August 8, 2024

KPU: The Dream Team with(out) Trust

Komisioner Ida Budhiati pada Sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jumat (9/11) menyampaikan permasalahan internal Komisi Pemilihan Umum. Menurut satu-satunya komisioner perempuan KPU ini, ada pembangkangan dari sekretariatan KPU. Dari pendaftaran hingga verifikasi komisioner sulit bekerja berdasarkan SOP. “Di lingkungan Sekretariat Jenderal,” tutur Ida. Komisioner KPU lain Hadar Nafis Gumay membenarkan, dan penyampaian Ida sudah melalui kesepakatan bersama Komisioner KPU. 

Terlepas dari penilaian buruknya manajerial dan ketegasan komisioner terhadap sekretariatan, kasus tersebut menambah cerita sulitnya orang baru bekerja bersama orang dan sistem lama. Sebelumnya ada harapan besar terhadap Komisioner KPU sekarang menangani Pemilu 2014. Sandra Hamid dari The Asia Foundation dan Titi Angraeni dari Perludem berkata “The Dream Team,” dalam menilai kualitas tujuh orang lokomotif KPU itu. Pengalaman dan capain pendidikan formal Husni Kamil Manik cs., is the best. Namun di tahap verifikasi usaha perubahan lebih baik pada KPU dan pemilu terganggu.

Terbuka=percaya

Ketua DKPP Jimly Assiddiqie dalam sidang yang dipimpinnya itu menekankan, permasalahan KPU adalah permasalahan internal KPU yang terakumulasi sehingga berdampak pada kerja KPU pada luar lembaga. Justru, pemahaman dari penekanan Jimly inilah permasalahan utamanya.

Saat kita memisahkan yang internal dan yang eksternal tanpa menyertai akses penghubungnya saat itulah terjadi permasalahan ketaksesuaian. Akses penghubung internal-eksternal inilah makna dari transparansi, dampaknya integritas (kesesuaian).

Selama ini makna transparansi diletakan dalam prinsip hak asasi manusia. Kekhasan HAM adalah pemisahan antara yang privat dengan yang publik. Menjadi tak tepat saat pemisahan internal-eksternal lembaga publik seperti KPU diletakan dalam prinsip privat-publik HAM. Tak ada yang privat kedap pada lembaga publik. Perihal internal KPU merupakan perihal eksternal KPU. Kualitas, proses, bentuk dan capaian di internal KPU merupakan kepentingan publik.

Lalu, batasan internal-eksternal transparansi lembaga publik seperti apa? Batasannya adalah prinsip keterbukaan=kepercayaan. Bentuk keterbukaannya dicapai melalui proses komunikasi dan pemantauan menyerta parameter kepercayaan. Jika suatu bentuk keterbukaan terdapat komunikasi dan pemantauan yang bisa diterima publik sehingga menghasilkan kepercayaan, maka di situ batas keterbukaannya. Tapi jika belum, harus lebih terbuka lagi.

Dari sini kita bisa tahu secara gamblang kesesuaian dari apa yang semestinya dengan yang terjadi. Transparansi bukan hanya yang di eksternal bisa tahu hasil kerja internal dari publikasi dan berita acara tapi juga bisa tahu proses kerja internal.

Berdasar prinsip tersebut kita bisa bentuk transparansi KPU yang diharapkan. Saat pleno verifikasi administrasi tertutup meloloskan 16 dari 34 partai ke verifikasi faktual, hasil tersebut tak dipercaya melalui proses yang semestinya. Diduga ada intervensi partai. Diduga KPU berpihak pada partai parlemen. Diduga ada berkas dokumen partai yang hilang atau tercecer.

Tuntutan transparansi menjadi lebih tinggi di tahapan seleksi pemeriksaan (verifikasi) karena menentukan keikutsertaan partai di pesta demokrasi. Sehingga arti terbuka di sini dimaknai, seluruh pihak terkait bisa mengikuti proses dan hasil. Ini kebutuhan harapan agar, siapa pun akhirnya bisa sama-sama percaya layak-tidaknya partai diloloskan sebagai peserta Pemilu 2014.

Merujuk pembahasan isu antikorupsi, buruknya penilaian terhadap korupsi menyertakan variabel ketertutupan dan kebohongan. Profesor Ekonomi asal Amerika Serikat Robert Klitgaard merumuskan korupsi sebagai akumulasi diskresi (kewenangan) dan monopoli (ketunggalan kuasa) sekaligus tanpa akuntabilitas (pertanggungjawaban). Diformulakan dengan C=D+M-A. Formula ini kemudian dikembangkan menjadi C=D+M-A-T. Korupsi terjadi jika akumulasi diskresi dan monopoli tak menyertai akuntabilitas dan transparansi (keterbukaan).

KPU diberikan wewenang dalam menyelenggarakan pemilu, melaksanakan amanat undang-undang. Ia satu-satunya lembaga yang menjalankan pemilu di alur persiapan, pemilihan dan penetapan bentukan pemerintahan. Ketunggalan kuasanya hanya dikurangi dengan keberadaan Bawaslu dan lebih luas lagi, masyarakat. Tak ada kompetitor KPU yang menuntut kerja profesional dan bersih.

Karena itu KPU dituntut agar bisa memastikan tak menyalahgunakan wewenang dengan mementingkan diri atau kelompok dengan merugikan orang banyak. KPU yang kuat diskresi dan monopoli tak boleh lemah dalam pertanggungjawaban dan keterbukaan. Hanya dengan ini kita bisa percaya dengan The Dream Team. Kita mau dan bisa percaya kalau ada keterbukaan. Sebaliknya, kita pun mau dan bisa terbuka jika ada kepercayaan. Jaminan pembuktiannya dengan akses penghubung internal-eksternal.

Pernyataan Ida dalam Sidang DKPP, meski terkesan terpaksa, adalah pengupayaan akses tersebut. Ternyata kerja publik KPU terkait dengan urusan internal KPU. Ida ingin menegaskan, permasalahan internal KPU pun permasalahan eksternal. Publik pun harus mengetahui.

Permasalahan menjadi terus membesar karena sebelumnya perihal internal dipahami sebagai konsumsi dan layak ditangani internal saja. Dampaknya, keadaan malah tak membaik karena perihal internal tak ada kendali dari eksternal.

Dampak penutupan akses internal-eksternal berupa publik yang tak percaya dengan capaian kerja KPU. Tak percaya berbentuk keraguan proses dan hasil sekaligus tanda tanya bingung, kok The Dream Team bisa terlambat dan melanggar prosedur?

Kritik terhadap KPU hadirkan perubahan lebih baik. Selain keterbukaan internal oleh Ida, DKPP akan mengedepankan fungsi mediasi terhadap KPU-Bawaslu. Perbedaan makna “transparansi” antar kedua lembaga itu akan dipahami bersama. Lalu, yang menarik, KPU akan membuka pleno penetapan peserta Pemilu 2014 layaknya rekapitulasi suara. “Ini untuk transparansi kepada publik, bentuk komitmen kami,” kata Komisioner KPU Ferry Rizki Kurniansyah (10/11). Ini terobosan dalam pemilu.

Tujuh Komisioner KPU terpilih berdasar kredibelitas terbaik. Tapi terbaik bukan berarti tak perlu tuntutan keterbukaan dan pantauan. Ini demi terciptanya pemilu yang fair dan dipercaya. Seperti The Dream Team dalam “Theater of Dream”. Rapih, mendekati kepastian, profesional, sportif bahkan menghibur. Ada riuh kecewa memang, tapi terlontar wajar dan tanpa cemooh. Semua percaya kemampuan dan kerja para personel itu. Bermain beraturan di arena hijau terang yang terbuka. Kita berharap itu pada KPU di Pemilu 2014. []

USEP HASAN SADIKIN