Kasus penembakan warga di Aceh (31/3) yang menumpangi mobil juru kampanye salah satu partai lokal, menggambarkan masih tingginya potensi koflik pemilu di Aceh. Penyelenggaraan pemilu nasional di Aceh mempunyai harapan semakin membaiknya hubungan nasional dan Aceh melalui pemerintahan terpilih. Ini seiring dengan harapan kesejahteraan dari kebijakan yang dibuat. Agar pemilu nasional sesuai dengan kekhususan Aceh, pemilu di Aceh berbeda tak hanya dari segi politik lokal yang tercermin dari kepesertaan tapi juga dari segi penyelenggara. Adanya partai lokal di Aceh dinilai positif karena menyerap kontestasi politik lokal beserta aspirasinya. Bagaimana dengan Komisi Independen Pemilihan (KIP) sebagai bentuk penyesuian kekhususan Aceh? Apakah kekhususan penyelenggara pemilu di Aceh bisa lebih memenuhi makna independen, profesional, dan mandiri untuk menghasilkan pemerintahan terpilih yang lebih baik dan diterima masyarakat?
Sebelum kasus penembakan warga Aceh itu, rumahpemilu.org mewawancarai pemilu yang pernah menjadi komisioner KIP Aceh, Ilham Saputra. Bagaimana gambaran demokratitasi di Aceh dari segi penyelenggara pemilu, berikut hasil wawancara dengannya yang dilakukan di Banda Aceh (15/3).
Ada penguatan demokratisasi di Aceh melalui kepesertaan pemilu. Ada partai lokal dan berhasil menarik banyak pemilih di Pemilu 2009. Bagaimana penguatan demokrasi di pihak penyelenggara pemilu?
Penguatan  demokrasi Aceh di pihak penyelenggara pun menyesuaikan hubungan lokal dan nasional yang berbeda dengan daerah lain. Tapi yang jadi soal, perangkat hukum penyelenggara pemilu ada yang berseberangan dengan undang-undang nasional. Misal, KIP Aceh dipilih oleh DPR Aceh. Konteks ini berdampak pada pemaksaan kehendak dari partai penguasa di DPR Aceh. Di pihak pengawas pun seperti itu. Ini menjadi kendala buat demokrasi Aceh.
Bagi pengawas pemilu, Bawaslu sekarang dipersoalkan DPR Aceh dengan pemerintah Aceh. Terjadi penarikan kesekretariatan. Sarana dan prasarana juga ditarik. Ini menjadi persoalan. Padahal Bawaslu pun penyelenggara pemilu. Sehingga, penyelenggaraan pemilu di konteks penguatan demokrasi di Aceh bisa dinilai sangat lemah.
Dari segi independensi bagaimana?
Dari segi independensi, penyelenggara punya catatan buruk terkait hubungannya dengan kuasa di DPR. KIP Aceh dipilih DPR Aceh sebagai KIP provinsi, dan KIP kabupaten/kota dipilih DPR kabupaten/kota. Ada kasus seleksi anggota penyelenggara di Nagan Raya, Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Aceh Timur. Ada tarik menarik kepentingan di situ. Ketika timsel sudah tebentuk 10 orang, terjadi penolakan di DPR. Prosesnya berlarut-larut. Kompleksnya konteks ini, menjadi persoalan penyelenggara pemilu. Salah satunya independensi.
Ada contoh lain yang menggambarkan catatan buruk independensi penyelenggara pemilu?
Ketika kami di Pilkada 2012, seharusnya pilkada sudah harus dilakukan 2011. Terlambat karena ada desakan dari DPR Aceh yang banyak diisi Partai Aceh sebagai pemenang pemilu. Desakan, meminta pemilu ditunda. Padahal, tak ada alasan kuat untuk menunda pemilu.
Depdagri lalu mengintervensi penyelenggara untuk cooling down. Padahal, tak ada dalam peraturan perundang-undangan kita. Mungkin pemerintah pusat membuat agar-agar kondisi tetap kondusif. Tetapi, harusnya tak seperti itu. Akhirnya kami mengikuti prosedur itu. Ke MK ditunda, ditunda lagi. Akhirnya berjalan sampai 9 April 2012. Mundur, yang seharusnya 2011. Ini intervensi namanya.
Kasus lain, 120 persen pengajuan calon legislator dari partai. Ini juga permasalahan. Karena, 120 persen diatur dalam Qanun. Padahal, Qanun merujuk pada UU pemilu No. 10/2008 yang sudah diganti UU 8/2012. Harusnya Qanun menyesuaikan. Qanun levelnya setingkat Perda. Jauh dari UU dan lebih tinggi UU. Karena desakan dari DPR Aceh, dibawa ke pusat. Lalu, pusat seakan takut akan konflik lagi. Jadi, intervensi penyelanggara juga berimplikasi terhadap pelanggaran UU. Masih demokratis kah? Saya kira tidak.
Sebaiknya, bagaimana?
Harus ada pihak-pihak atau orang-orang yang melakukan judicial review undang-undang kepemiluan di Aceh. Khususnya yang terkait dengan penyelenggara pemilu.
Judicial review. Salah satunya apakah komisioner di Aceh dipilih oleh KPU pusat?
Saya sepakat itu. Pengalaman kita selama ini, intervensi dari partai, DPR Aceh, dan Pemerintah Aceh sangat kuat. Padahal, UU No. 11/2006 tak secara khusus mengatur pemilu di aceh. Ada UU lain yang lebih kuat terkait penyelenggaraan pemilu yaitu UU No 15 tahun 2011 dan UU No 8 tahun 2012. Ini yang menjadi kendala. Kalau terus terjadi, saya khawatir demokratisasi Aceh terhambat. Karena penyelenggara pemilu tak independen.
Gambarannya bagaimana, alur kerja penyelenggara pemilu di konteks hubungan lokal dan nasional?
Secara ikatan agak lemah. Karena itu, KIP provinsi tak langsung memilih KIP kabupaten/kota. Dan KPU RI tak langsung memilih KIP provinsi. Tetapi, dalam aturannya diatur di Qanun No. 7/2007 yang mengikat UU No. 11/2011 tentang penyelenggara pemilu.
Tetap ada hierarkis apapun yang terjadi. Apabila ada pelanggaran, KIP Aceh bisa melakukan tindakan ke KIP kabupaten/kota. Juga, KPU RI bisa mengawasi KIP Aceh. Saya menilai, dalam tataran pelaksanaan tataran hierarkis, tak ada masalah. Yang jadi soal, “keterikatan†antara penyelenggara pemilu dengan DPR daerahnya.
Para aktivis, ada yang menguatkan demokrasi dengan masuk ke partai untuk masuk ke parlemen. Bagaimana dampak dari aktivis pemilu yang masuk ke penyelenggara pemilu di Aceh?
Keadaannya, aktivis demokratisasi yang masuk partai abai terhadap prinsip demokrasi itu sendiri. Aktivis tak merubah alam demokratis di partainya. Padahal harapannya, mereka biasa mengubah perspektif partai yang sebelumnya otoriter. Bisa merubah keputusan semaunya dari elite partai menjadi keputusan yang melalui proses. Bukan top down tapi buttom up.
Lalu partai punya intervensi ke DPRA. Partai bekepentingan di penyelenggaraan pemilu melalui orang-orang yang mengisi KIP atau pengawas pemilu. []