August 8, 2024

Ad Hoc-sisasi KPU Daerah Jangan Jadi Gada Wesi Kuning

Alkisah di zaman kerajaan Majapahit, Damar Wulan mendapat tugas mengalahkan Prabu Minak Djingga. Setelah melakukan duel maut, Damar Wulan tersungkur. Beruntung ketampanannya mendatangkan simpati dari Wahita dan Puyengan, selir musuhnya. Dengan berbagai kepiawaiannya, kedua wanita cantik itu berhasil menolong Damar Wulan yang sekarat.

Selanjutnya, rahasia besar Prabu Minak Djingga dibocorkan oleh kedua selir itu. Gada Wesi Kuning adalah senjata andalan sekaligus pusaka yang bisa membunuh Minak Djingga. Saat Minak Djingga merayakan kemenangannya dengan berpesta-pora dan tertidur karena kebanyakan makan dan minum, Gada Wesi Kuning berpindah tangan. Damar Wulan lalu menghantamkan senjata andalan musuhnya itu ke kepala Minak Djingga sehingga hidupnya yang dulunya permanen menjadi ad hoc.

Ilustrasi kisah dongeng di atas dapat dimaknai secara filosofis bahwa senjata andalan bisa jadi senjata makan tuan. Maksud hati ingin memperkuat justru melemahkan. Ini menjadi pesan yang perlu digarisbawahi oleh penulis sekaligus menjadi bahan perenungan bagi Komisi II DPR yang tengah membahas RUU Penyelenggara Pemilu.

Wacana untuk mengubah status KPU daerah dari lembaga yang tetap/permanen menjadi ad hoc tentu saja akan menghemat uang negara sekaligus akan memenuhi alasan efisiensi. Tetapi dari faktor-faktor yang lain, tentu saja alasan efisiensi itu perlu dipertimbangkan lagi.

KPU Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2014 yang lalu telah menunjukkan grafik yang cukup menggembirakan dari segi kualitas pelaksanaannya. Jika dalam Pemilu 2004, Pemilu dapat terlaksana dengan catatan di sana-sini, pada saat pelaksanaan Pemilu terakhir 2014, catatan-catatan tersebut berkurang sangat signifikan.

Penulis yang menjadi salah satu penyelenggara Pemilu di daerah, tentunya memiliki cukup pengalaman pada saat pelaksanaan Pemilu. Terlebih Provinsi Lampung menjadi satu-satunya Provinsi yang pernah melaksanakan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Gubernur secara serentak pada tahun 2014. Luar biasa beban yang harus dijalankan oleh KPU se-Lampung pada saat pelaksanaan Pileg dan Pilgub serentak. Pada Pemilu 2019, beban yang sama akan terulang lagi karena Pileg dan Pilpres serentak.

Catatan bagi penyelenggara ad hoc

Mencermati pelaksanaan Pilpres 2014, terjadi pergeseran masalah yang dipersoalkan. Jika sebelumnya peserta Pemilu hanya mempersoalkan data substansi yang tertuang dalam formulir lampiran C1 yang memuat perolehan suara peserta Pemilu saja, tetapi pada Pilpres 2014 lalu yang dipersoalkan justru data administrasi yang tertuang dalam formulir C1.

Padahal, harus diakui bahwa sejak pelaksanaan Pemilu 2004 hingga Pemilu terakhir tahun 2014, kesalahan penulisan administrasi dalam formulir C1 yang meliputi jumlah Pemilih di TPS, jumlah surat suara terpakai dan jumlah suara sah dan tidak sah itu, masih saja terjadi. Faktornya berada pada penyelenggara ad hoc, KPPS.

Proses rekapitulasi berjenjang yang dilakukan saat Pemilu 2014 mulai dari PPS hingga PPK, ternyata juga tidak mampu memperbaiki kesalahan administrasi tersebut. Faktornya berada pada SDM penyelenggara ad hoc yang sulit untuk dikoordinasi secara maksimal oleh KPU Kabupaten/Kota.

Rumus baku bahwa data pemilih yang memilih di TPS harus sama dengan suara sah ditambah suara tidak sah dan harus sama dengan surat suara terpakai (jika tidak ada surat suara yang dikembalikan oleh pemilih karena rusak atau keliru dicoblos) – yang selalu ditekankan pada saat bimbingan teknis pengisian formulir C1 – tetap saja terjadi kekeliruan penulisan. Yang menjadi fokus penyelenggara di TPS hanya perolehan suara calon saja.

