Pakar pemilu International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Adhy Aman mengingatkan para pembuat kebijakan untuk tidak sembarang membandingkan Indonesia dengan negara lain yang tetap menyelenggarakan pemilu di masa pandemi. Setiap negara memiliki konteks yang berbeda. Simak pemaparan Adhy pada webkusi “Menakar Kesiapan Pilkada Desember 2020” (29/5) dalam bentuk wawancara.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian menggunakan pengalaman negara lain yang menyelenggarakan pemilu di masa pandemi sebagai preseden bagi Indonesia untuk melanjuntukan Pilkada Serentak 2020. Bagimana tanggapan Pak Adhy?
Membandingkan suatu negara dengan yang lain harus memahami bahwa konteks satu negara dengan negara lain beda. Tidak bisa diimpor begitu saja karena hasilnya bisa berbeda. Hanya, bukan tidak bermanfaat satu negara dengan lainnya bisa belajar.
Korsel (Korea Selatan) dijadikan contoh yang menjanjikan. Padahal, catatannya cukup banyak bagaimana mereka bisa berhasil. Salah satu kuncinya adalah pemungutan suara awal agar tidak numpuk. Ada dua hari pemilihan agar tersebar pemilihnya. Jadi, kalau mau bandingkan dengan Indonesia, apakah sudah ada kerangka hukumnya dan juga pengalamannya?
Kunci kedua, bisa dipatsikan TPS itu aman. Di Korsel, jumlah TPS-nya 134 ribuan. Jumlah ini seperti Pilkada 2020 ya, 150 ribuan. Tapi dari segi luas TPS, apakah ada lokasi sebanyak itu yang bisa menyediakan jarak yang sedemikian rupa?
Kunci ketiga, kode perilaku pemilih. Mongolia, tanggal 24 Juni akan ada pemilu. Mereka sudah sejak Maret mulai maju mundur (tetap melaksanakan pemilu atau menunda). Awalnya presidennya mengtatakan harus diundur karena pandemi dan menghemat dana. Walaupun itu bukan alasan yang sah secara hukum untuk menunda pemilu. Lalu perdana menterinya, dari partai lain, mengatakan jalan terus karena mereka menganggap itu akan menguntungkan mereka. Akhirnya jalan terus. Tapi KPUnya baru keluarkan dua prosedur, yaitu prosedur pencalonan dan untuk pemungutan suaranya. Itu juga baru keluar hari ini. Jadi, ada waktu kurang dari satu bulan untuk dipahami oleh masyarakat.
Kunci keempat, peralatan yang dibutuhkan di TPS bertambah. Mereka juga sudah ada penggunaan teknologi. Ada database pemilih. Pemilih bisa memilih dimana saja agar tidak berjalan jauh dari tempat tinggalnya. Itu supaya kontak pemilih dengan pemilih lain bisa diminimalisasi. Dan itu kerangka hukumnya sudah ada.
Jadi, tidak mudah meniru Korea.
Bapak memiliki pengalaman soal perbandingan pemilu di banyak negara. Apa yang dijadikan faktor oleh pembuat kebijakan di negara lain untuk menentukan lanjut atau tundanya pemilu di masa pandemi?
Ya, jadi sudah ada 62 negara yang menunda pemilunya. 20an negara lainnya tetap menyelenggarakan. India melakukan pemilihan loka tanggal 21 Mei lalu. Tapi, pemilihnya hanya 4 ribu orang.
Lalu Burundi, 20 Mei Pilpres. Tapi kalau lihat data kasu Covidnya, sangat rendah. Suriname, 25 Mei lalu menyelenggarakan pemilu. Jumlah pemilihnya 380 ribu, tidak sebesar kita. Kasus Covid juga rendah, 12 kasus.
Nah, kelihatan polanya. Negara-negara yang jalan terus, kebanyakan jumlah kasus Covidnya sangat rendah. Yang meaksanakan Mei, jumlah kasusnya rendah-rendah. Mongolia juga rendah. Mereka cepat sekali bertindak. Masyarakat juga nampaknya percaya bahwa pemilu dapat dilaksanakan secara sehat di bulan Juni.
Kalau yang menyelenggarakan bulan Maret, mungkin mereka sudah terlanjur. Queensland, mereka sudah terlanjur dengan pemilu di bulan Maret. Akibatnya, jumlah pemilih yang datang ke TPS jatuh. Korsel itu bisa dikatakan anomali. Karena, negara lain, jumlah pemilihnya turun, tapi dia malah naik.
