Koordinator Bidang Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha mengatakan praktik politik uang dan bantuan sosial (bansos) selalu terjadi di pemilu, bahkan cenderung meningkat. Politik uang tak lagi hanya ditawarkan oleh kandidat, namun menjadi permintaan pemilih. Politik uang yang merupakan pelanggaran pemilu kini semakin ternormalisasi.
“Banyak laporan yang kami terima dari berbagai daerah bahwa pemilih meminta, bukan lagi dipaksa oleh kandidat, tetapi mereka meminta mana barangnya, uangnya, agar kami milih anda. Jadi, politik uang sudah menjadi normal,” ujar Egi pada diskusi “Kecurangan Pilkada 2024: Dari Dinasti, Calon Tunggal, dan Netralisasi ASN” pada Selasa (13/7).
Ternormalisasinya politik uang oleh warga membuat pengawasan dan penegakan hukum menjadi semakin sulit. Warga tak lagi melaporkan politik uang, karena menikmati bagi-bagi uang oleh kandidat. Bentuk politik uang pun telah berkembang dari uang fisik menjadi uang digital, dengan nominal yang semakin besar.
“Dari nominal, ada kecenderungan naik juga. Misalnya, dulu memberikan 100 ribu rupiah, pemilu-pemilu berikutnya naik. Di 2024, naik berkali-kali lipat. Jadi, ini mengkhawatirkan sekali,” tukas Egi.
Selain politik uang, ICW juga mengamati fenomena semakin maraknya bansos di pemilu dan pilkada. Pada Pilkada Serentak 2020 di masa pandemi dan Pemilu 2024, bagi-bagi bansos jelas terlihat, namun tak ada penegakan hukum yang jelas. Bansos diduga akan kembali digunakan untuk memenangkan kontestasi di Pilkada Serentak 2024 oleh petahana atau keluarga politik yang memiliki kontrol atas sumber daya negara.
“Tidak ada pengungkapan yang patut atau adil terhadap kecurangan yang terjadi di Pemilu 2024. Itu akan menormalisasi. Orang-orang akan berani melakukan praktik kecurangan, dan akan terjadi masif di Pilkada 2024,” tegasnya.
Menjelang tahapan pendaftaran calon Pilkada, Egi meminta penegak hukum memperkuat pengawasan. ICW memprediksi mahar politik tak hanya diberikan oleh bakal calon kepada partai politik untuk membeli tiket pencalonan, namun juga agar partai tidak mengusung calon tandingan di Pilkada Serentak 2024.
“Yang kami duga terjadi, tidak hanya sebatas untuk mahar, tetapi juga untuk menjegal. Misal, tiket harganya sekian. Di luar itu, bisa naik kalau yang diberikan adalah tiket untuk tidak mencalonkan orang yang menjadi pesaing dia,” tutup Egi. []