September 13, 2024

Muhammad Jufri: Bawaslu DKI Siap Tindak Pelanggaran Kampanye dan SARA

Keserentakan Pilkada 2017 di 101 daerah semakin menguatkan kebutuhan kepastian hukum pemilu. Sebelum serentak, di Pilkada DKI Jakarta 2012, Rhoma Irama mengajak jamaah masjid untuk memilih pasangan calon berdasarkan SARA. Laporan dugaan pelanggaran berakhir dengan hukum yang menyimpulkan Rhoma tak melanggar karena tak memenuhi unsur kampanye dalam regulasi.

Anggota Bawaslu DKI Jakarta 2014-2019, Muhammad Jufri saat menjadi Anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) DKI Jakarta di Pilkada 2012 ada di pemahaman yang menilai Rhoma Irama melakukan (dugaan) pelanggaran hukum. Di konteks Pilkada Serentak 2017, rumahpemilu.org mewawancarai Jufri (3/11) karena isu SARA kembali kuat di Megapolitan Jakarta.

Apa sikap Bawaslu DKI terhadap demontrasi “4 November” terkait pengawasan pilkada?

Kami mendapat info, demonstrasi nanti itu berizin bukan sebagai kampanye. Artinya, tak ada kaitannya dengan Pilkada DKI Jakarta. Karena izin dari kegiatan itu bukan terkait kampanye, maka setiap kegiatan yang dilakukan sekelompok orang pada 4 November ini, baik di Masjid Istiqlal dan sekitarnya, termasuk di jalanan jalur demonstrasi, maka tak boleh melakukan kegiatan kampanye. Karena izinnya bukan kampanye.

Anda mau mengingatkan, kampanye terikat izin dan aturan waktu dan tempat?

Iya, jelas. Bawaslu DKI siap tindak jika ada pelanggaran SARA dan kampanye. Kami sudah mengantisipasi demonstrasi 4 November ini. Kami tak bisa memungkiri, sangat mungkin ini jadi bagian kampanye pilkada.

Penegakan hukum pemilu dalam kampanye sering mentah karena berkait unsur kampanye yang cenderung dimaknai akumulatif. Bagaimana sekarang?

Tidak. Kami berpemahaman, jika terdapat satu unsur kampanye saja kami menilai sebagai dugaan pelanggaran. Masyarakat atau pasangan calon dan tim suksesnya pun bisa melaporkan sebagai dugaan pelanggaran.

Jika ada ajakan memilih calon di pilkada berdasarkan SARA, apakah ini pelanggaran?

Kami perlu perjelas dulu konteks SARA-nya. Karena mengajak orang memilih berdasarkan satu agama atau keaslian daerah itu sah-sah saja.

Jika redaksi ajakannya adalah, “jangan pilih pemimpin kafir!”, bagaimana?

Kami akan lihat, ajakan itu dilakukan siapa. Jika yang melakukan pasangan calon dan atau tim suksesnya, kami bisa nilai itu pelanggaran karena menjelek-jelekan pasangan calon lain.

Anda membedakan ajakan “pilih pemimpin muslim” dengan “jangan pilih pemimpin kafir”?

Tentu berbeda. Yang menghina, memfitnah, dan memprovokasi bisa dinilai dugaan pelanggaran. Kita lihat juga siapa yang melakukannya.

Jika ajakan memilih dilakukan di tempat ibadah?

Oh jelas. Regulasi melarang kegiatan kampanye di tempat ibadah dan tempat pendidikan.

Peraturan Bawaslu dan KPU telah menyertakan kata atau (/) dalam pengertian kampanye sehingga unsur-unsur kampanye tak harus akumulatif untuk menilai kegiatan sebagai kampanye. Kami minta penjelasannya…

Iya. Kami berpemahaman setiap kegiatan yang mengajak atau meyakinkan kepada (calon) pemilih, bisa dinilai sebagia kampanye. Unsur-unsur kampanye seperti visi, misi, dan program tak harus akumulatif. Satu saja unsur, kalau memang mengajak, itu sudah berarti kampanye.

Jika ajakannya, pilih atau jangan pilih nomor atau nama?

Oh, jelas itu kampanye. []

FOTO: Metronews.com