November 28, 2024

Agus Sudibyo: Independensi Media Dibutuhkan dalam Pemberitaan Pilpres

Maraknya pemberitaan yang cenderung berat sebelah dalam mendukung salah satu pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dinilai mencederai nilai-nilai jurnalistik.  Untuk itu, unsur independensi begitu penting diutamakan media massa di dalam pemberitaan pemilihan presiden (pilpres).

Mendalami rambu jurnalistik dalam pemberitaan pemilihan presiden di satu media, rumahpemilu.org mewawancarai Direktur Eksekutif Matriks Indonesia, Agus Sudibyo. Agus yang juga mantan Anggota Dewan Pers itu menyayangkan beberapa media bias memberitakan pasangan calon capres dan cawapres tertentu. Berikut wawancaranya.

Bagaimana anda melihat banyaknya media yang condong memihak salah satu capres dan cawapres tertentu di dalam pemberitaannya?

Sangat disayangkan. Mestinya media mengambil peran strategis edukasi dengan menjadi penengah dari percaturan politik yang kian memburuk. Di dalam pemilihan presiden (pilpres) ini, media cukup menyediakan sebanyak-banyaknya informasi yang valid kepada masyarakat. Tentunya, informasi itu harus melalui verifikasi. Selebihnya, biar masyarakat menentukan  pilihannya sendiri.

Jika media itu ingin menyampaikan pendapat atau opininya,  bisa menyampaikan itu di rubrik editorial. Di dalam rubrik editorial, media boleh mendukung atau memberikan rekomendasi, asal argumentatif, didasari data-data dan informasi yang memadai.

Perlu diingatkan, wartawan harus mengemban tugas di depan untuk dapat menyajikan informasi-informasi politik secara objektif dan berimbang. Orientasi pemberitaan harus mengedepankan kepentingan rakyat. Dengan demikian, dapat memberikan pendidikan politik bagi masyarakat.

Dewasa ini, ada kecenderungan ketakberimbangan dalam pemberitaan ketika berhadapan langsung dengan kepentingan pemilik media yang berafiliasi dengan partai tertentu yang menjadi mitra koalisi salah satu pasangan calon.

Bagaimana mengukur independensi media di pilpres ini?

Kita harus mengamati satu per satu pemberitaan yang muncul dalam pilpres ini. Tak bisa melihat secara umum. Bisa jadi, satu berita tak netral, berita yang lain netral. Kita mesti melihat secara konfrehensif. Media televisi seperti Metro TV dan TV One terlihat jelas tak punya keberimbangan pemberitaan.

Independensi dalam pers itu menuntut berita yang faktual, berdasar pada data-data melalui verifikasi, investigatif, dan menampilkan sisi positif dan negatifnya. Sekalipun, kemudian muncul pemberitaan yang menunjukkan pasangan calon yang satu lebih baik dari yang lainnya. Bahkan, media itu bisa merekomendasikan pasangan calon tertentu dengan syarat independensi tadi.

Yang paling penting lagi, media itu harus jauh dari intervensi kekuatan apa pun. Mulai dari kekuatan pemilik modal sampai pada partai tertentu. Pemberitaan yang dimunculkan dipastikan tak ada pihak yang menyuruh, membayar, dan memaksa. Itulah sebabnya independensi itu penting, bahkan lebih penting dari netralitas.

Kecenderungan adanya pemberitaan yang menyerang, bagaimana anda melihat ini?     

Pemberitaan yang sifatnya menyerang kepada salah satu calon presiden bisa dipastikan hanya berisi pernyataan-pernyataan tanpa bukti dan data. Sebaliknya, tak ada konten berita yang sifatnya menyerang selama berita yang disajikan itu data dan dokumen. Informasi yang disampaikan kan kenyataan.

Berita negatif belum tentu salah jika diberitakan sesuai kaidah jurnalistik dan kode etik jurnalistik. Dalam berita negatif, harus berimbang dan melakukan konfirmasi. Prinsip verifikasi dan praduga tak bersalah harus dipegang. Yang menjadi masalah jika berita itu dibuat-buat, bohong, berisi fitnah, apalagi menghakimi. Kampanye hitam yang gencar di media sosial diharapkan tak merembet ke media massa.

Yang dinilai melanggar jika manajemen dan pemilik media memberikan instruksi yang jelas kepada redaksi jangan memberitakan ini atau sengaja hanya memberitakan . Tetapi, itu pun harus ada bukti tertulisnya.

Media partisan dimana pemiliknya berada di salah satu kubu capres bisa independen?

Sulit independen. Katakanlah TV One dan Metro TV, kedua lembaga siaran itu sulit independen karena pemiliknya ada di salah satu kubu capres. Pemberitaan kedua televisi itu menghajar-hajar, menyudutkan capres tertentu.

Belakangan muncul media pamflet Obor Rakyat, media ini memiliki dampak elektabilitas capres?

Obor Rakyat bukan bagian dari pers, itu pamflet politik. Apakah dia berdampak pada masyarakat? Belum tentu. Masyarakat itu jauh-jauh hari sudah punya pilihan politik mau pilih siapa. Belum tentu bisa digoyang dengan media seperti Obor Rakyat. Apalagi bagi masyarakat yang berpendidikan dan kelas menengah, sulit digoyang.

Bagaimana pengaruh TV One dan Metro TV dalam mempengaruhi elektabilitas?

Bisa berpengaruh.  Juga bisa tidak. Kita tunggu pasca pemilu. Namun, kita bisa berkaca pada pemiihan legislatif (pileg) lalu. Televisi seperti TV One, Metro TV, dan MNC habis-habisan memberitakan kelompoknya saja, hasilnya ternyata tak menjadi pemenang pemilu. Semua itu ada di penilaian masyarakat.

Bagaimana seharusnya media dapat lebih dewasa ke depannya dalam menghadapi setiap pemilu?

Media yang terlalu jorok, yang terlalu boros dengan kredibilitas dan repurtasinya akan dengan sendirinya ditinggalkan masyarakat. Pemborosan repurtasi media yang dilakukan media 4 bulan terakhir ini akan dibayar mahal untuk lima tahun ke depan.

Repurtasi media itu akan anjlok dengan sendirinya. Sahamnya akan turun, rating akan turun, tak dipercaya pengiklan, dan tak dipercaya masyarakat. “Hukuman-hukuman” ini akan dengan sendirinya mendewasakan media kita ke depan.

Upaya untuk mendisiplinkan media dengan menaati kode etik, aturan, akan lebih kuat jika wasitnya itu masyarakat sendiri. Dewan pers dan Komisi Penyiaran Indonesia harus tetap bersikap tegas. Tetapi yang lebih penting, pada akhirnya yang menilai media ini, ya masyarakat.

Persepsi publik atas media itu pada akhirnya mempengaruhi persepsi iklan dan investor, dengan sendirinya akan mendewasakan media itu sendiri. [HS]