August 8, 2024

Abdullah Dahlan: Dipilih DPRD, Kepala Daerah Potensial Tersandera Kepentingan Partai

Lima dari enam fraksi di DPR berubah sikap soal mekanisme pemilihan kepala daerah. Mereka mengusulkan kepala daerah kembali dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Efisiensi anggaran, efisiensi sosial, dan minimalisasi korupsi jadi alasan.

Abdullah Dahlan, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), menilai pergeseran sistem pemilihan ini adalah kemunduran demokrasi. Efisiensi anggaran dan sosial bukan alasan dan dasar argumentasi yang kuat untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Ia juga menilai tak ada relasi soal mekanisme pemilihan dengan potensi korupsi. Berikut petikan wawancara rumahpemilu.org dengan Abdullah Dahlan melalui telepon, Kamis (4/9)

Sistem pemilihan kepala daerah yang kembali dipilih DPRD didasarkan pada efisiensi anggaran. Bagaimana tanggapan ICW?

Saya kira tidak bisa dilihat parsial soal efisiensi saja. Membenarkan pemilihan oleh DPRD menjadi kemunduran demokrasi yang kita bangun. Itu bukan solusi dan dasar argumentasi yang tepat.

Adakah tawaran lain soal sistem pemilihan yang secara pembiayaan efisien?

Kalau pun mau melakukan efisiensi anggaran jangan mereduksi proses demokrasi berjalan. Tawarannya bukan dipilih DPRD, tapi misalnya pilkada serentak. Itu untuk menjawab alternatif persoalan pembiayaan ini. Bukan kemudian mengembalikan pemilihan oleh DPRD.

Pemilihan oleh DPRD efisien secara sosial, mengingat pilkada langsung memunculkan cukup banyak konflik sosial. Bisa dibenarkan?

Harus dilihat juga sisi positif yang lain. Pilkada langsung menumbuhkan aspek demokrasi lokal. Partai politik  lokal tumbuh. Dinamika politik lokal tumbuh dan memungkinkan aktor-aktor lokal muncul yang lahir dari keinginan publik bukan semata-mata keinginan elite partai.

Apakah pemilihan kepala daerah oleh DPRD bisa meminimalisasi korupsi?

Tidak ada jaminan kalau dipilih DPRD, mereka tidak korup. Tidak ada jaminan bahwa diubah sistem pemilihannya oleh DPR tidak korup. Apa yang berubah? Tidak ada yang berubah. Tak ada relasi soal pemilihan langsung dan pemilihan oleh DPR pada praktik korupsi. Tidak ada relevansi di situ.

Mekanisme pemilihan semacam apapun akan cenderung korupsi. Artinya, pemilihan oleh DPRD jangan sampai beralasan karena faktor korupsi banyak. Kasus korupsi banyak, kemudian pemilihan kepala daerah disalahkan. Problemnya bisa jadi niat berkuasa itu untuk melakukan praktik korupsi. Ini soal aspek kekuasaan yang dijadikan niat melakukan praktik korupsi.

Berarti tak ada potensi korupsi jika dipilih DPRD?

Justru kalau dipilih oleh DPRD, kepala daerah lebih potensial tersandera kepentingan partai.

Di mana posisi ICW dalam proses pengesahan RUU Pilkada ini di DPR?

Ini penting, secara posisi, kita menolak pemilihan kepala daerah yang akan dipilih oleh DPRD. Kami beberapa waktu yang lalu konsolidasi jaringan pemantau secara nasional melakukan penolakan soal itu. Ini penting agar prosesnya saya kira ditunda bahkan tidak disahkan dalam proses pembahasan di DPR yang sekarang. []