Di samping itu, karena statusnya yang ad hoc, PPK, PPS hingga KPPS, banyak sekali peserta Pemilu yang mendekati mereka untuk memperoleh dukungan suara. Perlu diketahui bahwa penyelenggara ad hoc tersebut biasanya terdiri dari tokoh masyarakat dan aktivis yang memiliki cukup pengaruh di masyarakat tempat ia berdomisili.

Bentuk pe-de-ka-te peserta Pemilu itu bervariasi, bisa dilakukan sebelum hari H, pada hari H dan setelah hari H. Bahkan dapat juga mereka disusupkan untuk menjadi penyelenggara ad hoc oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Menyusul kondisi tersebut, maka akan terjadi kesulitan yang luar biasa yang akan dialami oleh KPU RI dalam mengkoordinasikan pelaksanaan Pemilu terhadap penyelenggara Pemilu di daerah baik di Provinsi maupun di Kabupaten/Kota jika status kelembagaannya ad hoc. Alasan serupa mendorong Bawaslu RI untuk minta Panwaslu Kabupaten/Kota diubah statusnya menjadi permanen. Bisa dibayangkan jika Undang-Undang mengatur KPU daerah ad hoc, sengkarutnya pelaksanaan Pemilu 2019.

Alasan-alasan lain

Jika ditinjau dari tinjauan konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 22 E ayat (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selanjutnya diataur dalam ayat (5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Karena sifat kelembagaannya yang nasional dan tetap, maka KPU Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi memiliki kewenangan untuk menetapkan dan mengesahkan anggota DPRD Kabupaten/Kota dan anggota DPRD Provinsi. Sedangkan jika konsekuen melaksanakan asas-asas hukum administrasi negara dan hukum tata negara, maka lembaga ad hoc tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan keputusan strategis apalagi menetapkan dan mengesahkan lembaga legislatif dan eksekutif.

Selanjutnya fungsi dan peranan KPU daerah dalam melaksanakan pendidikan pemilih melalui Rumah Pintar Pemilu (RPP) juga harus dipertimbangkan karena terbukti selama ini efektif untuk mendorong partisipasi publik dalam Pemilu. Rumah Pintar Pemilu juga menyasar kelompok pra pemilih yang mengedukasi siswa-siswi dari tingkat dasar hingga SLTA untuk mengenal, tahu dan mau berpartisipasi dalam Pemilu.

Pernyataan yang disampaikan oleh anggota Komisi II DPR Lukman Edi bahwa 75 persen masyarakat menghendaki edukasi pemilu melalui lembaga Pendidikan karena, jika KPU yang edukasi, yang berkembang adalah pikiran bahwa (perilaku) partai tidak benar, partai tidak transparan, dan lain-lain (dimuat di rumahpemilu.org/id posted on 28/04/2017), perlu ditindaklanjuti dengan sidak Komisi II ke RPP KPU Kabupaten/Kota se-Indonesia karena pernyataan tersebut kurang tepat dan perlu didukung data lebih akurat.

Selanjutnya sejak tahun 2016, KPU RI melalui sistem informasi data pemilih (Sidalih) telah menginstruksikan kepada KPU Kabupaten/Kota untuk melakukan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan setiap semester. Data update pemilih hasil pemutakhiran berkelanjutan itu akan memperbaiki data Pemilu sebelumnya yang didigitalisasi dalam portal Sidalih KPU.

Belum lagi alasan distribusi logistik, arsip data Pemilu, proses pergantian antar waktu (PAW) anggota DPRD, serta kemandirian ASN yang berstatus pegawai organik pusat KPU. Semua itu menjadikan KPU daerah sangatlah penting dipertahankan sebagai lembaga yang permanen.

Konklusi

Penulis merasa terpanggil menulis opini ini karena khawatir status ad hoc KPU daerah akan menjadi Gada Wesi Kuning yang justru menjadi senjata makan tuan. Perubahan kelembagaan penyelenggara pemilu daerah ini akan membunuh kualitas demokrasi, akan membunuh kualitas Pemilu sekaligus akan membunuh politisi baik dan visioner dalam Pemilu 2019.

Status ad hoc KPU daerah pun jangan sampai justru dimanfaatkan oleh kekuatan modal untuk mengubah hasil Pemilu. Keadaan ini membuat parpol kehilangan kader terbaiknya yang tidak didukung oleh kekuatan modal besar.

Jika diibaratkan KPU daerah sebagai Gada Wesi Kuning milik Minak Djingga, biarkan ia terus membunuh perilaku jahat dalam demokrasi dan Pemilu. Biarkan ia membunuh perilaku menyimpang penyelenggara Pemilu sebagaimana yang terus dikoordinasikan oleh KPU, Bawaslu dan DKPP. Tabik!

FAUZI HERI

Ketua KPU Kota Bandar Lampung