Korupsi oleh Menteri Sosial, Juliari Batubara pada jelang pemungutan suara Pilkada 2020 menambah catatan panjang menteri korupsi era Presiden Joko Widodo. Sebelumnya pada akhir November 2020, korupsi ekspor benih lobster dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo. Dua kasus korupsi ini mengingatkan kasus korupsi proyek pembangkit listrik oleh Idrus Marham (Menteri Sosial) dan korupsi dana hibah oleh Imam Nahrawi (Menteri Pemuda dan Olahraga).
Perlu diingat, empat nama menteri tadi, merupakan anggota partai koalisi pendukung Presiden. Artinya, Presiden sebagai pemegang hak prerogatif, perlu mengevaluasi caranya dalam menentukan sesiapa yang akan mengisi kabinet. Presiden perlu menimbang profesionalitas sang menteri dan kompetensinya, bukan hanya soal memberi penghargaan pada pendukung yang sudah berkeringat.
Sayangnya, terdapat beberapa menteri dari kalangan profesional yang menunjukkan kompetensinya, malah digantikan kader parpol seperti pendahulu Edhy Prabowo, Susi Pudjiastuti. Namun perlu dipahami, pemilihan anggota kabinet juga tergantung lobi-lobi politik. Partai pendukung tentu meminta jatah, selain sebagai penghargaan, juga agar eksekutif tak diganggu legislatif.
Dilema Presidensialisme-Multipartai
Problem semacam ini sering kita alami, khususnya pasca-reformasi yang membebaskan kehidupan politik. Kebebasan pascamangkatnya Soeharto ini, mendorong menjamurnya partai-partai politik di Indonesia, yang juga berimplikasi pada sistem kepartaian yang dianut. Sebelumnya Indonesia menggunakan sistem multipartai sederhana, atau bahkan menurut Giovanni Sartori, sistem partai tunggal. Sistem kepartaian kemudian bertransformasi menjadi sistem multipartai ekstrim dengan puluhan parpol dalam satu parlemen.
Selain itu, pasca-Reformasi kita juga semakin berkomitmen pada sistem presidensial yang dianut serta pemisahan kekuasaan. Namun, agaknya terdapat kontradiksi antara purifikasi sistem presidensial sebagai ekses dari amandemen UUD 1945, dengan sistem multipartai ekstrim sebagai implikasi dari liberasi politik pasca-Reformasi.
Menurut banyak ahli, sistem presidensial tidaklah berjodoh dengan sistem multipartai. Perkawinan keduanya akan menimbulkan masalah-masalah baru. Mainwaring (1993), mengatakan perkawinan dua sistem ini akan rawan bagi stabilitas demokrasi suatu negara, yang dibuktikan dari beberapa negara Amerika Latin yang mencoba mengawinkan keduanya dan gagal. Lebih lanjut, karena lebih dari dua parpol, maka logisnya tidak ada parpol yang dominan dan mendorong presiden untuk membangun koalisi. Namun koalisi yang dibangun akan sangat cair, tergantung bagaimana kesepakatan parpol dan presiden.
Alhasil, menurut Hanta Yudha (2010), hal tersebut berimplikasi pada banyaknya kompromi politik seperti intervensi parpol pada kebijakan presiden hingga terdegradasinya hak prerogatif presiden dalam memngangkat menteri. Contoh nyata dari fenomena ini adalah, bagi-bagi kursi menteri hingga komisaris BUMN sebagai bayaran dari dukungan parpol dan “pil penenang” di DPR.
Fenomena ini dapat dijelaskan secara matematis lewat penghitungan Rae Index yang melihat besarnya fragmentasi kepentingan di parlemen dan Laakso and Taagepera Index (LTI) yang melihat jumlah partai efektif. Bila kita melihat aplikasinya di Indonesia, mulai Pemilu 2004 hingga 2019, Rae Index selalu pada angka 0,99 dan LTI yang cukup fluktuatif, berkisar pada angka 6-8. Selengkapnya pada tabel berikut:
RI dan LTI di Indonesia Pasca-Reformasi
Periode | Rae Index (Party Sytem Fragmentation) | Laakso dan Taagepera Index (Effective Number of Parties) |
2004-2009 | 0.9995 | 7.08 |
2009-2014 | 0.9998 | 6.12 |
2014-2019 | 0.9997 | 8.16 |
2019-2024 | 0.9997 | 7.47 |
Sumber: Kahfi Adlan Hafiz, 2020
Dari angka tersebut, presidensialisme Indonesia masih jauh dari kata stabil. Berdasarkan uji coba yang dilakukan Scott Mainwaring (1993), negara-negara presidensial yang stabil memiliki angka RI pada kisaran 0,4 sampai 0,6 dan LTI pada kisaran 1,8 sampai 2,6. Artinya, penyederhanaan jumlah partai menjadi penting.
