November 28, 2024

Khoirunnisa N. Agustyati: Perludem Akan Makin Berkembang dengan Kerja Bersama

Tongkat kepemimpinan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) kini dipegang oleh Khoirunnisa Nur Agustyati. Banyak harapan yang dititipkan pada Ninis–panggilan akrabnya–yang punya latar belakang panjang sebagai peneliti pemilu di Perludem dan sebelumnya di Center for Electoral Reform (Cetro).

Tim Rumah Pemilu–Usep Hasan Sadikin, Maharddhika, dan Rikky MF–berbincang dengan Ninis di hari kedua ia menjabat (25/8). Kami mendiskusikan beberapa hal seperti bayang-bayang kepemimpinan sebelumnya; visi dan isu yang akan jadi fokus; serta soal mensolidkan kembali kerja kolaborasi di internal Perludem, di jejaring kepemiluan, hingga di jejaring aktivis demokrasi.

Citra Perludem sangat lekat dengan persona Titi Anggraini. Apakah ini jadi beban? Beban, maksudnya, mengubah persepsi publik yang ketika bicara Perludem itu top of mind-nya Titi Anggraini sekarang mesti berganti ke Khoirunnisa N. Agustyati.

Kalau ditanya beban atau tidak, ya ada kepikirian ke sana. Misalnya, apakah orang akan bisa menerima Perludem sekarang sebagaimana orang menerima Perludem yang dulu. Karena kita tahu Mbak Titi itu kan kuat sekali. Kita tahu expertise-nya dia, keahliannya dia, komunikasinya juga baik–bisa diterima di mana-mana.

Tapi, Perludem yang bisa eksis sampai tahun 2020 ini adalah buah kerja banyak orang–termasuk semua teman-teman yang support di keuangan dan administrasi. Ini kerja banyak orang yang mau berkembang bersama-sama Perludem. Saya melihatnya seperti itu.

Nah itu justru yang pengen saya coba solidkan lagi sama teman-teman. Ayo kita berkembang sama-sama, besar sama-sama, belajar sama-sama. Teman-teman yang mau bertahan sekian lama di Perludem saya rasa karena punya nilai-nilai yang sama dan kemudian kita besarkan sama-sama. Makanya bagaimana supaya nilai itu tetap kita pegang untuk menghadapi segala tantangan yang ada di depan.

Berarti ke depan akan lebih mengedepankan kerja tim?

Saya percaya teamwork. Kita bisa besar karena kita sama-sama. Teman-teman Perludem seiring berjalannya waktu sudah mulai kelihatan expertise-nya. Saya ingin teman-teman semakin percaya diri. Saya sendiri ada keterbatasan kalau misalnya harus bisa semuanya. Kalau cuman sendiri saya rasa juga tidak bagus untuk organisasi.

Dari refleksi kepemimpinan Titi Anggraini, disebut ada tantangan soal kemampuan finansial dan regenerasi organisasi. Apakah itu jadi tantangan yang juga masih akan dihadapi?

Sebagai sebuah lembaga swadaya masyarakat, yayasan, kita sampai sekarang sumber pendanaannya masih dari pihak luar. Namun, kondisi sekarang itu berbeda dengan kondisi saat  tahun 2012 atau 2010 saat saya bergabung dengan CETRO. Pada saat itu donor masih punya perhatian di isu kepemiluan. Seiring berjalannya waktu, fokus donor sudah tidak ke pemilu lagi. Jadi memang kita tidak bisa lagi menggantungkan pada pihak donor atau pihak ketiga.

Makanya penting mencari inovasi lain supaya kita bisa tetap survive dari segi pendanaan. Di masa pandemi ini, misalnya, kita berinovasi bikin kelas virtual Perludem, kelas khusus Perludem, dan nanti juga akan mulai dengan sekolah virtual Perludem. Inovasi itu yang kita coba akan terus pikirkan–kemungkinan fundraising seperti apa yang bisa dilakukan. Kami juga mempertimbangkan apakah bisa mulai memperluas isu. Misalnya kita sekarang sudah familiar sekali dengan teknologi–apakah kita juga bisa masuk ke sana.

Bagaimana dengan tantangan regenerasi?

Kita memang perlu mulai mencari generasi peneliti-peneliti baru. Tidak mudah mencari anak muda yang mau kerja di LSM. Kita perlu mulai cari-cari peneliti-peneliti baru yang tidak sekedar pintar tapi juga punya nilai yang sama tadi. Itu yang mulai kita coba bicarakan supaya di Perludem juga ada regenerasi.

Apa arti muda bagi Anda dalam memimpin sebuah organisasi?

Kalau kita bicara pentingnya partisipasi, dari angka saja pemilih muda itu kan sudah 30 persen. Masa iya mereka tidak kita libatkan dalam organisasi seperti ini? Mungkin kesempatannya yang selama ini kita tidak terlalu buka ruangnya. Kita tidak pernah dengar utuh masukan-masukan dari teman-teman muda ini. Ini mungkin karena kita sudah terlalu nyaman dengan apa yang sudah kita punya. Saya yakin banget kalo kesempatan itu bisa kita kasih ke mereka, masukan-masukan dari mereka pasti akan sangat berguna.

Isu atau gagasan apa yang akan menjadi fokus Anda ke depan?

Reformasi sistem pemilu masih akan diadvokasi. Tetapi berbicara soal pemilu tidak terbatas pada sistem tapi sekarang kan makin luas ya misalkan soal teknologinya. Reformasi partai politik juga sampai sekarang masih akan terus kita lakukan. Dari diskusi dengan teman-teman, Perludem juga akan mulai mencoba memperluas diri. Selama ini kan kita lebih sering bicara pemilu. Demokrasi belum dibicarakan seperti kita membicarakan pemilu. Mungkin kita juga mencoba ke arah sana, tetapi masih dalam bingkai pemilu, misalnya bagaimana pentingnya konsolidasi data kepemiluan untuk perkembangan demokrasi.

Bagaimana pengupayaan konsolidasi data kepemiluan ini?

Data ini menjadi hal yang sangat penting sekarang. Pengambilan keputusan tidak akan salah kalau data kita akurat dan diolah dengan baik. Pengolahan data itu yang menjadi kekuatan Perludem selama ini. Misalkan soal simulasi-simulasi perhitungan pemilu. Kalau kita tidak punya data dan tidak mensimulasikan itu dengan baik, kita tidak akan bisa kasih rekomendasi yang baik. Maka dari itu, sedang kita upayakan niatan Perludem untuk memiliki pusat data informasi pemilu yang bisa dinikmati oleh banyak orang–tidak eksklusif.

Anda tadi menyinggung soal memperluas isu Perludem ke soal demokrasi. Dalam gerakan masyarakat sipil kan terkesan ada dikotomi organisasi. Ada organisasi yang bergerak di isu demokrasi substansial dan ada organisasi yang bergerak di isu prosedural. Perludem seringkali terkesan terlalu teknis mengurus isu prosedural. Tanggapannya?

Kalau saya sih ya tidak bisa serta-merta (dipertentangkan–red) menjadi dua kutub. Yang substansial dan yang prosedural tidak bisa dipisahkan.

Perludem makin ke sini makin memperluas jejaring. Misalnya ketika kita ada riset dengan melibatkan teman-teman masyarakat adat dari AMAN. Dalam riset itu yang mau kita sampaikan adalah sangatlah penting suara dari teman-teman masyarakat adat ini untuk didengar. Nah kepentingannya itu bisa disuarakan melalui pemilu ini. Kita mencoba mengupayakan kelompok masyarakat adat, perempuan, anak muda, disabilitas agar mereka bisa berpartisipasi penuh dalam pemilu. Sehingga suara mereka itu, kalau dari sisi teknisnya, bisa terkonversi menjadi wajah parlemen atau eksekutif yang merepresentasikan mereka.

