November 15, 2024

Batasan Ambang Batas Parlemen

Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilihan Umum masih melalui proses revisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu isu klasik yang belum disepakati adalah ambang batas parlemen. Salah satu variabel sistem pemilu ini berpengaruh terhadap berhak atau tidaknya partai politik mendapatkan kursi parlemen.

Kegunaan ambang batas parlemen di pemilu adalah sebagai syarat jumlah perolehan suara minimal yang harus didapatkan partai politik peserta pemilu untuk mendapatkan kursi. Ketika terdapat partai politik yang tidak mampu melampaui batas minimal persentase perolehan suara yang ditentukan, maka suara yang diperoleh partai politik tersebut tidak dapat diikutsertakan dalam konversi suara ke kursi.

Sebagai contoh, di Pemilu 2019 ketentuan ambang batas parlemen ada 4% dari suara sah nasional dan hanya berlaku untuk pemilu DPR. Dari 14 partai politik peserta pemilu nasional di 2019, terdapat sembilan partai yang mampu memperoleh dan melampaui 4% perolehan suara minimal yakni: PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP. Sedangkan lima partai politik peserta pemilu nasional lainnya (Hanura, PSI, Perindo, Garuda, dan Berkarya) tidak mampu memperoleh 4% suara sehingga tidak berhak untuk diikutsertakan dalam konversi suara ke kursi DPR.

Ambang Batas Parlemen sudah diterapkan sejak Pemilu 2009 yang besaranya 2,5% dan 3,5% di Pemilu 2014 yang penerapannya hanya untuk pemilu DPR. Motivasi utama dari penerapan ambang batas parlemen yang selalu meningkat besaranya ialah untuk membatasi banyaknya partai politik yang masuk ke DPR atau untuk menyederhanakan partai politik. Namun, pada realitasnya ambang batas terbukti gagal menyederhanakan partai politik di Indonesia. Kenaikan ambang batas parlemen dari 2,5% ke 3% di Pemilu 2009 misalnya berdampak pada bertambahnya jumlah partai politik di DPR dari 9 partai hasil pemilu 2009 menjadi 10 partai di Pemilu 2014. Begitu juga di Pemilu 2019 dengan ambang batas parlemen 4% yang ternyata tidak mengurangi jumlah partai politik di DPR secara signifikan.

Selama ini ada kekaburan makna mengenai “penyederhanaan partai politik” yang selalu dilihat dari mengurangi jumlah partai politik. Padahal penyederhanaan partai politik dalam konteks sistem kepartaian tidak selalu identik dengan jumlah partai di lembaga legislatif.

Inggris misalnya, dikenal dengan sistem kepartaian dua partai. Padahal jika merujuk pada hasil Pemilu 2019 lalu terdapat 10 partai politik yang mampu meraih kursi Parlemen Inggris. Namun tidak ada satupun yang mengkategorisasikan Inggris sebagai sistem multipartai dengan 10 partai politik, melainkan sistem dua partai karena konsentrasi kursi di parlemen Inggris dikuasi secara mayoritas oleh dua partai saja yakni Conservative dan Labour.

Konsentrasi kursi yang dimiliki partai politik adalah alat ukur dalam melihat bentuk sistem kepartaian. Laakso dan Taagepara (1979) merumuskan formula hitung yang dikenal dengan effective number parliamentary parties (Indeks ENPP) untuk mengukur bobot kekuatan atau relevansi partai politik dalam berinteraksi di parlemen dan membentuk sistem kepartaian. Dari lima pemilu pasca reformasi menghasilkan indeks ENPP di pemilu DPR dengan besaran sebagai berikut: Pemilu 1999 (4,7), Pemilu 2004 (7,1), Pemilu 2009 (6,2), Pemilu 2014 (8,2), dan Pemilu 2019 (7,5).

Pada tiga pemilu terakhir yang menerapkan ambang batas parlemen menghasilkan sistem multipartai ekstirm dengan konsentrasi kursi yang dimiliki partai di DPR tersebar ke lebih dari enam partai politik. Namun, di Pemilu 1999 dengan 21 partai politik yang berhasil menduduki kursi DPR dan tanpa menerapkan ambang batas parlemen, justru menghasilkan sistem multipartai sederhana dengan konsentrasi kursi ke empat partai. Sehingga dapat dikatakan besaran ambang batas parlemen terbukti gagal menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia.

