Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung memaparkan perihal keputusan penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 dari 23 September menjadi 9 Desember 2020 yang diambil di rapat dengar pendapat (RDP) pada Selasa (14/4). Simak pemaparan Doli dalam diskusi “Pilkada 2020: Ditunda, Lalu Bagaimana?” (16/4) dalam bentuk wawancara.
Pak Doli, kenapa mesti 9 Desember 2020?
Kemarin rapat tanggal 14 April dibicarakan, kalau opsi A, kapan batas akhir tahap lanjutannya dan apakah dimungkinkan modifikasi-modifikasi jika situasi Covid-19 (Coronavirus disease 2019) masih belum selesai sesuai harapan kita. Nah, Mendagri (Menteri Dalam Negeri) menyampaikan situasi terakhir penanganan Covid. Banyak upaya yang sudah dilakukan Pemerintah. Pemerintah sudah dikeluarkan peraturan pemerintah berkaitan revisi keuangan untuk dialokasikan ke penanganan Covid, keppres (keputusan presiden) dua kali, peraturan menteri kesehatan, dan seterusnya. Akhirnya, Pemerintah memutuskan dimungkinkan pencoblosan menjadi tanggal 9 Desember 2020, sesuai dengan opsi pertama yang ditawarkan KPU (Komisi Pemilihan Umum) RI.
Yang kita pertimbangan juga soal dampak penundaan. Kalau Pilkadanya tahun depan, pertama, tahun depan itu, kalau pandemik sudah selesai, itu tahun untuk recovery ekonomi. Jadi, diperkirakan ekonomi sangat sulit tahun depan. Nah, kepala daerah ini juga sebenarnya mereka bertanya bagaimana nasib anggaran Pilkada yang sekarang ketika terjadi penundaan sampai enam bulan atau satu tahun dan lewat 2020? Karena dari hitungan mereka itu, kalau dana ini sekarang direalokasikan, mereka tidak bisa memastikan ada ketersediaan dana Pilkada untuk tahun depan.
Kedua, akan ada banyak sekali daerah yang dipimpin penjabat, yang di dalam peraturan perundang-undangan wewenangnya tidak sekuat yang definitif. Sementara situasi yang kita hadapi di daerah masing-masing ini tidak mudah. Perlu ada kewenangan yang cukup untuk bisa mengatasi itu.
Pada rapat itu KPU menjelaskan kemungkinan Pilkada Serentak 2020 dilanjutkan dengan opsi A?
Ya kami bertanya ke KPU. Mereka menjelaskan kalau kita memilih Desember, mereka meminta agar tahapan yang tertunda dilakukan di Juni atau Juli. Kami kemarin juga belum dapat detil, hanya sisa tahapan saja, mana tahapan-tahapan yang mereka sebut dengan zona merah, yaitu melibatkan banyak orang, mana yang zona kuning, dan zona hijau yang betul-betul aman dari resiko penularan Covid.
Komisi II memandang mungkin dilakukannya Pilkada lanjutan di bulan Juni atau Juli 2020?
Sebetulnya kami menginginkan agar zona-zona merah itu, kalau pandemi terus berlangsung, bisa dimodifikasi sehingga turun ke zona kuning atau zona hijau. Dan dengan pertimbangan tadi, KPU juga mengatakan mungkin diteruskan di bulan Juni. Maka kami sepakat untuk menyetujui apa yang disampaikan oleh Pemerintah bahwa pencoblosan Pilkada Serentak 2020 dilaksanakan di 9 Desember 2020. Dengan catatan, nanti pada bulan Juni, kami akan rapat kerja kembali bersama Pemerintah dan KPU untuk mengevaluasi situasi terakhir pandemik, juga kesiapan atau modifikasi yang sudah dilakukan KPU unttuk melanjutkan tahapan.
Jadi, kalau nanti pada rapat kami itu masa tanggap darurat sudah betul-betul berkahir, tidak diperpanjang, Covid mereda dan KPU sudah mempersiapkan segala sesuatunya, kita tidak perlu menunda lagi. Kita tetap medorong tahapan dimulai pada saat itu.
Skenario 9 Desember 2020 juga tidak memampatkan tahapan. Juni ke Desember itu justru lebih leluasa. Kalau kemarin, pelaksanaan September, tertunda Maret, hitungannya enam bulan
Dan juga, opsi 9 Desember akan membuat kita berpikir secara kreatif dan inovatif. Mungkin apa tidak kita lakukan dalam situasi seperti itu? Itu yang saya sampaikan ke KPU. KPU coba mencoba mencari alternatif-alternatif. Tahapan yang zona merah itu, mungkin tidak dimodifikasi sehiggga tidak langsung bersentuhan dengan masyarakat tetapi tidak mengurangi kualitas.
Kalau kita tidak ambil keputusan apapun, maka tunggu sampai 2022, pendekaan kita tidak darurat. Kita tidak menunjukkan kita punya gagasan-gagasan baru.
Penundaan Pilkada akan dilegitimasi oleh perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang)?
Ya, kami sudah menyepakati bahwa yang paling mungkin untuk mengakomodir perubahan ini bentuknya adalah perpu. Setahu saya juga sudah ada tim yang dibuat untuk menyusun perpu oleh Pemerintah.
Kemarin, KPU meminta kalau memang sudah diputuskan 9 Desember 2020, KPU meminta agar perpu paling lambat diterbitkan di akhir April, agar Mei sudah bisa menyusun PKPU (Peraturan KPU) yang disesuaikan dengan perpu yang akan diterbitkan.
Apa usulan Komisi II terhadap perpu?
Di dalam perpu itu harus mengatur hal-hal prinsip sampai hal tekis. Prinsipnya, soal kekuatan hukum. Perpu mesti mengatur satu institusi yang punya otoritas untuk menetapkan kapan atau siapa yang akan menyatakan penundaan dan melanjutkan tahapan. Karena memang di Pasal 121 dan 122 itu penundaan masih bersifat lokal. Kalau ada masalah di kabupaten, ditetapkan di daerah. Tidak ada penundaan di tingkat nasional.
Kami juga meminta kemarin ke KPU Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum), kalau memang tetap dilaksanakan di Juni dan Covid mulai menurun, ada penyesuaian-penyesuaian, dengan catatan tidak mengurangi kualitas tahapan itu. Termasuk kalau sudah mulai diperkenalkan, misal ada e-rekap, ini momentum bagaimana di perpu juga diatur payung hukumnya. Agar di PKPU bisa disesuaikan.
Bagaiamana usulan Komisi II terkait pengaturan waktu Pilkada di perpu?
Ini yang sulit. Kami menyetujui semuanya perlu ada kepastian, tapi memang agak susah karena mendefinisikan Covid selesai itu belum ada variabelnya. Apakah ketika semua daerah berkurang kasus Covid-nya? Apakah ketika kematian berkurang? Apakah ketika vaksin ditemukan? Penelitian di Amerika Serikat dan Cina, rata-rata vaksin bisa ditemukan 18 bulan. Nah kita kesusahan menentukan variabel-variabel itu. Kalau kita sudah menentukan, mungkin relatif lebih gampang.
Dengan kondisi yang sangat dinamis ini, kita harus punya skenario alternatif yang tidak boleh kita hilangkan satu pun karena perkembangan itu day to day. Maka itu, ketika KPU membuat tiga opsi, bahkan dulu ada opsi satu lagi, yaitu 23 Juni, semua opsi ini harus dilalui. Mulai dari yang 9 Desember itu. Sekarang opsi yang pesimis itu 29 September 2021.
Jadi, perpu tidak boleh rigid soal waktu Pilkada. Yang rigid itu tadi, siapa yang ditunjuk untuk menentukan penundaan dan lanjutannya. Kami usul ke Pemerintah, kita hilangkan bulannya, jadi tahun saja. Walaupun kami tetap ingin disebut tahun 2020 karena memang Pilkada ini Pilkada Serentak 2020. Kalau kita tuker jadi 2021, nanti persepsi baru muncul bahwa tahapan yang sudah kita lalui lima tahapan ini, kembali ke nol lagi.