPR.
Penambahan kursi DPR di UU 7/2017 dari 560 ke 570 kursi, sama sekali tidak memperbaiki proporsionalitas alokasi kursi. Padahal, provinsi-provinsi yang sebelumnya mengalami kursi berlebih seharusnya bisa direalokasi kepada provinsi yang mengalami kekurangan kursi. Beberapa provinsi malah memperoleh penambahan kursi yang hasilnya malah over reprsentated atau memproleh kursi berlebih. Lampung misalnya, memperoleh tambahan dua kursi menjadi 20 kursi DPR padahal jika dihitung menggunakan data Supas 2015, cukup 18 kursi DPR. Begitu juga dengan Kalimantan Barat yang memperoleh tambahan dua kursi menjadi 12, padahal seharusnya cukup 11 kursi karena hanya memerlukan satu tambahan kursi untuk menghadirkan proporsionalitas.
Menghapus lampiran alokasi kursi UU Pemilu
Penambahan jumlah kursi DPR tersebut faktanya tidak mampu dijadikan solusi untuk memperbaiki disproporsionalitas distribusi kursi perwakilan di tiap-tiap provinsi. Alokasi kursi dalam lampiran UU Pemilu menjadi sumber penghambat utama melakukan penataan ulang alokasi kursi ke provinsi. Padahal, hasil sensus penduduk 2020 yang mengambarkan jumlah penduduk aktual sangat berguna untuk menata proporsionalitas antara jumlah penduduk di suatu provinsi dengan jumlah kursi yang didapatkan.
Agar alokasi kursi menjadi proporsional, kita perlu menghapus lampiran alokasi kursi dalam UU Pemilu. Alokasi kursi dan batasan-batasan daerah pemilihan sebaiknya diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk direalokasi ulang. Undang-undang pemilu cukup mengatur prinsip proporsionalitas dalam menghitung alokasi kursi ke tiap-tiap provinsi.
Selain itu, undang-undang pemilu dapat juga mengatur rentang waktu penataan alokasi kursi yang sejalan dengan agenda rutin sepuluh tahunan sensus penduduk. Artinya, setelah dua kali pemilu dapat dilihat ulang proporsionalitas distribusi kursi DPR ke provinsi yang sejalan dengan laju perkembangan jumlah penduduk di Indonesia. []
HEROIK M. PRATAMA
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)