Kualitas parlemen hasil pemilu berasal dari partai. Orang-orang yang di pilih merupakan hasil rekrutmen partai. Jika kualitas kerja parlemen disimpulkan buruk, ada yang salah dari rekrutmen dan kaderisasi di partai. Untuk menyimpulkan kualitas parlemen supaya menjadi rujukan memilih di pemilu, rumahpemilu.org mewancarai peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius. Formappi mendata, ¾ dari anggota dewan mencalonkan lagi. Jika disimpulkan kerja parlemen 2009-2014 buruk, bagaimana kita bisa memperbaiki pemerintah dengan memilih di pemilu yang pesertanya banyak anggota dewan 2009-2014. Berikut hasil wawancara kepada Lucius oleh jurnalis rumahpemilu.org, Bagus Purwoadi di kantor Formappi, Matraman, Jakarta (3/2).
Berdasarkan evaluasi kualitas parlemen, bagaimana kita bisa positif menyikapi pemilu?
Berdasarkan evaluasi Formappi per tahun terhadap parlemen, dari tahun 2010, kami belum melihat peningkatan kinerja. Ini termasuk dalam fungsi menghasilkan undang-undang (legislatif), pengawasan, maupun anggaran.
Di bidang legislatif, dewan berkeinginan besar merancang agenda pembahasan selama setahun dengan undang-undang (UU) yang begitu banyak. Tapi di akhir tahun, kita selalu melihat bahwa mereka tak pernah bisa menuntaskan sampai seperempatnya dari UU yang mereka rencanakan. Ini salah satu indikator buruknya manajemen internal DPR yang kemudian berimbas pada rendahnya kinerja mereka setiap tahun. Karena rencana yang begitu banyak, tapi yang kemudian bisa direalisasikan begitu sedikit.
Kemudian di bidang anggaran, kita tak melihat posisi DPR sebagai wakil rakyat, yang kemudian mewakili aspirasi masyarakat. Setidkanya ini ditunjukkan dalam pembicaraan soal anggaran yang kemudian bisa lebih banyak ditujukan untuk masyarakat. Bahkan sebaliknya, yang paling menonjol, dan yang selalu menjadi pemberitaan media, korupsi yang dilakukan Anggota DPR, muncul dari permainan anggaran. Jadi, bukannya menjadi wakil rakyat yang kemudian memperjuangkan anggaran untuk rakyat, tapi mereka malah memperjuangkan anggaran untuk dirinya sendiri.
Kemudian di bidang pengawasan terhadap kerja eksekutif, itu juga berkaitan dengan bidang anggaran itu. Fungsi pengawasan lebih banyak digunakan DPR sebagai ajang transaksi. Menekan pemerintah, kemudian mendapatkan harapan atau imbalan melalui transaksi. Salah satu tujuannya untuk mengamankan kepentingan pemerintah maupun kepentingan DPR sendiri.
Bagaimana agar pilihan kita di pemilu bisa menghasilkan pemerintahan yang lebih bersih?
Saya kira pusat kerusakan sistematis ini berawal dari partai. Harus dibenahi betul bagaimana UU partai politik bisa menjamin. Bagaimana agar tata kelola partai memang dilakukan secara terbuka. Partai harus tunduk betul pada UU keterbukaan informasi sebagai lembag publik. Partai seharusnya bukan organisasi milik segelintir elite partai seperti yang terjadi selama ini. Ketika kemudian ini tak dibuat perubahan di masa yang akan datang, saya tak melihat ada celah perubahan juga di DPR.
Kalau memang mau perubahan betul-betul terjadi, saya pikir harus benar-benar dibenahi. Bagaimana, partai khususnya, harus diperhatikan aturan keterbukaan rekrutmen keanggotaannya dan keuangannya dalam UU. Selama ini kan kita tak pernah tahu rekrutmen dan keuangan partai seperti apa keadaan pastinya.
Yang dipilih masyarakat merupakan orang-orang yang sudah disediakan partai. Sementara yang kita tahu, rekrutmen dan kaderisasi di partai tidak berjalan. Kemudian saat seleksi menjelang pemilu, yang dipilih bukan kader tapi siapa yang berduit. Yang punya uang yang diprioritaskan. Selain itu, hasil kaderisasi pun bisa dikesampingkan dengan orang yang punya elektabilitas tinggi. Padahal, elektabiltas bisa sama sekali tak merujuk pada pemahaman politik. Beberapa artis yang belakangan jadi heboh, dimunculkan hanya karena punya daya tarik pemilih. Ini bukan soal kemampuan.
