August 8, 2024

Veri Junaidi: Pentingnya Pemahaman Wewenang antar Lembaga Pemilu

Veri Junaidi, Deputi Eksternal Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mempunyai penekanan pendapat yang berbeda terhadap Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu pada Sidang Keempat Teradu KPU (27/11). Tak semua putusan DKPP bermasalah. Selain itu, sisi kesalahan putusan DKPP berdasar pada belum dipahaminya relasi dan wewenang baru antar lembaga pemilu. Berikut penjelasan Veri melalui wawancara Usep Hasan Sadikin dari rumahpemilu.org.

Apa penjelasan Veri terhadap putusan DKPP di Sidang Kode Etik bagi Teradu KPU (27/11)?

Menurut saya, belum dipahaminya disain baru antar lembaga pemilu menjadi dasar permasalahan. Harusnya Bawaslu tak menangani kasus ini sebagai pelanggaran administrasi. Sesungguhnya ini sudah masuk ranah sengketa administrasi pemilu. KPU mengeluarkan berita acara yang tak meloloskan 18 partai dalam verifikasi administrasi. Seharusnya Bawaslu menangkap laporan dari partai politik sebagai sengketa.

Tak tepat saat Bawaslu merekomendasikan KPU melakukan verifikasi faktual pada 12 partai tak lolos administrasi.

Berita acara itu merupakan putusan KPU. Mestinya pada posisi ini Bawaslu memanggil KPU yang mengeluarkan berita acara, juga memanggil 12 partai yang melaporkan ketaksesuaian  berita acara KPU dengan dokumen yang dimiliki 12 partai. Pihak pemberi berita acara dan penerimanya dipertemukan Bawaslu untuk dilakukan proses adu alat bukti, adu argumentasi, apakah yang menjadi pegangan beralasan kuat atau lemah.

Bawaslu memediasi KPU dan partai. Selain itu Bawaslu juga berhak mengeluarkan putusan terkait dengan sengketa. Putusan itu harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak, KPU dan partai. Tapi jika putusannya tak disetujui atau malah merugikann satu pihak bisa mengajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Posisi Bawaslu di periode kepengurusan sekarang cukup tinggi. Fungsinya sebagai ajudikator. Bawaslu berfungsi sebagai hakim yang sebelumnya menengahi dan menangani sengketa antara peserta pemilu dan penyelenggara.

Saya justru menyesalkan sikap Bawaslu di awal yang menilai KPU melakukan pelanggaran administrasi. Lalu  rekomendasi Bawaslu harus dilaksanakan KPU. Bawaslu lalu mengadu ke DKPP. Padahal, DKPP hanya menyidangkan etika penyelenggaraan. Nah, dengan adanya putusan DKPP, pengaduan dan rekomendasi Bawaslu dibenarkan DKPP agar KPU mengikutsertakan 18 partai.

Dengan adanya putusan ini menjadikan relasi lembaga penyelenggara pemilu tak seimbang. Kesalahannya lebih pada Bawaslu.

Jadi awal mulanya kekacauan desain karena Bawaslu yang tak menjalankan fungsinya. Jika Bawaslu menggunakan kewenangannya dalam menjalankan sengketa maka tak perlu ada perintah untuk verifikasi 18 partai keluar dari DKPP. Karena untuk menentukan verifikasi terus atau diulang, mekanismenya bukan mekanisme etik melainkan mekanisme penyelesaian sengketa. Kalau melangar etik ya teguran atau pemberhentian. Tak bisa ini dikait-kaitkan.

Ada logika tak nyambung dari putusan DKPP yang merekomendasikan 18 partai pada KPU untuk ikut verifikasi faktual.

Pertama, DKPP memutuskan Komisioner KPU tak bersalah. Tujuh orang ini tak sengaja melanggar etik, tapi malah dihukum untuk melakukan verifikasi ulang. Jika memang bersalah, wajar diperintahkan. Ini, putusan menilai KPU tak bersalah.

Kedua, ada kewenangan Bawaslu yang dilampaui DKPP. Ketika Bawaslu mengadukan ke DKPP justru Bawaslu menurunkan derajatnya sendiri dan mendorong DKPP melampaui wewenang.

Apa ini tanda Bawaslu tak memahami posisi dan wewenangnya?

