Draf peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang pendaftaran, verifikasi, dan penetapan partai politik peserta pemilu DPR dan DPRD memperpanjang polemik soal verifikasi yang hanya berlaku untuk partai baru. Draf peraturan KPU tersebut menghendaki partai peserta Pemilu 2014 tak perlu lagi diverifikasi ulang.
Padahal, di Undang-undang Pemilu, tidak ada ketentuan yang secara eksplisit menyebut hal tersebut. Pasal 173 ayat (3) Undang-undang Pemilu hanya menyebut, “Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilu.
Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), memandang, KPU harusnya menerjemahkan sembilan syarat pada Pasal 173 ayat (2) ke dalam variabel operasional yang terukur. Soal partai mana saja yang perlu diverifikasi faktual bisa ditentukan kemudian dengan mengacu pada aturan teknis dengan variabel yang operatif dan terukur yang disusun KPU.
Berikut wawancara lengkap Rumah Pemilu dengan Titi Anggraini (15/8).
Bagaimana Anda memandang draf PKPU verifikasi partai peserta pemilu yang diuji publik hari ini?
Yang saya bayangkan adalah KPU akan lahir dengan opsi-opsi untuk diuji publik. Sebenarnya tafsir bagaimana atas Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu [1] yang betul-betul sesuai dengan pemaknaan norma Pasal 173 ayat (3). Tapi ternyata KPU langsung ambil sikap bahwa peserta pemilu termasuk partai 2014 yang sudah otomatis jadi peserta pemilu.
Apakah itu sudah tepat?
Jika saya bandingkan dengan judul, ternyata PKPU ini bukan hanya untuk Pemilu 2019 tapi dia bicara pemilu secara umum. Judul PKPU-nya pendaftaran, verifikasi, dan penetapan partai politik peserta pemilu anggota DPR dan DPRD. Dengan demikian ,cara berpikir kita melihat rangkaian pemilu ke depan tidak dibatasi konteks Pemilu 2019.
Di sini, penempatan Pasal 6 ayat (2) draf PKPU ini [2] terlalu spesifik dan membatasi durasi keberlakuan PKPU ini hanya untuk Pemilu 2019. Karena langsung menyebut partai yang telah ditetapkan KPU sebagai peserta Pemilu 2014 otomatis jadi peserta pemilu.
Padahal UU Pemilu tidak menyebut eksplisit peserta Pemilu 2014 langsung jadi peserta pemilu 2019…
Ya. Yang disebut Pasal 173 ayat (3) adalah partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang.
Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu itu belum operatif, belum sempurna, belum penuh. Dia memerlukan pengaturan lebih lanjut, variabel terukur yang harus ditentukan KPU. Jadi Pasal 173 ayat (3) itu hanya akan bisa ada keputusan (partai mana saja yang perlu diverifikasi—RED) kalau KPU sudah menerjemahkan dalam bentuk variabel operasional syarat huruf (a) sampai (i).
Apa yang Anda maksud dengan variabel terukur yang harus ditentukan KPU?
Sebagai contoh, Pasal 173 ayat (2) huruf (b) menyebut partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan memiliki kepengurusan di seluruh provinsi. KPU harus menyebutkan yang dimaksud seratus persen provinsi itu maksudnya berapa provinsi.
Pasal 173 ayat (2) huruf (c) menyebut, memiliki kepengurusan di 75 persen jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Di Indonesia ada 34 provinsi. 75 persen di tiap provinsi itu angkanya berapa.
Aceh, misalnya, terdiri atas 23 kabupaten/kota. 75 persen angkanya berapa. Di Sulawesi Tenggara ada daerah otonom baru. 75 persen angkanya berapa.
Ini pasal belum operatif, belum konkret. Konkretnya kalau KPU sudah mendeterminasi turunan dalam bentuk variabel teknis yang harus ditaati partai.
Termasuk juga ketentuan memiliki anggota sekurang-kurangnya 1/1000 dari jumlah penduduk?
Ketentuan ini sebenarnya membuat Pasal 6 ayat (2) draf PKPU verifikasi bertentangan dengan draf PKPU tahapan. Sebab rujukan jumlah penduduk saja, Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK2), baru diminta KPU ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tanggal 3 September.
Secara operatif belum ada satupun partai yang lolos dari ketentutan (a) sampai (i) ini. Karena KPU baru mendapat variabel 1/1000 ketika KPU dapat data DAK2 dari pemerintah yang dijadwalkan 3 September.
Secara umum, Pasal 6 ayat (2) ini bermasalah?
Pasal 6 ayat (2) ini jadi problem juga karena ada sifat keterpenuhan syarat yang sudah daluarsa. Ada dalam Pasal 273 ayat (3) huruf (g). Partai dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilu. Pemilu 2014 kan tahapannya sudah selesai. Sudah tidak bisa lagi dipersamakan dalam konteks equal treatment dengan pasal 273 ayat 2.
Lalu bagaimana seharusnya?
Harusnya KPU tidak menempatkan pasal 6 ayat (2), khususnya huruf (a), di muka sebelum KPU menurunkan variabel syarat huruf (a) hingga (i) dalam aturan yang sifatnya teknis. Dia harus punya terjemahannya semua. 100 persen berapa, 75 persen berapa, bahkan di kabupaten/kota 50 persen kecamatan itu angkanya berapa, 1/1000 berapa, dan seterusnya. []
[1] Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu. (Sumber: Draf UU Pemilu Pascaparipurna)
[2] Partai politik peserta pemilu merupakan: a. Partai Politik yang telah ditetapkan oleh KPU sebagai Peserta Pemilu tahun 2014; dan Partai Politik yang mendaftar dan telah memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai Peserta Pemilu oleh KPU. (Sumber: Draf PKPU Verifikasi Partai)