Perludem juga berjejaring dengan teman-teman organisasi disabilitas untuk melakukan judicial review hak pilih disabilitas mental. Itu kan masuk ke dalam ranah hak-hak sipil politik. Kalau ada pemisahan prosedural-substansial, itu tidak prosedural. Kita sudah masuk ke substansial. Pemilih tidak boleh ada yang dieksklusi. Semua harus dibuka ruang partisipasinya. Perludem juga terus-menerus memperjuangkan keterwakilan perempuan di parlemen dan di badan penyelenggara pemilu. Itu sudah masuk ke dalam bagian bahwa kita tidak sekadar mendorong yang prosedural tapi juga substansial.

Ini juga berarti soal kolaborasi ya. Sebetulnya apa arti kolaborasi buat Anda dan dengan siapa nanti akan berkolaborasi?

Kalau menurut saya kolaborasi itu artinya Perludem tidak bisa menutup diri dengan jejaring yang ada. Berkolaborasi bisa dengan siapa saja. Perbedaan pendapat itu bukan berarti berhenti berkolaborasi.

Evaluasi dari mengelola koalisi RUU Pemilu yang cukup besar kemarin, kita tidak bisa lagi memposisikan diri berhadap-hadapan ketika ada perbedaan–jika pilihannya A ya harus A dan pada akhirnya menutup ruang diskusi dengan yang berbeda pendapat. Strategi ke depan kita tidak bisa ngotot-ngototan. Kalau ada lembaga yang maunya ini; lembaga lain maunya itu, ruang diskusinya harus tetap dibuka. Kalau tetap pada posisi berhadap-hadapan ya tidak dapat apa-apa.

Berbicara soal minoritas jarang sekali menyentuh transgender. Mereka juga masyarakat yang mesti terlibat, mereka punya suara. Dalam pemilu mereka kadang-kadang menjadi korban. Dalam kampanye, misalnya, calon yang mau mencari sensasi misalnya bilang anti-LGBT dan sebagainya untuk menaikkan suara dan konsekuensinya makin meminggirkan kelompok minoritas. Ada gak strategi ke depan untuk melibatkan kelompok minoritas ini?

Dalam konteks pemilu, terutama soal hak pilih, jelas syaratnya hanya berusia 17 tahun atau sudah/pernah menikah. Titik. Tidak ada embel-embel lain. Prinsip pemilu juga one person, one vote, one value–tidak perlu meilhat apakah dia laki-laki, perempuan, transgender. Maka perlindungan terhadap hak sipil politik setiap manusia ini perlu dijamin. Strategi ke depan, jejaring perlu diperluas lagi sehingga sensitifitas dan perspektif di antara kita bisa tumbuh makin kuat. Beberapa program ke depan soal inklusi juga sudah mulai melibatkan teman-teman transgender.

Perludem punya program di regional Asia Tenggara. Apa yang akan dilakukan?

Ya, Perludem naik kelas ke tingkat regional. Pencapaian yang sudah dilakukan cukup panjang di Indonesia itu sangat diapresiasi oleh negara di regional, di Asia Tenggara. Mereka ingin belajar bagaimana sebuah organisasi masyarakat sipil berkolaborasi dengan penyelenggara pemilu. Itu yang sekarang kita coba sedang upayakan dengan program yang kita punya ini.

Dengan program ini akhirnya kita juga semakin memperluas jaringan. Jadi saling belajar tentang kondisi negara lain dan negara lain juga bisa belajar dari Indonesia. Misalnya soal keterbukaan data–apa yang sudah kita lakukan selama ini di Indonesia mungkin bisa diadopsi di negara lain. Dari negara lain kita bisa belajar bagaimana pemantau pemilu dilibatkan dalam audit teknologi pemilu. Hal-hal seperti ini bisa jadi cross learning dalam mendorong sebuah kebijakan. []