December 25, 2024

Titi Anggraini: Tak Ada Welfare State Tanpa Kesetaraan Politik bagi Perempuan

Mewujudkan welfare state atau negara sejahtera merupakan impian semua masyarakat di dalam sebuah negara dan (mungkin) semua penyelenggara negara. Namun, untuk dapat dikatakan sebagai negara sejahtera, sebuah negara mesti menegakkan lima pilar, yakni demokrasi, penegakan hukum, perlindungan atas hak asasi manusia (HAM), keadilan sosial, dan anti diskriminasi. Tanpa akumulasi lima pilar, tak ada negara sejahtera.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, memberikan fokus pada peran perempuan di dalam lima pilar negara sejahtera. Menurutnya, perempuan Indonesia masih mengalami berbagai tantangan dan hambatan. Dua di antaranya yakni, tindakan afirmasi yang setengah-setengah di dalam regulasi, dan persepsi mayoritas yang masih belum mempercayai kepemimpinan perempuan.

Simak selengkapnya penjelasan Titi dalam format wawancara.

Salah satu dari lima pilar negara sejahtera adalah demokrasi. Bagaimana pandangan Mbak atas peranan perempuan di dalamnya?

Menurut International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), demokrasi terdiri dari dua, yaitu popular control atau kontrol masyarakat dan political equality atau kesetaraan politik. Nah, kedua hal ini masih menjadi masalah besar perempuan. Kemampuan perempuan dalam mengawasi pemerintahan cenderung tidak berjalan maksimal. Belum banyak perempuan yang mampu mengartikulasi politik. Nah, kemajuan perempuan untuk hal itu dihambat dengan belum terciptanya kesetaraan politik

Poinnya, perempuan di dalam demokrasi masih tertinggal. Instrumen demokrasi kan bukan hanya hadir di TPS (Tempat Pemungutan Suara) dan boleh memilih. Perempuan harus didorong untuk ikut terlibat dalam tata kelola pemerintahan dan penindakan partisipatif.

Apa yang membuat perempuan masih tertinggal? Apa sebenarnya hambatan yang dialami oleh perempuan?

Kalau kita evaluasi dua elemen demokrasi yang saya sebutkan tadi, ada dua hal yang menjadi ancaman besar bagi perempuan. Pertama, negara bahkan juga konstruk sosial masih meminggirkan posisi perempuan di dalam politik. Kedua, keterwakilan perempuan di pemerintahan masih kurang. Itulah kenapa tindakan afirmasi sementara dibutuhkan.

Sayangnya, tindakan afirmasi untuk perempuan di republik ini masih setengah hati. Political will dari para aktor politik kita, untuk mendorong keterlibatan perempuan di dalam politik pun, masih kurang. Buktinya, di dalam kerangka hukum kita, 30 persen keterwakilan perempuan masih disertai dengan kata “memperhatikan”di tingkah provinsi dan kabupaten/kota, belum mandatory.

Nah, hal itu menyebabkan kaderisasi perempuan politik tidak berjalan. Dampaknya, perempuan ditempatkan di daftar calon, namun tidak mendapatkan dukungan pemenangan dari partai. Partai asal comot untuk memenuhi syarat keterwakilan di tingkat pusat, akibat afirmasi yang terputus.

Tadi Mbak mengatakan konstruk sosial kita masih meminggirkan posisi perempuan di dalam politik. Bisa dijelaskan lebih lanjut?

Ada satu riset yang dilakukan oleh COMELEC (Commission of Election), semacam komisi pemilihan di  Fipilina. Di riset itu, pertanyaan pertamanya adalah apakah responden percaya bahwa perempuan boleh menduduki posisi jabatan publik? Hampir semua responden menjawab boleh. Tapi kemudian, ketika ditanya kenapa perempuan tidak terpilih di pemilu, jawaban responden yang perempuan, yang jadi sorotan adalah karena perempuan masih belum punya kepercayaan diri, kemampuan, dan kepemimpinan yang baik untuk duduk di posisi-posisi itu. Jadi, ini soal persepsi. Persepsi pemilih kita.

Ketika perempuan tidak memilih perempuan, ada kontribusi sosial di situ, relasi kuasa, juga konstruk sosial. Kompleks sekali. Makanya, harus ada afirmasi politik sementara terhadap perempuan yang tidak setengah-setengah. Afirmasi tidak dibutuhkan lagi kalau struktur politik, sosial, dan regulasi kita sudah setara dalam memandang keterlibatan perempuan di dalam politik.

Di dalam kondisi afirmasi setengah hati dari pemerintah dan persepsi masyarakat yang belum ramah terhadap kepemimpinan perempuan, apa yang bisa dilakukan perempuan untuk berkontribusi mewujudkan negara sejahtera? Khususnya dalam pilar demokrasi.

Negara sejahtera hanya bisa terwujud kalau tidak ada kelompok yang terpinggirkan atau diintimidasi. Negara baru akan sejahtera kalau demokrasi dijalankan dengan semua tata nilainya.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh perempuan saat ini. Di antaranya, perempuan bisa berperan memerangi politik uang, politik suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), dan menyuarakan pemilu damai. Yang paling mudah, perempuan harus memilah informasi agar tidak terjebak pada permainan kampanye hitam atau kampanye busuk.

Selain itu, ini penting sekali untuk penguatan peran perempuan di dalam demokrasi. Perempuan harus ambil bagian dalam aktivitas pengawasan pemilu, dan memulai untuk citizen journalism atau jurnalisme warga sipil.

Perempuan harus membuktikan bahwa perempuan dapat berkontribusi besar mewujudkan pemilu yang lebih adil, lebih bersih, lebih demokratis, dan lebih berintegritas. Untuk pengawasan pemilu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah menyiapkan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum ramah perempuan melalui kanal pelaporan khusus perempuan.

Ada pesan kepada para aktor politik?

Aktor politik mesti mereformasi regulasi. Pertama, wajibkan agar terdapat 30 persen keterwakilan perempuan di dalam penyelenggara pemilu. Kedua, 30 persen keterwakilan perempuan di kepengurusan partai politik harus sampai dengan kabupaten/kota. Ketiga, adopsi pencalonan ramah perempuan yang telah ditetapkan di Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No.7/2013. Keempat, alokasikan bantuan subsidi untuk kaderisasi dan rekrutmen perempuan. Terakhir, bangun kampanye murah ramah perempuan dengan cara membatasi belanja kampanye dan transaksi tunai.

Ini kerja semua pihak agar perempuan, yang secara jumlah dominan, dapat berkontribusi maksimal dalam membangun negara sejahtera. Prinsipnya, tak ada negara sejahtera jika perempuannya masih termarjinalkan.