Juga, lihat urgensinya. Korsel, pemilihan legislatif. Mereka membutuhkan stabilitas pemerintahan karena terjadi banyak konflik politik yang mereka harap bisa diselesaikan lewat pemilu. Itu pula makanya pemilih berbondong-bondong untuk keluar. Mungkin mereka yakin dengan jaminan kesehatan yang diberikan KPU.
Mendagri mengatakan di rapat dengar pendapat (RDP) kemarin (28/5), tidak ada negara yang menunda pemilunya ke 2021. Apakah benar?
Ada 4 negara yang menunda pemilunya langsung ke 202, yaitu Paraguay, Inggris, Australia, dan Kanada. Australia, pemilihan lokal, satu negara bagian, New South Wales. Inggris, pemilu lokal di beberapa tempat. Kanada, pemilu lokal di satu negara bagian. Paraguay yang pemilu nasional.
Jadi, mereka pemilu lokal yang kecil-kecil saja mereka tunda sedemikian lama, mereka lebih berhati-hati, dan mereka melihat tidak ada urgensinya.
Pak Adhy melihat Pilkada di Indonesia memiliki urgensi untuk tetap dilaksanakan di 2020?
Pak Dirjen Akmal Malik kemarin mengatakan agar tidak terlalu lama supir cadangan (penjabat semnetara), ini yang harus didikusikan. Apakah itu urgensi yang dapat diterima?
Kemarin kan pertimbangannya agar roda demokrasi terus berjalan. Itu pertimbangan yang baik sebetulnya. Tapi, apa ada rambu-rambu yang tidak bisa ditegakkan? Jumlah pemilih yg memilih itu sangat penting karena itu berbanding lurus dengan legitimasi.
Lalu, masalah keselamatan. Dalam demokrasi pun yang penting diperhatikan adalah keselamatan rakyat. Bagaimana mereka bisa berdaulat kalau mereka tidak selamat? Keselamatan rakyat itu agar rakyat bisa menjalankan kedaulatannya secara penuh. Itulah kenapa 62 negara memutuskan untuk mundur. Mereka juga merasa pemilihan yang mau dilaksanakan tidak terlalu urgent, atau secara konstitusi sudah ada jalan keluarnya.
Masalah urgensi, diperkirakan oleh Mendagri, ada 220 petahana, yang artinya dibutuhkan 220 penjabat semnetara. Dan jika Pilkada diundur ke 2021, ditakutkan penjabat semnetara menjabat terlalu lama. Bagaimana negara lain memandang hal ini?
Masalah penjabat sementar sudah jadi perhatian lama. Makanya, negara-negara parlemneter, ada pemerintah demisioner. Pemerintah tetap ada, tapi kekuasaannya dibatasi. Dan ada hal-hal tertentu yang harus dibahas bersama dengan oposisi.
Belgia, bukan sekali dua kali pemerintah demisoner menjabat lebih dari satu tahun. Sekjend kami mantan perdana menteri Belgia. Dia memegang rekor sebagai perdana menteri demisioner paling lama di Belgia. Kalau gak salah 1,5 tahun. Tapi pemerintahan tetap bisa berjalan karena sistemnya sudah ada.
Ada rekomendasi untuk penyelenggara pemilu dan pembuat keputusan di Indonesia?
Harus dihitung betul, apakah waktunya cukup untuk memastikan semua hal, protokol baru, untuk diterapkan. Mungkin sekarang masih ada waktu untuk hitung-hitung. Tapi kalau nanti dirasakan tidak cukup, pembuat keputusan tidak perlu ragu-ragu untuk meninjau kembali.
Ada sekitar 42 negara yang masih belum menentukan kapan pemilu dilanjutkan karena mereka masih menghitung-hitung, berapa banyak yang dibutuhkan untuk persiapan pemilu walau masih dalam pandemi. Negara-negara yang sudah memutuskan menyelenggarakan pemilu tahun depan, mereka secara gamblang menganggap, pokoknya sebanyak-banyaknya waktu persiapan. Inggris, New South Wales, mereka langsung saja tahun depan agar KPU jadi tahu, ada 13 bulan waktu persiapan.