Iya. Bawaslu tak memahami peran strategis di pemilu ini. Sebelumnya pegiat pemilu telah mendorong Bawaslu menjadi lembaga yang kredibel dan kuat. Tapi sayang, kenapa justru Bawaslu tak memanfaatkan kewenangannya yang strategis itu.

Itu kewenangan baru yang belum ada di pemilu lalu?

Ini kewenangan baru yang dimiliki. Di tahun sebelumnya saat bernama Panwaslu juga punya kewenangan penanganan sengketa.  Tapi tak sestrategis sekarang yang bisa memediasi sekaligus memutuskan. Ajudikator.

DKPP sebagai lembaga baru, bagaimana?

DKPP boleh menjadi lembaga progresif. Baru Indonesia yang punya peradilan etik. Penyeleggaraannya terbuka. Tapi jika putusannya melebih wewenangnya dan mengambil alih wewenang lembaga pemilu lain, itu harus dikritik.

Putusan DKPP menjadi kontroversi awalnya disebabkan dari serangkaian problem penyelenggaraan dan pola relasi penyelenggara pemilu. Munculnya pengaduan Bawaslu kepada DKPP awalnya karena beberapa faktor. KPU tak terbuka, menunda pengumuman , merubah-rubah peraturan. Terakhir, faktor tak segera diberikannya surat keterangan atau berita acara. Karena semua itulah KPU dilaporkan ke DKPP. Dianggap KPU melanggar kode etik dan sebagainya. Kalau masing-masing penyelenggara ini menjalankan sesuai disain kelembagaan, permasalahan seperti putusan DKPP ini gak akan pernah muncul.

Pada ranah perdata ada namanya “ultra petita”. Kenapa ada ultra petita karena permasalahan orang perorangan. Privat. Saya menuntut anda. Saya menuntut X, ya hakim maksimal mengabulkan yang saya minta. Kalau memutuskan lebih dari yang saya minta, itu bisa melanggar hak anda.

Berbeda dengan ranah publik atau pidana. Jika saya menuntut X pada anda, itu buka soal saya dengan anda saja. Tapi dengan publik. Bukan hanya urusan orang berdua, tapi juga masyarakat dan keluarga.

Ini soal etik antar lembaga. Privat antar lembaga. Bukan soal administrasi. Administrasi ya ditindaklanjuti sama yang bersangkutan.

Seharusnya?

Seharusnya putusan DKPP seperti ini: “mengingat ini merupakan sengketa antara penyelenggara dan peserta pemilu maka direkomendasikan kepada Bawaslu, untuk mempertemukan kedua belah pihak, KPU dan Partai, dalam rangka klarifikasi.”

Harus ada tahapan berikutnya. Tak langsung diputuskan. Oh ini melanggar etik, maka KPU harus memverifikasi semua partai. Siapa yang bisa menjamin kalau semua partai itu memang layak ikut verifikasi faktual.

Tapi jika mau ikut verifikasi administrasi lagi, diberikan wewenang pada Bawaslu dan kemudian Bawaslu yang mempertemukan kedua belah pihak. Kroscek data Bawaslu. Mana sih, apa iya KPU-nya yang salah. Mestinya begitu.

Kenapa DKPP sampai mengeluarkan putusan seperti itu?

Soal alasannya kenapa, kalau saya lebih melihat tak sepatutnya putusannya memerintahkan KPU untuk melakukan verifikasi ulang terhadap 18 partai. Karena ranahnya berbeda antara etika dengan administrasinya. Kalau memang terbukti ada pelanggaran etik dan terkait soal kepercayaan publik terhadap KPU, maka harus ada kroscek administrasi yang bisa dilakukan Bawaslu sebagai mediator dan ajudikator. Pertemukanlah kedua belah pihak antara KPU dan partai. Diadu data.

Jika pertanyaannya kenapa DKPP bisa seperti ini. Ya itu harus ditanya ke DKPP. Tapi yang pasti, putusan DKPP itu tak layak.

Tepatkah kita menilai DKPP belum memahami peranannya dalam relasi antar lembaga pemilu yang baru ini?

Bisa jadi DKPP tak memahami konteks relasi antar lembaga. Bisa jadi DKPP belum memahami pemahaman posisi masing-masing lembaga dalam penegakan hukum. Bisa jadi seperti itu.

