Dewi Haroen dalam buku “Personal Branding: Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik†menuliskan dirinya yang sebel dengan dunia politik dan media yang salah memaknai “pencitraan†(branding). Di “Sekapur Sirih†buku yang ditulisnya itu Dewi mengatakan, citra diri sebagai merek yang disandang seseorang dalam kampanye pemilu selama ini telah lepas dari jejak rekam dan komitmen di masa depan. Dalam rangka berbagi pemahaman dari penulis dan buku yang ditulisnya, rumahpemilu.org mewawancarai Dewi untuk dibahas di konteks pemilu presiden nanti dan pemilu legislatif sebelumnya. Berikut hasil wawancara jurnalis rumahpemilu.org, Usep Hasan Sadikin dengan Dewi Haroen di kediamannya, Tebet, Jakarta Selatan (21/4):
Anda menulis “Personal Branding†yang dikaitkan kandidasi di pemilu. Bagaimana seseorang bisa mencitrakan dirinya secara baik di tengah penilaian buruk terhadap politik?
Buku saya mau mendudukan politik yang sebenarnya. Politik itu mulia. Sayangnya politisinya yang membuat politik itu buruk. Jika orang yang menjalankan politik itu baik, maka kemulian politik akan tergambarkan dengan baik. Juga begitu dengan personalnya. Pada dasarnya, manusia pun baik.
Terkait dengan pemilu, yang personal ini di tempatkan di ruang publik. Politik publik harus ada karena harus ada orang-orang tertentu yang mengatur kita melalui aturan. The right man on the right place. Orang baik untuk tujuan politik yang baik. Adil dan makmur.
Bagaimana konsep Pencitraan Diri ini bisa baik dibahas dalam menentukan presiden di pemilu?
Saya mau jelas tegaskan dulu bahwa personal branding bukan pencitraan saja. Di sini yang menentukan adalah jejak rekam dan komitmen kerja nyata kedepannya. Kompetensi, kekuatan, dan integritas merupakan tiga hal yang membentuk personal branding.
Ada yang coba membangun citra diri dengan janji. Padahal yang terpenting adalah pembuktian. Dan masyarakat sudah tahu, saat menjabat nanti dibutuhkan kerja nyata. Jejak rekam terkait karakter, kompetensi, dan kekuatan harus jelas.
Ada yang mencoba memenangkan media atau menjadi media darling. Padahal saat personal ditempatkan di media ada tuntutan kecepatan di situ. Kecepatan keterbukaan informasi yang sebenarnya. Kecepatan pembuktian. Saat ternyata ada satu hal saja yang tak sesuai dengan yang dicitrakan, media beserta masyarakat akan berbalik menyerang.
Apa hal yang bisa dijadikan patokan untuk menilai seseorang layak menjadi politisi atau pemimpin?
Jika ada satu perusahaan, misalnya investasi emas yang mencitrakan aman dan terpercaya, maka pengalaman penggunanya akan membuktikan baik/buruk-nya. Microsoft dan I-Phone terus bertahan dengan tingginya harga yang beriring dengan kualitas. Masyarakat beserta LSM juga harus membuka mata untuk membuktikan kualitas peserta pemilu. Misalnya ada tagline “jujurâ€, “dekat dengan rakyatâ€, atau “tegasâ€. Ini semua harus dibuktikan melalui akses informasi dan media.
Tentu karena politisi atau pemimpin akan mengatur kita, ya dia harus lebih hebat dari kita. Jaman dulu orang berilmu (spiritual) atau orang kaya terpandang. Karena untuk kepentingan publik, politisi seharusnya orang yang sudah tak mementingkan lagi kebutuhan diri dan keluarganya. Di sini berlaku teori Maslow. Kebutuhan aktualisasi diri seseorang sebagai kebutuhan tertinggi akan hadir setelah kebutuhan dasarnya sudah tak dipikirkan lagi. Itu lah kenapa, pemimpin negara rata-rata sudah di usia mapan.
Ada kesan kemapanan beserta jejak rekam akan merujuk pada kandidat yang sudah tua atau usia mapan. Bagaimana dengan wacana Pemimpin Muda? Dulu Barack Obama di Amerika Serikat sering disudutkan dengan penilaian “belum berpengalamanâ€. Bagaimana?
Di dalam jejak rekam itu ada potensi kebaikan untuk lintas bidang. Tadi disebut Obama. Memang Obama belum pernah jadi presiden. Obama pun belum pernah jadi gubernur. Tapi dalam jejak rekamnya ada pembuktian bahwa Obama mempunyai karakter, kompetensi, dan kekuatan saat menjadi senator dan prestasi saat kuliah.
Hal ini bisa menjadi pertimbangan dalam menilai jejak rekam. Kalau ada caleg bilang, saya dulunya juga caleg. So what gitu loh? Kalau dia tak berbuat apa-apa di jabatan sebelumnya.
Ini yang kemudian kita pun bisa positif menilai orang di bidang seni atau profesi artis yang menjadi politisi?
Ya. Artis atau musisi pun macem-macem karakternya. Jika karya seninya banyak membahas persoalan publik, dia berpotensi baik menjadi politisi yang baik. Ada kepedulian di situ terhadap orang lain dan masyarakat. Bukan sekedar menghibur. Akan beda karakter musisi yang asal pesenan, yang penting laku dengan musisi yang idealis dan punya prinsip. Sebaliknya, jika ada kader partai yang telah lama bergabung dengan partai, tapi tak melakukan apa-apa, ya bukan karakter baik juga.
Jika brand terkait dengan value yang dianut perusahaan dan juga ditularkan kepada orang-orang di dalam perusahaan, bagaimana konsep brand ini diterapkan dalam pemilu yang di dalamnya ada partai, nama/jargon partai, ideologi, politisi beserta rekrutmen caleg?
Bisa jadi pemilu lebih kompleks. Saya ingin kita pun melihat bagaimana hubungan antara undang-undang, parlemen sebagai lembaga pembuat undang-undang, partai sebagai pengirim orang-orang ke parlemen. Bagaimana kualitas dan karakter orang-orang yang terlibat hubungan itu semua. Saya dengar dan baca berita, rekrutmen caleg banyak orang yang menyetor uang sampai miliaran. Sehingga orang yang punya karakter baik tapi karena tak punya uang banyak, tak bisa masuk atau tak terpilih.
Saya alumnus psikologi, bukan politik atau hukum. Tapi saya mau berpendapat, sebaiknya undang-undang pemilu dan partai politik itu yang buat pakar dan akademisi, lintas bidang. Kita perlu mempertimbangkan karakter personal, integritas, kompetensi, dan kekuatan, dalam menentukan orang yang terlibat di dalam pemilu dan partai serta orang-orang yang menyusun undang-undang pemilu dan partai politik. []