August 8, 2024

Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu: Tidak Ada Alasan Kembali ke Sistem Proporsional Tertutup

Sistem pemilu menjadi perdebatan utama dalam rapat-rapat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu. Sedikitnya tiga fraksi partai di parlemen, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyetujui sistem proporsional terbuka terbatas yang diusulkan Pemerintah di dalam RUU Pemilu. Ketiganya memandang sistem proporsional terbuka menyalahi kewenangan partai untuk menentukan wakilnya di parlemen.

Memandang hal tersebut, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) berpendapat bahwa sistem proporsional terbuka tidak melangkahi wewenang partai dan tetap dapat menghasilkan anggota legislatif yang berkualitas. Kuncinya, yakni, melakukan rekrutmen terbuka untuk menyaring kader partai terbaik, sehingga calon anggota legislatif yang ditawarkan kepada pemilih hanyalah yang berkualitas.

“Tidak ada alasan bagi partai untuk kembali ke sistem proporsional tertutup. Kalau partai mau kader terbaik, ya tawarkan semua kader terbaik mereka di dalam daftar. Pemilih kan memilih apa yang partai sediakan,” tukas Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria, pada acara “Konsolidasi Masyarakat Sipil Kawal RUU Pemilu” di Kuningan, Jakarta Selatan (22/12).

Pandangan tersebut didukung penuh oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Dalam draft kodifikasi RUU Pemilu, Koalisi menyatakan bahwa yang perlu dilakukan adalah menutup kekurangan sistem proporsional terbuka, bukan mengubahnya menjadi sistem proporsional tertutup. Sistem proporsional terbuka memberikan partisipasi penuh kepada masyarakat untuk memilih calon yang mereka percayai untuk duduk di parlemen. Hal ini akan membuat calon terpilih lebih bertanggungjawab kepada konstituen daripada kepada partai.

“Kami menilai sistem proporsional terbuka adalah yang terbaik untuk Indonesia saat ini. Memang, di pemilu sebelumnya, sistem ini mendorong merebaknya politik uang, tapi bukan berarti ini kesalahan sistem. Politik uang terjadi karena sifat pragmatis calon yang masih merasa politik uang adalah cara tercepat untuk menang,” jelas Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini.