November 27, 2024

Jumlah Perempuan Dewan Indonesia di Bawah Rataan Dunia

Di Hari Demokrasi Internasional (15/9), United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women mengumumkan rata-rata keterwakilan perempuan di parlemen adalah 22,8 persen. Angka yang belum baik karena keterwakilan perempun minimal untuk bisa berdaya mempengaruhi kebijakan adalah 30 persen. Tapi angka rataan keterwakilan perempuan itu masih lebih baik dibanding Indonesia. Hingga pemilu pasca-Reformasi diselenggarakan empat kali, timpang gender politik Indonesia digambarkan salah satunya dengan persentase perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang belum 20 persen.

Rataan 22,8 persen perempuaan dewan dunia merupakan angka yang direkap pada Juni 2016. Angka ini meningkat perlahan sejak 1995 yang memulai di angka 11,3 persen.

Rwanda menjadi salah satu penyumbang kenaikan. Negara Afrika ini memiliki perempuan dewan terbanyak di seluruh dunia. Ada 63,8 persen perempuan dewan di majelis rendah Rwanda.

Secara global, ada 38 negara yang perempuan dewannya berjumlah kurang dari 10 persen parlemen.  Keadaan ini sudah mempertimbangkan penataan satu kamar (unicameral) atau dua kamar (bicameral) yang direkap sampai Juni 2016.

Secara wilayah, Inter-Parliamentary Union sudah merekap keterwakilan perempan di parlemen per Juni 2017. Wilayah Nordik ada di angka 41,7 persen; Amerika, 28,1 persen; Eropa termasuk negara-negara Nordik, 26,5 persen; Eropa tidak termasuk negara-negara Nordik, 25,3 persen; Sub-Sahara Afrika, 23,6 persen; Asia, 19,4 persen; Negara-negara Arab, 17,4 persen; dan Pasifik, 17,4 persen.

Timpang gender politik Indonesia

Angka-angka itu menunjukan Indonesia tak lebih baik. Jika dibandingkan jumlah perempuan di DPR Indonesia dengan rataan wilayah itu, Indonesia di bawah semua wilayah. Hasil Pemilu DPR 2014 hanya memilih 17,32 persen perempuan masuk DPR. Indonesia jauh dari di bawah wilayah Nordik, Eropa, dan Afrika. Bahkan Indonesia lebih rendah dari wilayah yang tak lebih demokratis seperti Arab.

Hingga empat kali penyelenggaraan pemilu pasca-Reformasi, persentase perempuan tertinggi masuk DPR hanya di angka 18,2 persen, yaitu pada Pemilu 2009. Perempuan dewan di DPR hasil Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014 berturut turut adalah 9 persen, 12 persen, 18,2 persen, dan 17,32 persen.

“Tidak bisa dipungkiri, posisi Indonesia memang tidak menggembirakan. Padahal di pemilu  sebelumnya sempat ada tren meningkat,” kata pegiat Koalisi Perempuan Indonesia, Dewi Komalasari (19/9).

Sedangkan perempuan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hasil Pemilu 2004, 2009, dan 2014 berturut-turut adalah  19,8 persen, 28,8 persen, dan 25,8 persen. Keterwakilan perempuan di DPD relatif lebih tinggi dibanding di DPR. Tapi, sayangnya dengan kewenangan DPD yang lemah dalam menghasilkan undang-undang, jumlah perempuan di DPD yang hampir 30 persen tak juga menghasilkan kebijakan yang memperdayakan perempuan sebagai salah satu tujuan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen.

Verdhi Adhanta pada Jurnal Perempuan 46 melaporkan telaah referensi gender dan politik (Community Agency of Social Enquiry, Debbie Budlender). Disimpulkan, eksistensi perempuan di politik memang signifikan menghasilkan kebijakan sensitif gender. 1984, Australia jadi negara pertama yang menerapkan audit gender anggaran nasional. 1997-2000, di Kanada, Bangladesh, Brasil, dan Vietnam, organisasi perempuan yang terhubung ke partai politik bisa mendorong aturan dan anggaran sensitif gender.

Belakangan, di India, jumlah proyek air minum di daerah 62 persen lebih tinggi diterapkan oleh perempuan dewan dibanding lelaki dewan (Chattopadhyay and Duflo, 2004, hal. 1409–1443). Di Norwegia, ada hubungan kausal langsung antara kehadiran perempuan dewan kotamadya dengan kebijakan penitipan anak (Bratton and Ray, 2002, hal. 428–437).

“Jika komparasinya berdasar jumlah dan dampak, tidak bisa apple to apple. Karena ada beberapa hal seperti sistem politik, sosial, dan budaya yang berbeda di tiap negara. Bicara afirmasi, taka da resep yang berlaku umum dan menghasilkan dampak yang sama,” tambah Dewi menjelaskan.

DPR di Indonesia pada 2004-2009 tak sampai 10 persen punya perempuan dewan. Tapi, periode pemerintahan kedua pasca-Reformasi ini malah melahirkan regulasi bersemangat kesetaraan gender. Di antaranya adalah undang-undang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), undang-undang antiperdagangan orang, dan undang-undang tentang kewarganegaraan.

Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menjelaskan, pemilihan variabel sistem pemilu jadi hal yang signifikan dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Tapi yang perlu juga diingat, tujuan peningkatan keterwakilan pun menyertakan agenda di parlemen untuk bisa menghasilkan kebijakan berkesetaraan gender untuk kehidupan negara yang lebih adil.

Di keadaan undang-undang pemilu yang sama dengan pemilu sebelumnya dan belum kondusif untuk peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen, Titi memberikan sejumlah rekomendasi. Di antaranya, perempuan antar pemangku kepentingan di pemilu harus solid terhubung dengan memahami aturan main dan prospek keterpilihan di daerah pemilihan. []

USEP HASAN SADIKIN