Dikembalikannya militer ke barak pasca letusnya reformasi 1998, tak kunjung berhasil mengubur dalam-dalam militerisme dalam perpolitikan Indonesia. Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 kali ini, militerisme nampak kuat terlihat di belakang kedua pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang sedang berkontestasi. Mereka saling berunjuk gigi.
Ada 37 nama jenderal purnawirawan militer mendukung Prabowo Subianto – Hatta Rajasa. Enam di antaranya diduga terlibat pelanggaran HAM. Pun, terdapat 35 purnawirawan di belakang pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Sebanyak 5 di antaranya diduga melanggar HAM saat menjadi perwira militer aktif.
Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Hukum Masyarakat LBH Jakarta, Alghif Fari Aqsha, yang diwawancarai rumahpemilu.org memaparkan kegelisahannya. Berikut wawancara selengkapnya.
LBH Jakarta bersama Indonesia Tanpa Militerisme (ITM) mengeluarkan rilis soal munculnya bahaya militerisme dari kedua kubu kandidat. Apa yang ingin disampaikan ITM ke masyarakat?
Sebelumnya, LBH Jakarta ingin mengklarifikasi, militerisme itu bukan antimiliter. Militerisme itu watak yang bukan hanya ada di tubuh tentara. Tetapi, bisa juga di tubuh sipil, di tubuh institusi, watak yang mengedepankan cara atau pola militeristik dalam mencapai tujuan. Bisa jadi, negara ini dipimpin oleh sipil, tetapi berwatak militeristik.
Kami melihat ada ancaman bahaya munculnya kembali militerisme dan kekuatan Orde Baru melalui jalur politik. Pada Pemilu 2014 ini, kedua kekuatan itu gamblang terlihat di belakang kedua konstetan pilpres, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Para purnawirawan jenderal itu menghimpun kekuatan untuk mendukung kandidatnya masing-masing. Tentu tak gratis. Akan ada transaksi politik di antara mereka.
Sebut saja, 37 purnawirawan di belakang kubu Prabowo-Hatta, enam di antaranya diduga terlibat pelanggaran HAM masa lalu. Mereka adalah Mayjen (Purn) Kivlan Zen, Letnan Jenderal (Purn) Syarwan Hamid, Mayjen (Purn) Syamsir Siregar, Mayjen (Purn) Chairawan, Komandan Batalion 42 Kopassus (Purn) Bambang Kristiono, dan tentu Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto sendiri.
Sedangkan di kubu Jokowi-JK terdapat lima jenderal purnawirawan yang diduga terkait pelanggaran HAM masa lalu. Yaitu, Jenderal (Purn) Wiranto, Jenderal (Purn) Sutiyoso, Jenderal (Purn) Hendropriyono, Jenderal (Purn) Muchdi PR, dan Jenderal (Purn) Rymizard Ryacudu.
Mereka diduga terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM , seperti kasus Talangsari, 27 Juli (pengambilan paksa kantor PDI), Peristiwa Trisakti, Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Semanggi I dan II, penculikan 23 aktivis pro demokrasi, kekerasan di Timor Leste, pembunuhan aktivis Munir, dan kekerasan militer di Aceh dan Papua.
LBH Jakarta dan ITM sendiri tak dalam posisi dukung mendukung pasangan calon tertentu. Kami hanya ingin mengingatkan kepada masyarakat luas atas adanya potensi bahanya militerisme yang dibawa saat salah satu calon terpilih nanti di dalam pemerintahannya. Dalam ciri masyarakat kelas, militerisme dibutuhkan kekuasaan untuk mengamankan agenda kapitalisme. Ancaman ke depan, jika militerisme ini kuat, Indonesia akan terus dirongrong kapitalisme.
Bagaimana proses militerisme saat ini?
Saat ini jelas telah terjadi militerisasi. Sebagai contoh, LBH Jakarta sering berhadapan dengan tentara di beberapa titik penggusuran di Jabodetabek. Mereka menjaga penggusuran, menjaga di stasiun, termasuk ikut membantu bertugas sebagai penjaga karcis.