Karena jika memahami posisi, dia hanya menekankan etik. DKPP akan menyerahkan tindak selanjutnya pada Bawaslu. Karena DKPP memutuskan tindakan, kemungkinan DKPP belum memahami posisi masing-masing kelembagaan pemilu.

Bagaimana agar tak terulang karena nanti ada penetapan Partai Peserta Pemilu 2014?

Masing-masing lembaga harus mengetahui posisi, tugas dan kewenangannya. Penyelenggara pemilu ada KPU dan Bawaslu. Jadi sama-sama penyelenggara harus kompak. Bukan saling menjatuhkan.

Bawaslu kan bukan semata-mata mengawasi KPU. Tapi juga mengawasi tahapan dan peyelenggaraan pemilu. Masing-masing harus menghormati. Artinya, jika Bawaslu mempunyai kewenangan penyelesaian sengketa pada waktuya nanti pada saat KPU digugat partai politik KPU harus tunduk pada proses penyelesaian sengketa walaupun dilaukan Bawaslu.

Bawaslu sejajar sebagai  pengawas pemilu dengan KPU pelaksana pemilu. Tapi jika ada sengketa, posisi Bawaslu lebih kuat. Jika semua pihak memahami ini kedepannya saya pikir tak ada konflik antar lembaga lalu tak ada proses berlarut-larut.

Pengupayaannya agar antar lembaga pemilu kompak?

Perlu ada komunikasi KPU dan Bawaslu yang baik. Komisioner dan Bawasioner. Jika malah kuat revalitasnya potensi konflik akan muncul. Harus dibedakan bawaslu lama dan baru. Kenapa bawaslu punya kewenangan lebih sekarang karena KPU yang dulu sangat tertutup. Kpu mengagap bawaslu posisinya di bawah. Dulu bawaslu dibentuk oleh KPU. Masih ada aggapan bawaslu dibawah. Karena posisinya sekarang sama, tak perlu ada rivalitas. Pimpinan lembaga harus kerjasama dalam pengawasan  dan kebijakan. Ini penting.

Yang diawasi Bawaslu itu tahapan penyelenggaraan pemilu, artinya tak bisa lepas dari tahapan yang dilakukan KPU. Konflik ini muncul, justru merugikan Bawaslu. Apa yang bisa dilakukan Bawaslu dalam pengawasan jika berjarak dengan KPU. Jika hubungan KPU dan Bawaslu dekat maka kerja pengawasan menjadi baik. Dokumen dan segalanya bisa diminta diperiksa dan diketahui. Kebijakan KPU bisa diawasi.

Pada Bawaslu punya kewenangan dalam pencegahan. Upaya pencegahan dibutuhkan. Penindakan kita sudah punya. Pendekatan lebih kepada objek yang akan diawasi. Bawaslu punya kewenangan untuk pencegahan. Bukan hanya menindak. Kalau mau menindak pelanggaran ya langsung saja. Tapi pencegahan gak seperti itu. Sebelum potensi pelanggaran terjadi itu harus dicegah.

Idealnya, setelah putusan DKPP ini?

Saya masih melihat (putusan DKPP 27/11) ini kontroversi. Tak serta merta KPU melaksanakan 18 partai bisa diikutkan verifikasi. Mestinya jika proses yang lalu dianggap bermasalah tahapan yang boleh dilakukan adalah proses penyelesaian sengketa oleh Bawaslu.

Tapi ada putusan DKPP yang benar. Mengenai perubahan kesekretariatan KPU. Jelas-jelas loh kalau kesekretariatan itu fungsinya adalah membantuk komisioner dalam pemilu.

Ini logikanya benar. Lembaga penyelenggara pemilu, KPU, kan terdiri dari komisioner dan kesekretariatan. Jika kesekretariatan terbukti melakukan pembangkangan terhadap komisioner atau bahkan sengaja menghambat proses, itu melanggar etik. Konsekuensi dari melanggar etik, ditegur secara lisan, tertulis, atau teguran kerasya diberhentikan. Karena kesekretaritan merupaka PNS, DKPP tak bisa memberhentikan orang-orang di sekretariatan KPU. DKPP bener, isi putusannya mengembalikan orang-orang tersebut kepada lembaga asalnya. DKPP telah melebarkan pintu masuk perbaikan di KPU. []