Tiga pasal dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu, yakni Pasal 428 ayat (2) dan (6), Pasal 483, dan Pasal 254 ayat (5), melarang warga negara menyiarkan hasil survey atau jajak pendapat kepemiluan pada masa tenang. Penyiaran dinilai dapat menguntungkan atau merugikan peserta pemilu sehingga dimasukkan dalam kategori tindak pidana pemilu.
Mengomentari hal tersebut, peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Adeline Syahda, menyatakan tak bersepakat. Jajak pendapat yang dilakukan dengan metode ilmiah adalah bentuk pendidikan dan pengawasan pemilu, sehingga tidak patut dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu. Adapun hal tersebut juga bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 24/PUU-XII/2014.
“Putusan MK telah menyatakan bahwa larangan terhadap hasil survey atau jajak pendapat yang diumumkan pada masa tenang tidak termasuk kategori tindak pidana pemilu,†kata Adel pada acara diskusi “22 Pasal Inkonstitusional dalam RUU Penyelenggaraan Pemiluâ€, di Menteng, Jakarta Pusat (3/11).
Pada Pasal 483, setiap orang yang mengumumkan hasil survey pada masa tenang dikenakan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak 12 juta rupiah. Larangan tersebut diperkuat dengan Pasal 254 ayat (5) yang turut melarang media cetak dan lembaga penyiaran untuk menyiarkan berita, iklan, dan rekam jejak peserta pemilu pada masa tenang.
“Itu inkonstitusional. Berita informasi merupakan hak setiap warga yang dijamin oleh Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28F. Meski masa tenang, warga berhak mendapatkan informasi mengenai kandidat yang akan dipilihnya pada hari pemungutan suara,†tukas Adel.