Suara Terbuang

Alih-alih ingin menyederhanakan partai, pemberlakuan ambang batas parlemen justru mendorong tingginya suara pemilih yang terbuang sia-sia (wasted vote). Logika sederhananya semakin banyak partai politik peserta pemilu yang tidak mampu melampaui ambang batas maka, semakin banyak perolehan suara partai yang tidak diikutsertakan dalam konversi suara ke kursi dan perolehan suaranya dibuang begitu saja.

Di Pemilu 2009 dengan ambang batas parlemen 2,5% di DPR, dari 38 partai politik peserta pemilu sebannyak 29 partai politik yang tidak lolos ambang batas dengan total suara terbuang sebanyak 19.047.481 atau 18% dari total suara sah di Pemilu DPR. Sedangkan di Pemilu 2014 dengan besaran persentase ambang batas parlemen 3,5%, dari 12 partai politik peserta pemilu terdapat 2 partai politik yang tidak lolos ambang batas dengan total suara yang tidak ikut diikutsertakan dalam konversi suara ke kursi sebanyak 2.964.975 atau 2,8% dari total suara sah di Pemilu DPR. Sedangkan pada pemilu terakhir di 2019, dari 16 partai politik peserta pemilu sebanyak 17 partai yang tidak lolos ambang batas dengan jumlah suara yang terbuang sebanyak 13.595.842 atau 9,7% dari total suara sah di DPR.

Sedikit atau banyaknya suara yang terbuang sering kali tidak dijadikan pertimbangan utama oleh partai politik di DPR dalam menentukan besaran persentase ambang batas. Sebagian besar persentase ambang batas parlemen di setiap undang-undang pemilu adalah hasil negosiasi antar kepentingan partai politik besar dan kecil di DPR.

Partai-partai besar selalu mengusulkan peningkatan besaran ambang batas parlemen yang tujuannya untuk menghambat masuknya partai kecil dan partai baru. PDIP misalnya, selaku partai pemenang Pemilu 2019 dalam rekomendasi hasil rapat kerja nasionalnya (12/01/2020) mengusulkan untuk meningkatkan ambang batas parlemen menjadi 5%. Begitu juga dengan Golkar, selaku tiga besar partai politik di DPR yang mengusulkan peningkatang ambang batas parlemen menjadi 7% (Kompas, 09/03/2020).

Sedangkan partai menengah dan partai kecil cenderung untuk mempertahankan dan tidak mengubah besaran ambang batas dalam rangka menjamin keberlangsungan hidupnya agar di pemilu mendatang kembali mendapatkan kursi. Termasuk partai-partai politik yang tidak berhasil mengirimkan wakilnya di DPR pada Pemilu 2019 cenderung menolak peningkatan besaran ambang batas parlemen.

Terukur dan Proporsional

Di tengah penentuan ambang batas parlemen yang syarat kepentingan politik untuk menyederhanakan sistem kepartaian yang terbukti gagal dan berdampak pada tingginya suara terbuang, Perludem memutuskan untuk melakukan uji materi ambang batas parlemen. Selama ini batasan ambang batas parlemen bertentang dengan prinsip “adil” bagi partai politik dan pemilih yang suaranya terbuang secara sia-sia sebagai konsekuensi dari ambang batas parlemen.

Meski demikian, dalam permohonanya, Perludem tidak meminta untuk ambang batas parlemen dihapuskan melainkan dirumuskan batasan ambang batas parlemen secara terukur dan proporsional. Penentuan besar atau kecilnya ambang batas harus memiliki kalkulasi yang jelas.

Penghitungannya bukan hanya sekedar untuk menyelematkan partai agar mendapatkan kursi atau menyulitkan partai untuk mendapatkan kursi. Kita bisa merujuk Tageepara (2002) yang merumuskan formula hitung untuk menentukan besaran ambang batas parlemen di suatu negara yang dikenal dengan istilah national effective threshold atau ambang batas efektif nasional. Batasan Tageepara ini bisa dijadikan rujukan dalam menentukan besar atau kecilnya persantase ambang batas parlemen.

Jika dihitung berdasarkan rumus batasan itu idealnya besaran ambang batas parlemen di Indonesia adalah 1% di Pemilu 2009, 2014, dan 2019 lalu. Sehingga jika besaran ambang batas parlemen ini diterapkan tentunya akan berpengaruh pada sedikitnya suara yang terbuang dibandingkan besaran ambang batas yang diatur dalam tiga undang-undang pemilu sebelumnya. []

HEROIK M. PRATAMA

Peneliti Politik Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)