Merekayasa Pesta Demokrasi
Jumlah parpol yang besar tentu tidak kompatibel dengan komitmen kita pada sistem presidensial. Namun, membatasi pembentukan parpol dan bahkan menggabungkan mereka dalam sistem fusi partai seperti yang dilakukan Presiden Soeharto, tentu bukan solusi. Komitmen terhadap kebebasan berserikat harus digenggam seutuhnya.
Oleh karenanya, perlu ada solusi lain untuk membatasi jumlah dan besaran fragmentasi parpol di DPR. Tujuannya, untuk membentuk sistem kepartaian lebih sesuai dengan realita presidensialisme kita. Hal ini dapat ditemukan lewat rekayasa sistem pemilu beserta unsur-unsurnya, yang akan berpengaruh pada pembatasan jumlah parpol di DPR.
Terdapat beberapa unsur pemilu yang dapat direkayasa seperti district magnitude, threshold, electoral formula, dan bahkan model sistem pemilu. District magnitude sendiri dapat direkayasa dengan mengurangi jumlah kursi dalam satu dapil, yang awalnya 3-10 kursi, menjadi 3-8 kursi saja, dengan konsekuensi jumlah dapil diperbanyak. Hal ini berimplikasi pada iklim kompetitif yang diciptakan dalam satu dapil, sehingga kemungkinan partai-partai kecil mendapatkan kursi semakin menipis.
Selain itu, perubahan metode konversi suara menjadi kursi, dari metode quota-hare menjadi sainte-lague merupakan sebuah kemajuan. Metode hare dioperasikan dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), yang menghasilkan sisa suara, dan kecenderungan sisa suara diberikan pada partai kecil. Sementara sainte-lague lebih efektif dalam konteks penyederhanaan partai lantaran suara dilakukan pembagian dengan BPT dan tidak menggunakan large remainders sehingga partai yang mendapat suara kecil, lebih berpeluang tersisih dalam memperebutkan kursi.
Selanjutnya merekayasa threshold atau ambang batas. Terdapat dua model yang pernah dipraktikkan di Indonesia, parliamentary threshold (PT) dan electoral threshold (ET). ET menjadi threshold yang sangat efektif untuk mengurangi jumlah partai karena, model ini menyeleksi parpol mulai dari kepesertaan pada pemilu sehingga peserta pemilu bisa lebih dibatasi. Sementara PT, dioperasikan dengan memberikan ambang batas suara bagi peserta pemilu, agar dapat diikutkan pada penghitungan kursi. Memang PT juga efektif, namun sayangnya yang terjadi adalah banyaknya suara yang dihasilkan parpol tersisih, yang terbuang. Tercatat, bahkan hampir 11% suara terbuang sia-sia akibat sistem ini (Hafiz, 2020).
Di samping rekayasa unsur pemilu, penggunaan sistem proporsional pada pemilu Indonesia juga perlu dievaluasi. Pasalnya, sistem proporsional belum mampu menyederhanakan sistem kepartaian. Dalam konteks penyederhanaan sistem kepartaian, Menurut Pippa Norris (1997), sistem mayoritas/pluralitas tentu menjadi pilihan utama karena sistem ini menganut single-member district atau dapil berwakil satu, sehingga persaingan di dapil semakin ketat karena hanya satu parpol yang lolos. Namun, sistem ini tentu tidak kompatibel penerapannya pada negara multikultur dan multietnis seperti Indonesia, karena yang terpilih hanya mewakili kelompok mayoritas semata dan kelompok-kelompok minoritas yang rentan, tidak memiliki wakil di DPR.
Dengan kondisi tersebut, dapat digunakan sistem pemilu campuran dengan berbagai variasi. Intinya, sistem ini menggabungkan sistem mayoritas dan sistem proporsional. Misalnya sistem pararel, sistem ini dioperasikan dengan membagi total kursi di DPR menjadi dua bagian. Bagian pertama diisi dengan menggunakan sistem distrik, sementara sisanya dibagi dengan sistem proporsional. Sehingga, pengoperasian sistem pemilu campuran, dan pada bagian proporsional dilakukan rekayasa beberapa unsur pemilu di atas, dapat menurunkan besaran fragmentasi dan turunnya jumlah parpol efektif di parlemen. Ini tentu akan berimplikasi pada berkurangnya kebijakan kompromistis presiden dan stabilnya pemerintahan. []
KAHFI ADLAN HAFIZ
Pemerhati pemilu