Selain itu, LBH Jakarta juga memiliki catatan hitam militer dalam isu perburuhan. Dalam demo buruh, tentara ditempatkan untuk menjaga keamanan. Begitupun terjadi saat kasus mogok buruh PLN. Aparat TNI AD juga disiagakan dengan senjata lengkap di gerakan Mayday tahun 2012 dan 2013. Bahkan, Serikat Buruh SBSI di Tangerang dan mogok buruh di Bekasi diintimidasi tentara.
Gejala-gejala militerisme ini semakin menguat. Ternyata, di Pemilu 2014 ini, terlihat tentara belum sepenuhnya netral dan objektif. Mereka keluar dari barak secara diam-diam dan berpolitik. Bagaimanapun, mereka yang purnawirawan masih punya relasi kuasa kepada tentara yang aktif. Apalagi, mereka yang aktif ini tak bisa menahan diri untuk terlibat.
Kenapa kedua kubu mengandalkan militer dalam basis dukungan mereka?
Hipotesa kami, kedua pihak masih mengandalkan atau memiliki pola pikir strategi pemenangan yang konservatif. Mereka menganggap militer punya karakter kepemimpinan yang kuat, bisa mempengaruhi massa untuk pemilihan. Terlebih, sebagian besar masyarakat kita masih beranggapan figur dari militer dirasa tepat menjadi pemimpin. Anggapan mereka, figur yang tegas adalah figur yang baik. Kedua kubu ini masih mengandalkan itu.
Ada hitungan politik melibatkan militer di kedua kubu. Terutama pada kubu Jokowi-JK, pilihan itu untuk strategi politik jangka panjang. Mereka menginginkan stabilitas dalam pemerintahannya. Tak mau diganggu oleh kekuatan militer saat mereka memerintah jika terpilih.
Terbukti dalam kampanyenya, Jokowi menjanjikan anggaran militer saat ini naik tiga kali lipat dari 80 triliun rupiah pada tahun 2013 menjadi 240 triliun rupiah. Ini strategi Jokowi untuk merangkul barisan militer. Untuk menyakinkan tentara, pemerintahannya kelak tak akan mengancam kepentingan tentara.
Dalam visi dan misinya yang didaftarkan di KPU, pemerintahan Jokowi juga akan meningkatkan anggaran militer sekitar 1,5 persen dari pendapatan nasional Produk Domestik Bruto (GDP) dalam lima tahun. Di posisi reformasi TNI yang tak jelas saat ini, menjadi ancaman, kemana nanti anggaran sebesar itu digunakan. Sementara ini, TNI tak pernah transparan. KPK juga belum berani melakukan pemeriksaan hingga menyentuh institusi militer.
Tak cuma itu, bisnis TNI belum juga tuntas. Pada UU 34/2004 tentang TNI memandatkan, lima tahun setelah undang-undang itu dicanangkan, segala bisnis yang dijalankan oleh tentara harus selesai dialihkan semua ke negara. Nyatanya, sejak diberlakukannya pada tahun 2009, masih saja terdapat 900 unit usaha tentara yang belum dikembalikan ke negara.
Jokowi-Jk juga menyetujui dorongan untuk disahkannya RUU Keamanan Nasional yang masih kontroversial di kalangan kelompok masyarakat sipil. Hal ini sejalan dengan berbagai undang-undang lainnya yang telah disahkan, seperti UU Ormas, UU Penanggulangan Konflik Sosial, UU Intelejen, dan UU Terorisme.
Sedangkan dari kubu Prabowo-Hatta sendiri jelas sekali unsur militerismenya. Selain Prabowo yang dibesarkan dari lingkungan militer, visi dan misi mereka juga terindikasi tak sejalan dengan penegakan HAM.
Kami ingin mengingatkan kembali ke masyarakat. Di hadapan kita ada ancaman besar militerisme. ITM tak mengatakan Indonesia tanpa militer. Tentara masih dibutuhkan untuk menjaga keamanan teritorial Indonesia. Kesejahteraan mereka harusnya ditingkatkan. Namun, tentara tetap tak boleh terlibat dalam politik, netral, dan tak bersentuhan langsung dengan isu-isu non pertahanan.
