November 15, 2024

Darurat Integritas Peserta dan Penyelenggara Pilkada

Integritas penyelenggaraan Pilkada 2018 berkeadaan darurat. Pilkada 2018 lebih buruk dibanding pilkada sebelumnya tak hanya karena lebih banyak penangkapan peserta pilkada yang korup tapi juga karena adanya kasus suap dalam keanggotaan penyelenggara pemilu.  Regulasi pemilu dan kelembagaan KPU harus dibenahi untuk mengembalikan integritas pemilu Indonesia.

“Yang kami sayangkan di darurat integritas pilkada ini penyelesaian dari elite politik malah mau mengubah pilkada langsung menjadi pemilihan melalui DPRD. Ini cara berpikir keledai. 2014 mereka sudah salah ingin pilkada dari DPRD sekarang mau dilakukan lagi,” kata penelti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil dalam konferensi persi di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta (2/3).

Fadli mengingatkan, salah satu alasan kenapa adanya pilkada langsung yang didukung publik justru karena korupsi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan fraksi partai politik. Mengembalikan pilkada ke DPRD berarti menyerahkan kasus korupsi pada lembaga korup dan pihak yang paling tak dipercayai publik.

Lebih jauh Fadli menjelaskan, Pilkada 2018 bisa makin darurat. Pihak yang paling banyak ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah kepala daerah dan banyak kepala daerah yang mencalonkan lagi di Pilkada 2018.

Berdasarkan riset Perludem, ada 214 petahana kepala daerah yang mencalonkan lagi di Pilkada 2018. Posisinya ada yang sebagai gubernur, wakil gubernur, walikota, wakil walikota, bupati, dan wakil bupati. Semuanya ada yang mencalonkan bersama atau tetap kongsi atau juga yang maju pecah kongsi.

“Ternyata kewenangan kepala daerah yang mencalonkan lagi di pilkada memang digunakan untuk untuk pemenangan pemilu,” kata Fadli.

Momentum berbenah

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara pemilu berstruktur nasional, tetap, dan mandiri harus menjadikan keadaan darurat ini sebagai momentum berbenah. KPU dan Bawaslu tak berhenti dengan sikap pemberhentian dan dukungan penegakan hukum melainkan pembenahan menyeluruh.

“Dalam tubuh penyelenggara harus dilakukan pembenahan dan evaluasi bagaimana koordinasi dari pusat hingga kabupaten/kota,” kata Peneliti Konstitusi Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Adeline Syahda.

Pembenahan lain bisa dengan mengoptimalkan seleksi anggota KPU dan Bawaslu. Kedua penyelenggara pemilu ini harus lebih transparan dan akuntabel dan menghubungkan dengan masyarakat segala perkembangan proses seleksi anggota penyelenggara provinsi dan kabupaten/kota.

Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Faris mengatakan, biaya pilkada mahal karena adanya syarat ambang batas pencalonan kepala daerah berdasarkan 20% dukungan kursi partai politik dari total kursi DPRD.  Sehingga, permasalahan utama korupsi politik bukan karena pilkada langsung.

“Sepanjang partai politik tak bisa dibenahi, maka sepanjang itu korupsi kepala daerah tak bisa dicegah,” kata Donal.

Memperbaiki partai politik dalam regulasi pilkada salah satunya dengan menghapus ambang batas pencalonan pilkada. Seharusnya, semua partai politik bisa mengusung pasangan calon dan pencalonan jalur perseorangan dipermudah.

Berbaikan lainnya dengan menghukum partai politik jika kadernya saat menjabat kepalada daerah atau saat yang mencalonkan melakukan korupsi, maka partai politik dihukum tak bisa mengusung pasangan calon di pilkada berikutnya. Selama ini partia politik tak dihukum sehingga seolah-olah hanya masalah personal politisi dan tak sistemik. []

USEP HASAN SADIKIN