Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu telah dibentuk dan siap bekerja. Berdasarkan jadwal yang disusun Pansus, pembahasan akan diakhiri pada 28 April 2017. Artinya, DPR dan pemerintah hanya memiliki waktu kurang dari lima bulan untuk membahas RUU Penyelenggaraan Pemilu.
Berkaca dari pembahasan undang-undang pemilu sebelumnya, undang-undang untuk menyelenggarakan pemilu 2009 disahkan oleh DPR dan pemerintah pada 2008. Dengan demikian, penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, hanya memiliki waktu kurang dari 12 bulan untuk menyelenggarakan pemilu 2009.
Adapun untuk Pemilu 2014, undang-undang penyelenggaraan pemilu telah disahkan pada 2012. Artinya, KPU dan Bawaslu yang dilantik pada 2012 memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan Pemilu 2014. Meski masih ada kekurangan, secara keseluruhan penyelenggaraan Pemilu 2014 berjalan dengan baik.
Jika mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, penyelenggaraan Pemilu 2019 dilakukan secara serentak, baik pemilu legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) maupun pemilihan presiden dan wakil presiden. Dengan demikian, penyelenggara pemilu akan menghadapi tahapan yang lebih kompleks dibanding sebelumnya. Untuk itulah, dibutuhkan undang-undang pemilu yang sudah matang dan disahkan paling lambat pertengahan 2017 agar penyelenggara pemilu memiliki cukup waktu untuk menyelenggarakan Pemilu 2019.
Sistem pemilu
Jika membaca RUU Penyelenggaraan Pemilu yang diusulkan pemerintah, setidaknya terdapat enam isu krusial dalam RUU penyelenggaraan pemilu, yakni pemilih, sistem pemilu, kampanye, pungut hitung, penegakan hukum, dan kelembagaan.
Khusus untuk isu sistem pemilu sendiri, terdapat lima variabel krusial yang selalu menjadi perdebatan dalam pembahasan, yakni soal alokasi kursi dan daerah pemilihan, formula penghitungan kursi, ambang batas, metode pemberian suara, dan metode pencalonan.
Sistem pemilu menjadi isu yang paling lama diperdebatkan dalam pembahasan. Musababnya, pilihan sistem pemilu ini nantinya akan menentukan partai mana yang mendapat kursi. Bahkan dalam pembahasan RUU Pemilu pada 2012, isu sistem pemilu dibawa ke paripurna untuk divoting karena tidak mencapai kata sepakat dalam pembahasan undang-undang dalam tingkat pansus.
Potensi perdebatan yang panjang ini sangat mungkin terulang saat ini. Tiga variabel utama yang berpotensi juga diperdebatkan adalah metode pemberian suara, penghitungan kursi, dan besaran daerah pemilihan.
Pada variabel pemberian suara, pilihannya adalah sistem proporsional terbuka atau tertutup. Fraksi yang mendukung sistem proporsional terbuka antara lain PPP, PAN, PD, NasDem, Gerindra, dan Hanura. Sedangkan fraksi yang mendukung sistem proporsional tertutup adalah PDIP, Golkar, dan PKS.
Pada metode penghitungan kursi, pemerintah mengusulkan perubahan dari yang semula berdasarkan kuota murni menjadi metode St. Lague Modifikasi. Metodenya adalah suara sah partai politik akan dibagi dengan sejumlah bilangan pembagi dan menentukan partai perolehan kursi berdasarkan hasil pembagian terbesar.
Berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan Perludem, jika metode ini diterapkan pada Pemilu 2014, partai menengah-besarlah yang paling diuntungkan. Namun hasil pemilunya menjadi lebih tidak proporsional karena indeks disproporsionalitasnya menjadi 5,8 dari yang semula hanya 2,7.
Adapun metode besaran daerah pemilihan diusulkan agar besaran per daerah pemilihan diperkecil dari yang sebelumnya 3-10 kursi menjadi 3-8 kursi atau 3-6 kursi. Konsekuensi dari perubahan daerah pemilihan ini adalah diuntungkannya partai menengah-besar. Itu karena semakin sedikit kursi yang diperebutkan di dapil, semakin sedikit pula partai yang berpeluang mendapatkan kursi.
Menghadapi penyelenggaraan Pemilu 2019, terdapat sejumlah agenda politik penting. Saat ini, misalnya, telah dibentuk panitia seleksi untuk menyeleksi anggota KPU dan Bawaslu yang akan dilantik pada April 2017. Kemudian terdapat pilkada serentak tahap ke-2 yang akan digelar pada 15 Februari 2017.
Dua agenda politik ini mungkin akan menjadi perhatian DPR dan pemerintah. Selain itu, muncul wacana untuk membahas Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang MD3 dengan tujuan agar terjalin kesinambungan satu sama lain.
Penggabungan pembahasan ini pada dasarnya baik bagi keselarasan undang-undang paket politik. Tapi yang perlu diperhatikan adalah masalah waktu pembahasan. Jangan sampai pembahasan undang-undang pemilu menjadi terlambat.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan penyelenggaraan Pemilu 2019 adalah dengan menggabungkan undang-undang pemilu legislatif dan pemilu presiden tanpa mengubah substansinya. Yang perlu diperhatikan: teknis penyelenggaraan yang berimplikasi pada keserentakan Pemilu 2019. Selain itu, sangat penting untuk memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi perihal undang-undang pemilu untuk diadopsi ke dalam undang-undang pemilu yang baru. **
KHOIRUNNISA NUR AGUSTYATI
Deputi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)