Jika melihat adanya polarisasi dari kelompok masyarakat sipil dalam mendukung capres-cawapres tanpa melihat keterlibatan militer di belakangnya, bagaimana anda melihatnya?
Munculnya polarisasi kelompok masyarakat sipil yang mendukung salah satu capres menjadi masalah. Indonesia ini rentan konflik, sebenarnya. Sebentar aja ada pemicu, konflik sosial bisa terjadi. Dalam satu riset, Indonesia berada dalam posisi indeks konflik 0,41. Jika, 0,5, Indonesia bisa sangat mudah terjadi konflik sosial. Polarisasi ini terlihat jelas di akar rumput saat dukung Prabowo atau Jokowi di satu masjid atau kampung, konflik itu bisa menajam.
Kita harus berhati-hati. Militer memiliki kekuatan pengerahan atau mobilisasi massa. Kami masih sangat khawatir dengan kondisi itu. Sayangnya, kelompok masyarakat sipil sering kali lupa. Kita pernah merasakan 32 tahun rejim otoriter berkuasa. Hanya dalam waktu 16 tahun reformasi, masyarakat kita lupa, militerisme itu sangat berbahaya mengancam demokrasi dan kebebasan masyarakat sipil. Ironinya, mereka justru mendukung calon-calon yang memiliki kuat dukungannya dari militer, bahkan calon yang pernah berkuasa di militer.
Dengan masuknya militer di kedua kubu, bagaimana arah ke depan yang dijalankan presiden terpilih, terutama soal penegakan HAM?
Mari kita lihat satu per satu kandidat. Di visi dan misi kubu Jokowi-JK jelas, mereka akan mendorong UU Kemananan Nasional, kemudian mereka akan membentuk Dewan Keamanan Nasional, dan menaikan anggaran militer yang cukup besar. Ini yang sejak dulu ditolak oleh banyak kelompok masyarakat sipil karena akan mengancam proses demokrasi kita.
Sampai saat ini, kubu mereka tak menyiapkan soal reformasi TNI, itu artinya, Jokowi tak punya sikap tegas terkait isu militerisme. Sekalipun pernah membincangkan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
Namun, pengalaman LBH Jakarta, KontraS, dan kelompok masyarakat lainnya, dalam mengadvokasi kasus Munir, Talangsari, dan kasus lainnya, PDIP selalu tak mau ikut campur atau mengotori tangannya untuk menuntaskan kasus-kasus itu karena ada Hendropriyono, Wiranto dan jenderal-jenderal yang diduga terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM.
Tak jauh beda, pasangan Prabowo-Hatta, dilihat visi dan misinya, mereka menganggap pengadilan HAM sebagai overbody atau berlebihan. Belum lagi ada program pemurnian agama yang dirasa akan mendiskriminasi agama-agama dan pandangan minoritas. Di debat capres-cawapres pertama kita juga bisa melihat belum ada arah jelas rencana penegakan HAM. Baginya, solusi penegakan HAM adalah pendidikan HAM. Padahal, penegakan HAM harus diselesaikan dengan penegakan hukum dan pemenuhan hak asasi lainnya.
Ke depan, menempelnya militerisme di dalam tubuh kekuasaan akan mengancam konsolidasi demokrasi pasca reformasi yang sedang dibangun masyarakat sipil. Jika dibiarkan, akan menggerus konsolidasi masyarakat sipil itu sendiri dan bisa jadi menghilangkan demokrasi. Tentu, kita tak mau konsolidasi yang kita bangun pasca reformasi kembali ke titik nadir ketika militer dan orang-orang Orde Baru kembali berkuasa.Â
Agenda demokrasi sudah menjadi kesepakatan final di negara ini. Salah satu syarat adanya supremasi sipil. Apa yang perlu dilakukan dari kedua kubu ini untuk mewujudkan supremasi sipil?
Yang perlu dilakukan, mereka harus mendukung kebebasan sipil, seperti jaminan kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan melakukan pemberdayaan kepada masyarakat sipil. Salah satu dari kedua pihak yang terpilih nanti, tak boleh resisten terhadap kritik dari masyarakat sipil. Kedua pihak harus menngevaluasi segala peraturan, regulasi, atau kebijakan militeristik yang mengekang kuatnya masyarakat sipil.
