Rancangan undang-undang pilkada merupakan bakal kebijakan penting yang menentukan efektifitas pemerintahan. Efektivitas ini tak hanya terkait untuk pemerintahan daerah melainkan juga pemerintahan nasional. Efektivitas kerja eksekutif daerah melalui pemilihan langsung diharapkan ditambah dengan mengintegrasikan pemerintahan nasional dan daerah melalui penjadwalan yang serentak.
Untuk mengetahui terpenuhinya harapan itu, Rumahpemilu.org mewawancarai ketua panita kerja RUU Pilkada, Abdul Hakam Naja. Berikut hasil wawancara anggota DPR RI fraksi PAN, Komisi II ini melalui telepon (29/8).
Bagaimana perkembangan RUU Pilkada?
Insya-Allah akan ada pertemuan yang diharapkan merupakan pertemuan terakhir. Rapat sudah berlangsung panjang. Kita membuat sudah lebih dari dua tahun. Tinggal pengambilan putusan. Diperkirakan pekan depan.
Soal cara pemilihan langsung sudah bisa dipastikan?
Betul, sebelumnya ada usulan pemilihan melalui DPRD. Itu yang menyisakan. Tapi belakangan pemerintahan, dalam hal ini Kemendagri sudah mau menerima pilkada langsung. Pemerintah mau menerima jika nanti mayoritas fraksi menginginkan pilkada langsung.
Pemerintah mau menerima pemilihan pasangan kepala daerah satu paket secara langsung?
Ya. Posisi pemerintah belum menerima pasangan calon kepala daerah satu paket. Kemendagri menginginkan wakil ditentukan kepala daerah terpilih.
Bagaimana dengan penjadwalan pilkada serentak?
Pilkada serentak sudah disimulasi. Pilkada ada dua opsi. Serentak betul-betul pada hari yang sama. Atau serentak pada waktu yang berdekatan. Atau tahun yang sama.
Kenapa perbedaan opsi ada, salah satunya karena terkait sengketa. Kalau ada 200 pilkada, sengketa bisa terjadi di 200 pilkada. Bentuk sengketanya juga beragam. Kita merujuk di 2013 ada lebih dari 300 sengketa. Itu akan menjadi pertimbangan penjadwalan pilkada.
Untuk topik-topik pembahasan lain bagaimana?
Topik-topik sudah disepakati. Cara pemilihan, langsung atau melalui DPRD. Paket pejabat eksekutif yang dipilih, jika dipilih langsung. Lalu soal jadwal keserentakan. Anggaran juga, mau melalui APBN atau APBD. Ada sengketa pilkada. Bahkan sengketa pilkada nanti problem teknisnya lebih banyak. Kemudian tentang tugas-tugas wakil kepala daerah itu nanti akan diserahkan ke Undang-Undang Pemda.
MK tak lagi menangani sengketa pilkada. Bagaimana RUU Pilkada menampung masalah sengket pilkada?
Setelah MK memutuskan sengketa pilkada tak berada di tangan MK, Ketua MA menyatakan, MA sedang berkonsentrasi memperbaiki integritas lembaga. Di lain hal MA dihadapkan pada tumpukan perkara yang masih puluhan ribu jumlahnya. Maka tampaknya pilihannya mesti di peradilan ad hoc pemilu.
Peradilan ad hoc tersebut, adalah gabungan antara hakim MA dengan hakim ad hoc. Para ahli dan praktisi yang berkompetensi dalam hal kepemiluan dapat menjadi hakim ad hoc dalam peradilan itu. Peradilan tersebut tetap melibatkan MA, sebab sistem pengadilan harus tetap berada di bawah MA.
Bisa juga diselesaikan di lembaga khusus. Tapi ada catatannya, penyelesaian sengketa pilkada yang tak lagi ditangani MK hadirkan kebutuhan lembaga yang menanganinya bisa satu kelas dengan MK. Lembaga tersebut perlu dinilai kelayakannya layaknya MK sehingga proses dan hasilnya mendekati kepuasan pihak bersengketa.
Optimis, September bisa selesai?
Ya. Karena tinggal putusan. Hampir tidak ada pembahasan. Dalam konteks ini, jika putusan tak ditemukan atau tak disepakati, maka voting. Jadi, pertemuannya hanya sekali. Kita sudah jadwalkan kemarin bersama Kemendagri untuk mengadakannya pekan depan. Kemendagri masih keberatan, mintanya hanya khusus di wakilnya.
Harapan?
Saya berharap pilkada yang disahkan nanti bisa mendorong partisipasi rakyat untuk memilih lebih luas. Biaya yang dikeluarkan juga lebih efisien. Dihadapkan pilkada langsung serentak ini bisa menjadi satu model pilkada yang bagus di antara negara-negara demokrasi di dunia. []