Apakah mungkin, LSM bisa mendukung orang-orang baik untuk dipilih?
Saya kira sampai sejauh ini, kontribusi LSM sudah cukup signifikan. Media juga sangat berpihak pada LSM sehingga membangkitkan harapan. Jadinya LSM bisa lebih signifikan berperan di masa yang akan datang.
Dalam kerja parlemen, memang kerja LSM belum menjadi pertimbangan utama DPR dalam mengambil keputusan. Tapi, DPR sering melibatkan LSM, ini hanya untuk melegitimasi keputusan mereka. Keputusan tetap mereka yang bikin. Tapi kan itu tak membuat perjuangan LSM-LSM ini padam.
Seperti apa kualitas caleg yang dibutuhkan parlemen?
Kualitas caleg untuk dewan di parlemen harus diketahui partai. Jika proses di partai berjalan baik, akan ada seleksi yang baik. Partai minimal mempersiapkan orang-orang yang kemudian akan ditempatkan di DPR. Akan ditempatkan di komisi berapa, harus sudah dipikirkan dan dipersiapkan.
Tapi itu butuh kerja serius dari partai. Selama ini pertimbangan seleksi dilakukan pragmatis. Bukan karena kompetensi caleg tapi karena kemampuan dana, lalu soal popularitas dan lain sebagainya. Menurut kami, kalau proses yang berlangsung di partai sudah baik, ada harapan, anggota dewan yang terpilih itu sudah tahu mau ngapain melakukan apa sesuai dengan kebutuhan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran di parlemen.
Bisakah kerja dewan di parlemen disimpulkan untuk menilai partai peserta Pemilu 2014?
Saya kira, iya. Kalau kita mengacu pada sejumlah survei, elektabilitas partai-partai merosot tajam. Ini ada hubungannya antara berita tentang lemahnya kinerja DPR dengan apa yang kemudian direspon masyarakat. Ini pun membuat kita berpikir, Pemilu 2014 ini tak terlalu direspon semangat oleh rakyat. Sudah tiga kali pemilu dilaksanakan saat reformasi, hasilnya bukannya kita dibawa ke arah yang lebih baik, tapi setiap saat kita menemukan pemerintah atau elite politik selalu bermasalah dengan dirinya lalu kemudian tak bisa bekerja maksimal untuk kepentingan rakyat.
Jadi, rakyat juga sudah mencapai titik jenuhnya. Jadi kalau misalnya tidak ada kampanye yang menarik, atau tak ada tokoh yang kemudian membuat semangat warga itu bisa bangkit di 2014, saya kira partisipasi pemilih saat pemilu ini bisa lebih rendah dari 2009. 2009 itu 30 persen golputnya. Mungkin sekarang bisa 35 sampai 40 persen. Itu berarti hampir separuhnya masyarakat Indonesia tidak berpartisipasi.
Pengamatan Formappi tentang partai-partai baru di Pemilu 2014?
Partai-partai baru di Pemilu 2014 menurut saya merupakan partai lama yang selalu berusaha masuk tiap kali pemilu tapi selalu gagal memenuhi ambang batas. Jadi, dibilang partai baru juga tidak. Orang-orang yang ada di partai baru juga tak bisa dibilang baru karena mereka hampir pasti (berasal dari) pecahan partai besar sebelumnya. Nas-Dem saya kira mesin partainya hidup. Kalau PKPI dan PBB, mungkin karena partai lama dan tempo hari prosesnya ikut peserta pemilunya cukup lama, kelihatan biasa-biasa saja.
Sebenarnya mereka punya kans besar kalau mereka bisa menunjukkan mereka berbeda dengan partai-partai yang sudah ada di DPR sekarang. Tapi kan mereka tak bisa menunjukkan itu. Orang-orang yang mereka tonjolkan sebagai bintang partainya juga orang-orang yang sudah lama wara-wiri di dunia politik. Jadi orang berpikir, sama saja. Tidak ada yang baru, hanya nama, orang-orangnya itu-itu aja.
Jadi singkat cerita, DPR hasil Pemilu 2009 kinerjanya tak baik. Kami menyesal ketika mengetahui, hampir 85 persen sampai 90 persen, 502 orang dari mereka, mencalonkan diri lagi untuk 2014. Lalu dari tingkat peluang, calon incumbent ini lebih berpeluang terpilih. Mereka sudah kenal dapil dan sudah dikenal pemilih. Mereka juga punya dana yang cukup. Jika setengah dari mereka terpilih kembali, atau sampai ¾-nya, parlemen masih akan diisi dan didominasi orang-orang yang sama. []