Apa harapan LBH Jakarta dan ITM ke depan?
Kami masih mengharapkan konsolidasi masyarakat sipil yang genuine. Bukan berbasis elit politik. Konsolidasi yang terjadi di akar rumput. Siapapun rejim berkuasa, jika konsolidasi kita kuat, kita bisa mengontrol pemerintahan. Saat ini, dengan adanya kedua kubu ini, konsolidasi kelompok masyarakat sipil kembali tergerus. Banyak kawan-kawan kita yang mendukung Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK tanpa mengambil jarak untuk proses kontrol sosial di kemudian hari. [HS]
—
Berikut daftar nama purnawirawan jenderal yang mendukung kandidatnya masing-masing.
Daftar jenderal pendukung Parbowo-Hatta menurut catatan ITM sebagai berikut:
- Jenderal TNI Purnawirawan Djoko Santoso, Mantan Panglima TNI
- Laksmana TNI Purnwirawan Widodo AS, Mantan Panglima TNI
- Irjen Pol Purnawirawan Farouk Muhammad Syechbubakar, Mantan Kapolda NTB
- Letjen Purnawirawan M Yunus Yosfiah, Mantan Panglima Pangdam II Sriwijaya
- Letjen Purnawirawan Johanes Suryo Prabowo, Mantan Kepala Staf Umum TNI
- Letnan TNI Purnawirawan Syarwan Hamid, Mantan Kassospol TNI AD
- Letnan TNI Purnawirawan Suharto, Mantan Komandan Korps Marinir
- Mayjen TNI Purnawirawan Syamsir Siregar, Mantan Kepala BIN
- Brigjen Pol Purnawirawan Taufiq Effendi, Mantan Staf Ahli Kapolri
- Laksdya TNI Purnawirawan Adang Darajatun, Mantan Wakapolri
- Laksdya TNI Purnawirawan Freddy Numberi, Mantan Menteri Perhubungan
- Jenderal TNI George Toisutta, Mantan Kepala Staf TNI-AD
- Letjen TNI Purnawirawan Burhanuddin, Mantan Pangdam I Bukit Barisan
- Laskdya TNI Purnawirawan Moeklas Sidik, Mantan Wakil Kepala Staf TNI Al
- Mayjen TNI Purnawiran Sudrajat, Mantan Kapuspen TNI
- Mayjen TNI Purnawirawan Kivlan Zen, Mantan Kepala Staf Kostrad
- Jenderal TNI Purnawirawan Pramono Edhie Wibowo, Mantan Kepala Staf AD
- Mayjen TNI Purnawirawan Hendradji Supanji, MAntan ASPAM KASAD
- Letjen TNI Purnawirawan Cornel Simbolon, Mantan Wakil KSAD
- Letjen TNI Purnawirawan Joko Sumaryono, Mantan Sesmenko Polhukam
- Letjen TNI Purnawirawan Romulo Robert Simbolon, Mantan Sesmenko Polhukam
- Mayjen TNI Purnawirawan Nachrowi Ramli, Mantan Kepala Lembaga Sandi Negara RI
- Mayjen Purnawirawan Bimo Prakoso, Mantan Staf Lemhanas
- Mayjen TNI Purnawirawan Tono Suratman, Mantan Asops TNI
- Mayjen Purnawirawan Amir Sembiring, Mantan Dankodiklat AD
- Mayjen TNI Purnawirawan Glenny Kairupan, Mantan Dosen Lemhanas
- Mayjen TNI Purnawirawan Johnny Wahab, Mantan Koorsahli KSAD
- Mayjen TNI Purnawirawan Mahidin Simbolon, Mantan Pangdam XVII Trikora
- Mayjen TNI Purnawirawan Soenarko, Mantan Danjen Kopassus
- Mayjen TNI Purnawirawan Chairawan, Mantan Komandan Grup 4 Sandi Yudha Kopassus
- Marsda Purnawirawan Eko Edi Santoso, Mantan Komandan Kodikau
- Irjen Pol Purnawirawan Tommy Trider Jacobus, Mantan Kapolda Papua
