Syarat “sudah atau pernah kawin” untuk berhak pilih terdapat permasalahan yang lebih prinsip dibanding soal kompleksitas pendataan pemilu. Pemberian hak pilih pada warga yang “sudah atau pernah kawin” di bawah 17 tahun merupakan pelegalan perkawinan anak. Selain regulasi yang tak sinkron dengan upaya perlindungan anak, pemilu sebagai jalan kekuasaan demokrasi pun menjadi bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan bias dalam menilai kedewasaan publik.
“Kawin atau sudah pernah kawin (sebagai syarat pemilih) tidak sejalan dengan semangat upaya menghapus praktek perkawinan anak,” kata pegiat Koalisi Perempuan Indonesia bidang politik, Dewi Komalasari (16/5).
Dewi menekankan, undang-undang pemilu harus menjadi bagian dari penghapusan perkawinan anak. Selama ini ketentuan “kawin/pernah kawin” di bawah 17 tahun sebagai syarat memilih menjadi regulasi yang bertentangan dengan upaya penghapusan perkawinan anak.
Pegiat Aliansi Perempuan Politik, Yuda Irlang menguatkan pendapat Dewi. Perkawinan anak merupakan permasalahan sistemik. Di dalam rantai kemiskinan praktek ini langgeng dan jadi salah satu sebab perceraian, iklim tumbuh serta gizi anak yang buruk, dan perdagangan anak.
“Keterangan tambahan ‘kawin atau pernah kawin’ musti dihapuskan. Ini ketentuan yang mendukung perkawinan anak,” tegas Yuda.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Catherine Natalia berpendapat, ketentuan kawin atau pernah kawin sebagai syarat menjadi pemilih merupakan hal yang tak lazim. Dari 235 negara yang didata Central Intelligence Agency, hanya ada tiga negara yang menyertakan perkawinan sebagai syarat memilih di pemilu.
“Selain Indonesia, ada Hungaria dan Republik Dominika. Di dua negara ini, warga berhak pilih jika sudah berusia 18 tahun tapi bagi yang sudah menikah di bawah usia 18 tahun juga sudah boleh memilih,” kata Catherine.
Catherine pun menginfokan bahwa ketentuan kawin sebagai syarat memilih di bawah usia reguler pemilih sudah diterapkan sejak pemilu pertama Indonesia. Berdasarkan riset regulasi yang dilakukannya, Pemilu 1955 berdasar UU No. 7/1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 1 Ayat (1) regulasi ini bersyarat pemilih sebagai berikut:
Anggota Konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih oleh warganegara Indonesia, yang dalam tahun pemilihan berumur genap 18 tahun atau yang sudah kawin lebih dahulu.
Ketentuan itu berubah di pemilu berikutnya hingga kini tapi hanya pada aspek usia. Aspek “sudah kawin” terus dipertahankan setidaknya sampai Pemilu 2014.
Berikut tabel perbandingannya:
Tahun Pemilu | Nama dan Tahun Regulasi | Syarat Pemilih |
1955 | UU No. 7/1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat | Pasal 1 |
(1) Anggota Konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih oleh warganegara Indonesia, yang dalam tahun pemilihan berumur genap 18 tahun atau yang sudah kawin lebih dahulu. | ||
1971 | UU No. 15/1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. | Pasal 9 |
Warganegara Republik Indonesia, yang pada waktu pendaftaran pemilih untuk pemilihan umum sudah genap berumur 17 tahun atau sudah kawin terlebih dulu mempunyai hak memilih. | ||
1977 | UU No. 15/1969 tentang Pemilu yang telah diperbaharui dengan UU No. 4 /1975 | Pasal 9 |
Warganegara Republik Indonesia, yang pada waktu pendaftaran pemilih untuk pemilihan umum sudah genap berumur 17 tahun atau sudah kawin terlebih dulu mempunyai hak memilih. | ||
1982 | UU No. 2/1980 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/ Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975 | Pasal 9 |
Warganegara Republik Indonesia, yang pada waktu pendaftaran pemilih untuk pemilihan umum sudah genap berumur 17 tahun atau sudah kawin terlebih dulu mempunyai hak memilih. | ||
1987 | UU No. 1/1985 tentang Perubahan Atas UU No 15/1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 | Angka 6 |
Ketentuan Pasal 9 diganti dengan ketentuan yang berbunyi sebagai berikut: ” Warga negara Republik Indonesia yang pada waktu pendaftaran pemilih untuk Pemilihan Umum sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” | ||
1992 | UU No. 1/1985 tentang Perubahan Atas UU No 15/1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 | Angka 6 |
Ketentuan Pasal 9 diganti dengan ketentuan yang berbunyi sebagai berikut: ” Warga negara Republik Indonesia yang pada waktu pendaftaran pemilih untuk Pemilihan Umum sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” | ||
1997 | UU No. 1/1985 tentang Perubahan Atas UU No 15/1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 | Angka 6 |
Ketentuan Pasal 9 diganti dengan ketentuan yang berbunyi sebagai berikut: ” Warga negara Republik Indonesia yang pada waktu pendaftaran pemilih untuk Pemilihan Umum sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” | ||
1999 | UU No. 3/1999 tentang Pemilihan Umum | Pasal 28 |
Warga negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut warga negara yang pada waktu pemungutan suara untuk Pemilihan Umum sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. | ||
2004 | UU No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah | Pasal 1 angka 8 |
Pemilih adalah penduduk yang berusia sekurang-kurangnya 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/ pernah kawin. | ||
UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden | Pasal 1 angka 10 | |
Pemilih adalah warga negara Indonesia yang terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu. | ||
2005 | UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah | Pasal 68 |
Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. | ||
2009 | UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah | Pasal 1 angka 22 |
Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. | ||
UU No. 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden | Pasal 1 angka 21 | |
Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. | ||
2014 | UU No. 08/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah | Pasal 1 angka 25 |
Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. | ||
2015-2017 | UU No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang | Pasal 1 angka 6 |
Pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam Pemilihan. |
Komisioner KPU 2012-2017, Ida Budhiati berpendapat, perumusan UU Pemilu untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 penting dijadikan momentum untuk menghapus ketentuan “kawin/pernah kawin” sebagai syarat memilih. UU pemilu selama ini menjadi menjadi bagian dari regulasi yang tak sinkron terhadap upaya jaminan kesetaraan gender dan hak asasi manusia dalam bernegara.
Ida menekankan, secara substansi, pembentuk undang-undang perlu memperhatikan perspektif gender dalam merumuskan norma-norma. Menurut perempuan yang lama aktif di Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) ini, kedewasaan tak ditentukan oleh status belum, sudah, atau pernah kawin.
“Jadi di penyusunan undang-undang pemilu, norma (kawin/pernah kawin) ini dihapuskan saja karena tak sinkron dengan jaminan perlindungan anak,” tegas Ida. []
USEP HASAN SADIKIN