August 8, 2024

Agil Oktarial: Usul GBHN Berbahaya bagi Sistem Presidensil Indonesia

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK), Agil Oktarial, dalam diskusi “Amandemen Konstitusi, Kepentingan Rakyat atau Berebut Kuasa?” di Gondangdia, Jakarta Pusat (14/8) mengemukakan penolakan PSHK terhadap wacana pengembalian Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) melalui amandemen terbatas konstitusi, dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara yang berwenang menetapkannya. Agil menjelaskan posisi GBHN dalam sejarah politik dan pemerintahan Indonesia, keberhasilan GBHN dalam pembangunan, dan irelevansi GBHN ditengah sistem politik Indonesia hari ini. Simak selengkapnya penjelasan Agil dalam bentuk wawancara.

GBHN dalam isi kepala beberapa politisi dianggap sebagai dokumen penting negara yang akan menjamin pembangunan berjalan secara keberlanjutan dan pembangunan daerah konsisten dengan arah kebijakan nasional. Bagaimana sebetulnya praktik penerapan GBHN dalam sejarah politik Indonesia? Apakah benar bahwa GBHN berhasil menopang keberhasilan pembangunan?

Riset yang kami lakukan menyatakan tidak benar kalau GBHN menjadi istrumen yang menyebabkan pembangunan negara berjalan secara keberlanjutan dari satu rezim ke rezim lainnya, dan dari satu daerah ke daerah lainnya. Kami lihat, selama Orde Lama dan Orde Baru, yang membuat pembangunan berlanjut adalah karena pemimpinnya. Di Orde Lama, pidato Soekarno dijadikan GBHN. Di Orde Baru, dari Pelita (Pembangunan Lima Tahun) satu sampai enam yang menyusun Presiden, bukan MPR. Itu (GBHN) instruksi presiden. Kemudian MPR hanya tinggal mengesahkan.

Selain itu, selama 32 tahun, kepemimpinan Soeharto tidak pernah berganti, makanya selaras dan ada kesinambungan antara pusat dan daerah. Jadi, pembangunan dari pusat itu dipaksakan ke daerah. Semuanya direncanakan oleh presiden. Perencananya satu. Kalau sekarag, ada RPJMN (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional) dan RPJMD (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah) sebagai konsekuensi dari pemilihan peesiden dan kepala daerah langsung.

Alasan lain, kenap pembangunan berlanjut, karena MPR dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dikuasai oleh Soeharto. Makanya, tidak ada yang bisa menggoyang. Jadi, GBHN itu seolah-olah berhasil.

GBHN dulu diterapkan pada kondisi presiden dipilih oleh MPR, dan MPR merupakan lembaga tertinggi negara. Sekarang, sistem berubah. Kita memilih presiden secara langsung, menganut sistem presidensialisme. Apa implikasi terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia jika GBHN kembali dihidupkan dengan MPR sebagai penyusun dan penetapnya?

Paling tidak, satu, menggeser pendulum ketatanegaaran kita, bisa jadi parlementer. Dalam sistem parlementer, presiden menerima mandat dari MPR. Ketika tidak melaksanakan GBHN dengan benar, maka akan di-impeachment oleh MPR. Nah, sekarang presidensialisme, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Presiden menerima mandat dari rakyat, bukan dari MPR. Jadi, tidak bisa MPR meng-impeach presiden.

Baik. Tadi kan dampak terhadap sistem ketatanegaraan kita. Lalu apa dampaknya bagi masyarakat?

Satu, akan tersumbatnya jalur aspirasi masyarakat kepada kepala negraa. Sekarang kita bisa bilang langsung ke presiden. Kebijakan presiden bisa digoyang oleh rakyat secara langsung. Tapi di sistem parlementer atau parlementer, rakyat hanya bisa mengkritik parlemen saja. Sementara, parlemen sendiri punya kepentingan, dan kita tahu partai politik kita di parlemen kualitasnya seperti apa.

Kedua, kalau ada GBHN, berarti ada dokumen perencanaan di pusat. Kita kan punya juga rencana pembangunan daerah yang disusun oleh Pemda (Pemerintah Daerah). Dengan itu, akan makin kacau rencana pembangunan kita.

Jadi, apa yang bisa dilakukan? Apakah wacana amandemen terbatas konstitusi untuk menghidupkan kembali GBHN harus ditolak ramai-ramai?

Bagi PSHK, sekarang bukan waktunya untuk merubah kontitusi, meksipun memang ada beberapa hal yang perlu diubah dari konstitusi, seperti wewenang DPD (Dewan Perwakilan Daerah), penguatan Komisi Yudisial, seleksi hakim konstitusi dan pejabat negara seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan lembaga lain. Karena, melihat kondisi politik sekarang, agenda-agenda politik yang dibawa partai politik dalam wacana amandemen UUD (Undang-Undang Dasar) terbatas hanya ada tiga. Satu, memasukkan GBHN. Dua, MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Tiga, memberikan kembali MPR wewenang untuk mengeluarkan ketetapan yang bersifat mengatur. Nah, ketetapan yang bersifat mengatur ini sebenarnya adalah pembungkus. Ini satu paket. Tidak bisa satu-satu dikeluarkan.

Kami juga melihat amandemen terbatas ini akan mengganggu fungsi legislasi DPR. PSHK kemarin memberikan catatan atas kinerja DPR. Ada 189 undang-undang atau rancangan undang-undang yang diusulkan, tapi hanya 22 yang disahkan. Itu rapor merah merah. Perlu diingat juga, pengusul undang-undang  setiap tahunnya, dari segi kuantitas, DPR mengusulkan 30 undang-undang rata-rata per tahun. Sementara presiden rata-rata 20. Tapi, yang lebih banyak disahkan adalah undang-undang yang diusul presiden. Jadi, DPR tidak bekerja dengan baik. Nah, kalau ditambah merubah konstitusi, akan membuat kebutuhan rakyat akan undang-undang semakin tidak dilihat.

Jika GBHN tidak ada, apakah ada cara agar MPR dapat terlibat dalam perencanaan pembangunan nasional?

16 Agustus adalah momentum. Ketika sidang paripurna dilakukan, presiden bisa menyampaikan visi misi kemudian rencana pembangunan selama lima tahun ke depan. Disanalah DPR bisa ikut mengesahkan. Artinya, ada suatu lembaga permusyawaratan yang ikut mengesahkan, meski sifatnya hanya mengesahkan saja. Karena sebetulnya MPR bukanlah lembaga negara tersendiri. Dia adalah forum dua lembaga bertemu, yaitu DPR dan DPD.

Wacana GBHN sebetulnya bukan wacana baru. Wacana ini sudah muncul sejak lama. Dari pengamatan PSHK, apakah ada langkah serius dari DPR dan MPR untuk mengembalikan GBHN selama ini?

Jika membuka lagi sejarah Indonesia untuk menghidupkan kembali GBHN, ada  Putusan MPR No.4/2014 tentang rekomendasi MPR untuk MPR periode 2004 dan 2009 kepada MPR 2014-2019. Salah satu poin kunci dari rekomendasi itu adalah bahwa MPR sekarang dimandatkan untuk mengusulkan beberapa hal, salah satunya menghidupkan kembali GBHN. Jadi, berdasarkan ketetapan ini, MPR kemudian membentuk badan pengkajian MPR untuk mengkaji problem-problem kenegaraan. Dipimpin oleh Bambang Sardono, Ketua DPD di MPR. Hasilnya, selama lima tahun lebih, ada tiga hal. Satu, menghidupkan kembali GBHN. Dua, mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Tiga, mengembalikan kembali wewenang MPR untuk mengatur. Muaranya, mengembalikan kembali pemilihan presiden kepada MPR.

Nah, dalam beberapa kurun waktu terakhir, program itu disosialisasikan ke masyarakat. Sosialiasi empat pilar itu sebetulnya sosialisasi menguatkan wewenang MPR dengan menghidupkan kembali GBHN, tidak ada sosialisasi empat pilarnya. Jadi, kalau ada lomba untuk mahasiswa, seperti legal drafting atau debat, temanya adalah memperkuat wewenang MPR dan menghidupkan kembali GBHN. Tapi, yang patut kita simpulkan adalah, selama sosialisasi itu dilakukan, tidak ada riak di masyarakat. Rakyat tidak mengamini itu. Jadi, keinginan untuk memperkuat MPR dan menghidupkan kembali GBHN adalah keinginan elit politik, bukan rakyat. Karena, meski mereka sosialisasi, rakyat tidak berteriak minta MPR diperkuat.

Dari pengamatan PSHK, apakah semua partai di parlemen setuju dengan wacana ini?

Ya, mungkin sekarang statement mereka di media berbeda. Kalau PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), tahun 2016, ketika Rakernas (Rapat Kerja Nasional) mengatakan bahwa menghidupkan kembali GBHN merupakan keputusan politik PDIP ketika itu. Kemarin disebut juga saat kongres di Bali. Tapi, kalau kita baca keputusan fraksi-fraksi di DPR ditambah DPD, dari sepuluhnya itu mereka sepakat adanya haluan negara. Hanya, modelnya berbeda, masih dibicarakan apakah itu GBHN atau yang lain. Meraka masih berdebat dengan apa yang disebut haluan negara itu sendiri. Mereka juga masih terbelah,  apakah GBHN punya konsekuensi atau tidak.  Jadi, perdebatannya hanya sampai sana.

Poin penting, kalau GBHN tidak ada konsekuensinya, maka tidak ada gunanya GBHN. Tapi kalau ada konsekuensi, sangat berbahaya karena sistem pemerintahan kita akan berbalik 180 derajat ke sistem parlementer.

Adakan pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat?

Ya, ketika kita ingin mengubah konstitusi, yang harus dilakukan adalah mendengarkan rakyat. Karena konstitusi itu perubahannya harus melibatkan rakyat, berdasarkan tuntutan masyarakat, bukan berdasarkan tuntutan elit politik. Jadi, masyarakat yang menentang wacana ini, semestinya bersuara.