- Brigjen Purnawirawan Pol Timbul Sianturi, Mantan kadispenum Mabes Polri
- Marsma Wutanto Juwono, Mantan Penerbang TNI AU
- Marsma Purnawirawan Istowo, Mantan Asper Kepala Staf TNI
- Mayjen Purnawirawan Chairawan, Mantan Staf BIN
- Bambang Kristiono, Mantan Komandan Batalion 42 Group 4 Sandi Yudha Kopassus
Sedangkan, daftar jenderal pendukung Jokowi-JK menurut catatan ITM sebagai berikut:
- Mantan Panglima ABRI/Menhan Jenderal TNI Purnawirawan Wiranto
- Mantan Kepala BIN Jenderal TNI Purnawirawan
- Mantan Panglima Kodam Jaya Letnan Jenderal Purnawirawan Sutiyoso
- Mantan Dankodilat TNI AD Jenderal TNI Purnawirawan Luhut Pandjaitan
- Mantan KSAL Laksamana Purnawirawan Tedjo Edi
- Mantan KSAD Jenderal TNI Purnawirawan Fachrul Rozi
- Mantan Kapolri Jenderal Pol Purnawirawan Da’I Bachtiar
- Mantan Kepala Bais Letjen TNI Purnawirawan Farid Zainudin
- Mantan Kepala Bais Marsekal Madya Purnawirawan Ian Santoso
- Mantan Pangdam Bukit Barisan Mayjen TNI Purnawirawan Tritamtomo
- Ketua DPP PDIP Mayjen TNI Purnawirawan TB Hasanuddin
- Mantan Kepala Staf TNI AD (KSAD) Jenderal TNI Purnawirawan Tyasno Sudarso
- Mantan Kepala Staf TNI AL (KSAL) Laksamana Jenderal TNI Purnawirawan Bernard Ken Sondakh
- Mantan Wakil KSAD Letnan Jederal TNI Purnawirawan Sumarsono
- Mantan Rektor Universitas Pertahanan Letjen TNI Purnawirawan Syarifuin Tippe
- Mantan Kepala BAIS Letjen TNI Purnawirawan Zainudin
- Mayor Jenderal TNI Purnawirawan M. Yusuf Solikin
- Mantan Dirdik Sesko TNI Mayjen TNI Purnawirawan Bambang Ismoyo
- Mantan Gubernur TNI Akademi TNI AU Mayjen TNI Purnawirawan M. Luthfi Letto
- Mantan Dirjen Ranahan Departemen Pertahanan Marsekal Muda TNI Purnawirawan Basri Sidehabi
- Mantan Dirjen Perencanaan Sarana Pertahanan Departemen Pertahanan Marsda TNI Purnawirawan Pieter LD Wattimena
- Mantan Panglima Komando Armada Timur TNI AL Laksama Muda TNI Purnawirawan Sosialisman
- Mantan Widya Iswara Utama Bidanga Ekonomi 23 Lemhamnas Laksda TNI Purnawirawan Abdul Malik Yusuf
- Laksda TNI Purnawirawan Franky Kaihutu
- Mantan Kapolda Kaltim Inspektur Jenderal Pol Purnawirawan Andi Masmiat
- Mantan Widya Iswara Utama Sespim Polri Lemdikpol Irjen Pol Eddy Kusuma Wijaya
- Mantan Kabinda Maluku Brigadir Jenderal TNI Purnawirawan Mulyono
- Mantan Dirjen Strategis Sesko TNI Brigjen TNI Purnawirawan Djamhur Suhana
- Mantan Kadislitbangal Laksamana Pertama TNI Purnawirawan Songkal VH SImanjuntak
- Mantan Staf Ahli KSAU Marsekal Pertama TNI Purnawirawan Yopie Kiriweno
- Sekjen Dewan Harian Nasional ’45 Brigjen TNI Purnawirawan Abdul Salam Mustam
- Ketua MPR RI Irjen Pol Sidarto Danusubroto
- Laksda Purnawirawan Dadi Sunato
- Irjen Purnawirawan Edy K
- Mantan Kepala BIN Major Jenderal Purnawirawan Muchdi PR (yang mendukung Jokowi-JK melalui Relawan Matahari Indonesia)