November 27, 2024

Beralih ke Sistem Pemilu Campuran

Sayang sekali, keputusan Pemerintah melalui Mensesneg untuk tidak meneruskan pembahasan RUU Pemilu membulatkan suara penolakan parpol pendukung pemerintah di DPR. Padahal, ada beberapa aspek penting yang perlu dibenahi, salah satunya sistem pemilu anggota DPR. Sistem pemilu menjadi bagian penting dari penyelenggaraan pemilu karena sangat mempengaruhi representasi politik dan hasil dari pemilu. Representasi politik dari semua unsur masyarakat menjadi bagian yang penting di negara yang heterogen seperti Indonesia.

Kemudian, hasil pemilu yang baik mampu menciptakan pemerintahan yang efektif untuk memerintah dan melaksanakan program untuk kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, hasil pemilu yang buruk, menghasilkan pemerintahan yang tidak bisa memerintah. Diketahui, UU Nomor 7 Tahun 2017 mengadopsi sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Itu artinya, kombinasi sistem proporsional, multipartai dan sistem presidensial akan tetap digunakan karena pembahasan RUU Pemilu tidak diteruskan.

Namun, meskipun RUU Pemilu tetap diteruskan pembahasannya, berdasarkan Pasal 206 ayat (1) Draft RUU Pemilu (Pemuktahiran 26 November 2020), sistem proporsional dengan daftar calon terbuka tetap dipertahankan. Padahal, para ahli jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa kombinasi ketiga elemen tersebut adalah sesuatu yang sangat sulit.

Membuang Sistem Proporsional

Berdasarkan Pasal 206 ayat (1) Draft RUU Pemilu (Pemuktahiran 26 November 2020), sistem pemilu yang digunakan adalah sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka. Sistem ini memang memiliki sejumlah kelebihan yang dapat dikatakan cocok dengan Indonesia yang heterogen, salah satunya mampu menampung keterwakilan politik dari semua unsur masyarakat.

Namun, kita tidak boleh lupa bahwa sistem proporsional juga mengandung kelemahan. Sejumlah kelemahan dari sistem pemilu proporsional secara umum sudah dapat dideteksi oleh para ahli diantaranya: rendahnya kualitas dari anggota legislatif dan akuntabilitas anggota legislatif yang lemah. Belum lagi, kombinasi sistem proporsional dengan sistem multipartai menimbulkan gejala tidak adanya partai mayoritas di parlemen untuk memudahkan menyusun dan menjalankan pemerintahan (Moch. Nurhasim: 2014).

Jauh-jauh hari, Mainwaring dan Scully sebagaimana dikutip oleh Jose Antonio Cheibub sudah mengingatkan bahwa kombinasi sistem proporsional, multipartai dan presidensial adalah sesuatu yang sangat rumit. Sebab, masalahnya, pemilu proporsional tidak akan mampu menghasilkan kekuatan mayoritas diparlemen bahkan cenderung mendorong partai minoritas memenangkan pemilu presiden. Akibatnya, partai kesulitan membentuk pemerintahan yang kuat dan efektif (Jose Antonio Cheibub: 2007).

Tidak hanya itu, karena ketidakmampuan menghasilkan pemenang mayoritas diparlemen, koalisi menjadi jalan satu-satunya bagi partai politik untuk dapat memerintah dengan efektif. Sayangnya, oleh karena koalisi yang terbentuk acapkali hanya untuk menambah dukungan dan menjaga hubungan eksekutif-legislatif, koalisi seringkali terjebak kepada hubungan yang transaksional, pragmatis dan jangka pendek.

Meski sudah diingatkan oleh para ahli tentang bahayanya kombinasi sistem proporsional, multipartai dan presidensial, nyatanya Indonesia selalu mengkombinasikan ketiga elemen tersebut. Sistem pemilu proporsional terus dipertahankan dari mulai pemilu pertama tahun 1955 hingga pemilu terakhir 2019. Seakan-akan hanya sistem proporsional yang paling cocok bagi Indonesia. Mendengarkan rumitnya kombinasi ketiga elemen tersebut, sudah seharusnya Indonesia meninggalkan sistem proporsional.

Beralih ke Sistem Campuran

Secara umum, sistem pemilu terdiri atas tiga kategori yaitu sistem proporsional, sistem pluralitas/mayoritas dan sistem campuran. Pilihan suatu negara terhadap sistem pemilu seharusnya bertolak dari tujuan pemilu itu sendiri. Selama ini, alasan Indonesia memilih sistem proporsional karena lebih menjamin keterwakilan politik semua unsur masyarakat yang majemuk. Namun, sebagimana pengalaman Indonesia, penggunaan sistem proporsional gagal menciptakan pemenang mayoritas dan menyebabkan tingkat fragmentasi yang tinggi di parlemen sehingga partai politik kesulitan membangun koalisi efektif.

Beralih menggunakan sistem pluralitas/mayoritarian juga bukanlah pilihan terbaik meski lebih mampu menciptakan pemenang mayoritas diparlemen. Alasannya, sistem pluralitas tidak mampu menjamin keterwakilan politik dari semua unsur masyarakat karena hanya akan ada satu orang yang mewakili satu distrik/daerah pemilihan. Selain itu, perubahan yang radikal dari sistem proporsional ke sistem pluralitas/mayoritarian akan menimbulkan kegoncangan sistem dan kebingunan bagi pemilih.

Belajar dari negara lain yang juga pernah meninggalkan sistem proporsional, mereka memilih beralih menerapkan sistem campuran, misalnya negara Belanda. Dari perspektif cara kerjanya, penggunaan sistem campuran cukup menguntungkan. Sebab, sistem ini tidak serta merta menghilangkan cara kerja sistem proporsional yang mampu menambah keterwakilan politik semua unsur. Malahan, dengan mengkombinasikannya dengan sistem pluralitas/mayoritarian, kecenderungan untuk menciptakan pemenang mayoritas di parlemen akan jauh lebih besar.

Melihat berbagai keuntungan yang dapat mendorong pemilu di Indonesia tidak saja mampu menampung keterwakilan politik dari semua unsur tetapi juga dapat mendorong terciptanya pemenang mayoritas diparlemen yang pada akhirnya menciptakan pemerintahan yang efektif, sudah seharusnya kita meninggalkan sistem proporsional dan beralih menggunakan sistem campuran.

Secara teknis, sistem pemilu campuran dicirikan sebagai berikut: (1) daerah pemilihannya terbagi atas daerah pemilihan berdasarakan sistem proporsional dan daerah pemilihan berdasarakan sistem pluralitas/mayoritarian; (2) kertas suara terdiri atas kandidat perseorangan dan daftar partai; (3) ada dua calon yang akan bertarung. Satu calon bertarung di sistem pluralitas/mayoritas dan calon lainnya akan bertarung dalam sistem proporsional daftar tertutup. (Moch. Nurhashim: 2014). []

RINO IRLANDI

Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya