November 27, 2024

Men-Senyap-kan Ideologi di Pesta Demokrasi

Tahun Politik 2014 ditutup dengan sikap representasi pemerintah yang antipolitik. 29 Desember 2014, Lembaga Sensor Film mengeluarkan surat yang menyatakan film “Senyap” atau “The Look of Silence” (2014) dilarang ditayangkan untuk umum. Salah satu alasan (dari 7 alasan) LSF melarang “Senyap”, secara tersirat film garapan Joshua Oppenheimer ini mengarahkan penonton bersimpati kepada PKI (Partai Komunis Indonesia) dan ajaran komunisme yang dapat menimbulkan ketegangan sosial-politik dan melemahkan ketahanan nasional.

Sikap antipolitik ideologis oleh LSF merupakan salah satu hal yang menjawab pertanyaan, kenapa tak ada eksistensi ideologi di partai dan pemilu? Jawabannya, pihak berkuasa telah dan akan selalu mensenyapkan eksistensi ideologi yang berhadapan. Pascaberalih dari otoritarian, sudah empat kali Indonesia menyelengggarakan pemilu. Tapi, komunisme masih dinilai najis dalam politik publik sama halnya penilaian terhadap PKI pada 1965.

65: awal matinya ragam ideologi

Max Lane dalam “Malapetaka Indonesia” berpendapat, 1965 (sebagai sejarah yang kembali disenyapkan LSF) merupakan konteks dibunuhnya ideologi dan massa berpolitik, sekaligus. Tragedi saat itu menjelaskan, komunisme (atau ideologi massa apa pun) yang berprospek memenangkan pemilu melalui PKI beserta basis massanya, pasti dimusnahkan.

Pemilu 1955 merupakan pemilu yang ideal dalam pengertian kontestasi ideologis. Rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu berikutnya malah dihentikan dengan kudeta menyertakan pembunuhan ideologi berkuasa. PKI lenyap dengan cara yang diceritakan “Senyap”. Partai Nasional Indonesia dihilangkan dengan membuat tak berdaya Soekarno.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966) dikeluarkan di awal pemerintahan Orde Baru. Ini regulasi tentang pembubaran PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia bagi PKI, larangan tetap terhadap kegiatan menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme. Sampai sekarang (setidaknya), PKI dan ideologi komunisme, Marxisme, dan Leninisme dilarang di negara yang (katanya) demokratis. Padahal, ragam ideologi seharusnya bisa ditampung dalam negara demokrasi malah tak bisa diperjuangkan melalui pemilu dengan alasan hukum yang dibuat oleh pemerintahan hasil kudeta.

Soekarno dalam “Di Bawah Bendera Revolusi” berpendapat, Indonesia (sebelum kudeta dirinya terjadi) mempunyai tiga ideologi besar: nasionalisme, islamisme, dan komunisme. Ia singkat ketiganya dalam hasrat pengupayaan politik struktural dengan terma “Nasakom”. Pendapat presiden pertama ini jika disikapi dengan pembahasan sistem pemilu merupakan kewajaran dan sangat mungkin.

Pemilu sebagai syarat demokrasi merupakan ruang yang memungkinkan semua ideologi ditampung dan berkontestasi. Merumuskan sistem pemilu membutuhkan akselerasi pemetaan ideologi untuk mendukung pemerintahan yang efektif hasil pemilu. Tiga ideologi besar dengan segala variannya merupakan dasar ideal untuk menetapkan besaran daerah pemilihan (distric magnitude).

Dikawinkan dengan sistem pemilu Indonesia yang terlalu yakin dengan sistem proporsional, ide Nasakom dengan segala varian ketiga isme itu di dalamnya sangat pas untuk bisa menarapkan distric magnitude 3 sampai 6 (kursi setiap dapil). Ideologisasi ini cukup ideal dalam rekayasa pemilu mengingat sudah empat kali pemilu pasca-Reformasi gagal diterapkan karena pragmatisme dan oligarki di parlemen.

Sebagian dari kita menilai Pemilu 1999 pun ideologis. Tapi bagi penulis, kontestasi pemilu pertama pasca-Reformasi ini sebatas ekspresi terlepas dari rezim otoritarian. 48 partai peserta Pemilu 1999, masih tanpa PKI atau komunisme, bertarung dengan euforia kebebasan berideologi melalui jargon dan klaim. Ada islamisme (mendirikan negara islam), marhaenisme, buruh (sosialisme), tapi semua isme ini tak lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold).

Sebelum Pemilu 1999 sudah 30-an tahun warga Indonesia dididik apolitis. Mahasiswa Warkop DKI menjadi role model pemuda yang aktivitasnya seputar olahraga dan seni tanpa dimensi politik perlawanan. Tak ada pemuda yang bilang “ayo vote!“ karena pemilu memang tak keren. Alhasil, sepanjang perjalanan pemilu Indonesia, hanya Pemilu 1955 yang merepresentasikan kontestasi ragam ideologi.

Melalui “Senyap”, kita disadarkan, representasi kuasa Orde Baru yang menjadi lawan Reformasi masih mempunyai posisi dan keistimewaan publik dan kewenangan hingga kini. Senyap (salah satunya) menceritakan Amir Siahaan, ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Deli Serdang yang mengaku terlibat dalam pembantaian massal tahun 1965 di bagian luasan daerah pemilihannya. Tapi pelanggaran HAM berat yang dilakukan Politisi Partai Golkar ini tak dipermasalahkan masyarakat. Sejak 1971, Amir selalu menjadi anggota dewan di setiap hasil penyelenggaraan pemilu, saat dan pasca-Orde Baru.

Pemilu terakhir, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014, ideologi masih tak hadir. Yang menarik, sebagian para aktivis demokrasi yang seharusnya menagih dan menjaga ideologi malah terjebak sikap mendukung salah satu pasangan calon. Banyak alasan dari mereka, tapi yang cukup lebih kuat terdengar beralasan “asal bukan”.

Sebagian aktivis demokrasi lain tetap di posisi tak mendukung salah satu pasangan calon. Ada yang beralasan, mendukung salah satu pasangan calon tak bisa dimaknai sebagai netralitas bahkan independensi. Kelompok ini tetap menggunakan hak pilihnya di pemilu tapi tak mengutarakan pilihannya di publik. Ada juga yang tak mendukung dengan alasan, kedua pasangan calon sama buruknya. Tapi kedua kelompok ini punya kesamaan, tak berhasil mengupayakan pesta demokrasi menjadi marak dengan ragam ideologi. Keduanya pun tak bisa menolak keberlangsungan pemilu meski senyap ideologi.

Jelang pencoblosan Pilpres 2014, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (Jakarta) mengumumkan, masing-masing pasangan calon didukung puluhan jenderal pemerintahan Orde Baru yang diduga berjejak rekam melakukan pelanggaran HAM berat yang mirip dengan yang diceritakan dalam “Senyap”. Jika kita berpikir naif pun, sangat kecil kemungkinannya pemerintahan terpilih menegakan keadilan HAM tragedi 65, apa lagi mengupayakan pemilu yang ideologis.

Joshua Oppenheimer berharap sekuel “Jagal/The Act of Killing” ini menyadarkan kita bahwa keriuhan pesta demokrasi selama ini telah menutup pembunuhan massal bersama isme keadilannya. “Saya berharap film Senyap mengajak Anda untuk mendengar apa yang tak terlontar dari kebisingan kampanye politik, berita koran, radio, dan televisi. Dengarlah kesenyapan yang terlahir dari rasa takut, sebab kesenyapan tersebut telah berkumandang terlalu lama,” kata Joshua. []

USEP HASAN SADIKIN