Demokratisasi membutuhkan sistem pemilihan umum yang mampu mengakomodasi perwakilan kelompok, termasuk kelompok perempuan. Bersama kuota gender, zipper system hadir sebagai mekanisme penambahan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen. Saat UU 12/2003 sebatas mengatur soal kuota gender, zipper system diupayakan dalam UU 10/2008, UU 8/2012, dan UU 7/2017.
Zipper system merupakan salah satu pengejawantahan kuota gender keterwakilan perempuan di parlemen. Zipper system bekerja dengan menempatkan nomor urut kandidat laki-laki selang-seling atau vis-a-vis dengan nomor urut kandidat perempuan. Misalnya, nomor urut 1 diisi oleh kandidat laki-laki, maka nomor urut 2, 4, 6, dan seterusnya harus diisi oleh kandidat perempuan.
International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) dalam “The Global State of Democracy 2019: Addressing the Ills, Reviving the Promise” menilai, terdapat lima atribut dalam keberlangsungan demokrasi. Pertama, representative government. Kedua, fundamental rights. Ketiga, checks on government. Keempat, impartial administration. Kelima, participatory engagement.
Kuota gender dengan zipper system jadi bagian pengoptimalan lima atribut tersebut. Dalam lingkup affirmative action, kuota gender dengan zipper system merupakan pengupayaan pemilu untuk demokrasi yang lebih inklusif. Perempuan adalah setengah dari jumlah warga negara tapi keberadaannya di pemilu dan pemerintahan masih amat timpang dengan lelaki.
Merujuk target ketewakilan perempuan minimal 30% di DPR, zipper system belum efektif mencapainya. Tercatat bahwa jumlah perempuan di DPR dari tahun ke tahun fluktuatif. Pada Pemilu 2004, 11,24% kursi diisi oleh perempuan, kemudian bertambah menjadi 18,21% pada Pemilu 2009, namun turun menjadi 17% pada Pemilu 2014, dan bertambah lagi menjadi 20,54% pada pemilu 2019.
Stella Mulder, Tracy McDiarmid, dan Lisa Vettori dalam “Public Perceptions of Women as Political Leaders: A Multi-Country Study” (2019) menjelaskan, daerah pemilihan mempengaruhi kuantitas akses perempuan untuk dinominasikan. Jika terdapat lebih dari satu perwakilan per daerah, artinya perempuan calon memiliki kesempatan untuk berada pada posisi yang seimbang dengan laki-laki calon. Namun, jika hanya terdapat perwakilan tunggal, maka kecenderungan untuk menominasikan laki-laki calon (male incumbent) lebih besar. Dengan demikian, dibanding sistem pemilu pluralitas/mayoritas, zipper system lebih relevan diterapkan dalam sistem pemilu proporsional.
Dilema Putusan MK
Selain pemilihan sistem pemilu proporsional, masih ada variabel sistem lain yang bisa mengoptimalkan zipper system. Ella S. Prihatini dalam “Bagaimana mendongkrak keterwakilan perempuan di DPR?” (2018), menggambarkan bagaimana varian proporsional tertutup/terbuka mempengaruhi pencalonan dan keterpilihan perempuan.
Berdasarkan catatan Ella, pada Pemilu DPR 2009, Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Keadilan Sejahtera menyetor 100 persen caleg perempuan pada nomor urut 1 daftar caleg tiap daerah pemilihan. Sebelum diubah Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 22-24/PUU-VI/2008, sistem Pemilu DPR/DPRD 2009 masih sistem proporsional semiterbuka. Artinya, sistem ini masih punya sifat sistem proporsional tertutup.
Namun, di Pemilu DPR/DPRD 2014, tingkat partai politik menyetorkan caleg perempuan nomor urut 1 pada daftar caleg tiap dapil menurun drastis. Penyebabnya adalah UU 8/2012 sejak awal disahkan menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka, berdasar Putusan MK 22-24/PUU-VI/2008.
Putusan tersebut menetapkan bahwa Pasal 214 UU 10/2008 tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Penentuan caleg terpilih hanya berdasarkan suara terbanyak, sehingga tidak lagi menyertakan syarat perolehan suara yang mempertimbangkan harga kursi.
Menurut Nur Asikin Thalib dalam “Hak Politik Perempuan Pasca-Putusan MK” (2014), penerapan zipper system menjadi tidak efektif karena sistem proporsional terbuka. Penentuan keterpilihan dari suara terbanyak yang ditekankan Putusan MK 22-24/PUU-VI/2008 membuat peluang caleg perempuan terpilih menjadi lebih kecil.
Keadaan sistem pemilu itu bertambah dengan keadaan masyarakat yang masih patriarkis. Partai politik memang sudah menghadirkan perempuan lebih dari 30% dalam pencalonan zipper sistem proporsional terbuka, tetapi karena masyarakat sebagai pemilih belum ramah perempuan, keterpilihan perempuan minimal 30% di DPR belum tercapai.
Penelitian International Foundation for Electoral Systems (IFES) 2010 menjelaskan persepsi masyarakat Indonesia terhadap kandidat perwakilan perempuan. Dari semua pemilih yang akan memilih perempuan calon, ada perbedaan pertimbangan. 35% memilih berdasarkan kecerdasan (intelligence). 26% memilih berdasar pengetahuan status calon yang bersih dari korupsi (lack of corruption). 20% memilih berdasar pengalaman berpolitik (experiences in politics).
Dari keadaan dan pengalaman tersebut, selain perlu ada penyesuaian dengan pilihan sistem porporsional yang lebih relevan, dibutukan dua pendekatan untuk mengoptimalkan zipper system keterwakilan perempuan. Pertama, kedisiplinan partai politik terhadap komitmen kuota gender dengan zipper system. Kedua, penyadaran masyarakat untuk memilih perempuan caleg dalam peningkatan keterwakilan perempuan di DPR. []
MENTARI A. RAMADHIANTY
Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera