August 8, 2024

Ratna Dewi Pettalolo: Sipol Mesti Penuhi Asas Legalitas dan Asas Perlindungan Hak Konstitusional

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengkritik penggunaan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dijadikan sebagai syarat wajib bagi partai politik untuk melakukan pendaftaran calon peserta pemilu. Ratna Dewi Pettalolo, mantan Ketua Bawaslu Sulawesi Tengah yang kini menjadi Anggota Bawaslu RI, menjelaskan beberapa pertimbangan yang semestinya dipenuhi oleh KPU saat memutuskan mewajibkan Sipol pada tahap pendaftaran partai politik peserta Pemilu 2019.

Simak wawancara rumahpemilu.org dengan Ratna.

Bawaslu mengkritik Sipol karena Sipol dijadikan sebagai syarat wajib. Apa sebenarnya pemahaman Bawaslu mengenai pendaftaran partai politik peserta pemilu di dalam Undang-Undang (UU) No.7/2017?

Di dalam UU dinyatakan bahwa pendaftaran partai politik ditandatangani oleh ketua umum atau sekretaris jenderal (sekjen). Kemudian, disebutkan bahwa pendaftaran disertai dengan dokumen persyaratan. Dokumen persyaratan itu yakni, tercatat sebagai partai politik berbadan hukum di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), memiliki kepengurusan dari tingkat pusat sampai tingkat kecamatan, memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai tingkat pusat, memiliki kantor sekretariat partai, dan menyerahkan identitas partai politik berupa lambang, nama, dan sebagainya. Dokumen-dokumen tersebut diserahkan secara fisik kepada KPU dan akan dibuktikan kebenarannya. Jadi, ada dua hal untuk bisa melakukan pendaftaran.

Nah, kami memahami bahwa dokumen itu sifatnya kumulatif, bukan alternatif. Partai harus memenuhi seluruh syarat, mulai dari syarat pertama sampai syarat ke-delapan. Jadi, ketika satu syarat saja tidak ada, maka pendaftarannya tidak bisa diterima.

Kemudian, ada syarat waktu pemasukan berkas. Ini menjadi wewenang KPU untuk mengaturnya. Jadi ada range waktu yang diatur karena memang pemilu ini terbatas waktu.

Lalu, apa masalahnya pendaftaran partai politik calon peserta pemilu melalui mekanisme Sipol?

Ada pengaturan di dalam Peraturan KPU (PKPU) No.11/2017. Pasal 1 angka 30 menyebutkan bahwa Sipol adalah seperangkat sistem dan teknologi untuk mendukung kerja partai dan penyelenggara pemilu dalam proses pendaftaran, penelitian, dan verifikasi partai politik. Di sini sudah disebut secara tegas bahwa Sipol untuk mendukung kerja. Jadi, menurut pemahaman Bawaslu, Sipol untuk mendukung kerja-kerja kelembagaan KPU.

Akan tetapi, di Pasal 13 ayat 1, muncul kata wajib sebelum mendaftar. Ada mekanisme yang diatur oleh KPU untuk situasi sebelum kegiatan di Pasal 176 UU No.7/2017, yaitu kewajiban bagi partai untuk memasukkan data ke Sipol sebelum melakukan pendaftaran. Jika ini tidak dilakukan, maka akan dikenakan Pasal 13 ayat 5 PKPU No.11/2017, yakni tidak diterima pendaftarannya. Jadi, di PKPU itu, Sipol yang tadinya supporting, kemudian menjadi wajib, harus digunakan.

Jadi, yang bermasalah dari Sipol adalah ketika sistem itu dijadikan syarat wajib?

Sipol disebutkan oleh KPU ditujukan untuk menjamin kerja-kerja KPU. Tapi pertanyaannya adalah, apakah memang pengaturan Sipol di PKPU merupakan perintah dari UU? Karena, penggunaan Sipol ini berbeda dengan pengaturan tentang pemutakhiran data pemilih. Kalau data pemilih, di UU No. 7/2017 secara tegas disebutkan bahwa daftar pemilih akan menggunakan Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih). Kalau Sipol tidak ada.

Bagaimana seharusnya Sipol dimanfaatkan menurut Bawaslu?

Jika Sipol digunakan, ada hal yang perlu diperjelas, yaitu apakah Sipol merupakan prosedur ketatanegaraan yang wajib dan tidak boleh tidak, atau hanya sekadar prosedur administrasi, atau bahkan supporting procedure? Kemudian, jika Sipol adalah prosedur pendaftaran yang bersifat terhubung, apakah dia bisa dijadikan sebagai syarat wajib?

Berangkat dari dua pertanyaan itu, kami mencoba melakukan beberapa analisis. Pertama, kalau kita bicara prosedur, ada dua aspek utama yang harus kita lihat: apakah prosedur itu bertumpu pada asas negara hukum dan asas perlindungan hak konstitusional?

Bicara asas negara hukum, itu adalah asas legalitas. Nah, asas legalitas bertumpu pada UU yang menetapkan konsep-konsep umum tentang legalitas tadi dalam melakukan aktivitas, atau bisa juga UU sebagai dasar hukum yang memberikan kewenangan.

Kemudian asas perlindungan hak konstitusional, ada prinsip dasar yang harus dipegang oleh penyelenggara pemilu. Pertama, setiap orang harus dimudahkan dalam mendapatkan hak konstitusionalnya karena ini adalah bagian dari HAM yang dijamin oleh UU Dasar (UUD) 1945. Asas ini juga berkaitan dengan pelayanan publik.

Jadi, jika Sipol memberikan jaminan pada dua asas tadi, saya kira kita tidak perlu lagi memperdebatkan soal keberadaan Sipol.

Lalu, apa yang akan dilakukan oleh Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu yang sekarang telah memiliki kewenangan besar untuk melakukan penindakan hukum kepemiluan?

Sebagai lembaga pengawas dan penyelenggara hukum, kaki kami harus berdiri pada norma-norma yang ada di dalam peraturan perundang-undangan. Apa yang akan kami lakukan selanjutnya, akan saya sampaikan pada kesempatan lain. Tapi yang jelas, pandangan kami terhadap Sipol bersandar pada asas legalitas dan asas perlindungan hak konstitusional. Kami bertugas untuk mengawasi apakah hak-hak calon peserta pemilu sudah terpenuhi dengan digunakannya Sipol yang dijadikan sebagai syarat wajib tadi.

Pada prinsipnya, kalau Sipol memberikan jaminan terhadap asas legalitas dan asas perlindungan hak konstitusional, tentu berarti sistem itu berjalan sesuai dengan prinsip negara hukum.