Ambang Batas Parlemen Tinggi, Lebih Banyak Suara Rakyat Tak Terwakili

Penyederhanaan jumlah partai politik di parlemen dengan menaikkan ambang batas parlemen berisiko mengulang banyaknya suara rakyat yang hangus atau tak terwakili di parlemen seperti terjadi pada Pemilu 2019. Penyederhanaan jumlah partai dinilai lebih efektif ditempuh dengan memperkecil alokasi jumlah kursi anggota DPR di setiap daerah pemilihan.

Dalam diskusi bertajuk ”Ke mana Arah RUU Pemilu?” yang digelar secara virtual oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Minggu (7/6/2020), Deputi Direktur Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengingatkan kenaikan ambang batas parlemen menjadi 7 persen berpotensi membuat banyak suara pemilih hangus atau tidak terwakili di parlemen.

Selain Khoirunnisa, hadir pula sebagai narasumber dalam diskusi tersebut peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochammad Nurhasim dan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa.

Sebagai perbandingan, pada Pemilu 2019, ambang batas raihan suara partai politik untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR atau disebut ambang batas parlemen, sebesar 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional. Akibat dari aturan itu, ada tujuh parpol yang tak lolos. Padahal, total suara pemilih yang memilih ketujuh partai itu, berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, sekitar 13,5 juta suara. Belasan juta suara itu praktis hangus atau tak terwakili di parlemen.

Dengan demikian, Khoirunnisa melanjutkan, bisa dibayangkan akan lebih banyak suara berpotensi hangus jika kelak ambang batas parlemen disetujui naik jadi 7 persen.

Seperti diberitakan sebelumnya, kenaikan ambang batas parlemen menjadi 7 persen tercantum dalam draf Rancangan UU Pemilu yang disusun tenaga ahli Komisi II DPR dan Badan Keahlian DPR. Draf itu belum final karena belum melalui pembahasan lintas fraksi di DPR ataupun di internal anggota Komisi II.

Selain berpotensi membuat jutaan orang tak terwakili di DPR, ia melihat kenaikan ambang batas berpotensi bakal membuat parpol lebih fokus menjaring suara pemilih bagi parpol masing-masing. Adapun pemilihan presiden (pilpres) yang digelar serentak dengan pemilu legislatif (pileg) dinomorduakan oleh parpol.

”Padahal, tujuan menyerentakkan pilpres dan pileg ialah adanya keselarasan sehingga ada efek ekor jas dari keterpilihan presiden dengan calon anggota legislatif,” katanya.

Alih-alih menaikkan ambang batas parlemen, menurut Khoirunnisa, memperkecil alokasi jumlah kursi anggota DPR di setiap daerah pemilihan (dapil) jauh lebih efektif untuk menyederhanakan jumlah parpol di parlemen.
Di draf RUU Pemilu, jumlah kursi di setiap dapil sudah dikurangi menjadi 3-8 kursi dari yang berlaku pada pemilu sebelumnya, 3-10 kursi.

Nurhasim sependapat. Angka ambang batas parlemen sebesar 4 persen dinilainya relatif memadai untuk menggambarkan pluralitas politik masyarakat dan pengelompokan ideologi saat ini. Karena itu, tidak perlu dinaikkan.

Adapun terkait jumlah kursi di setiap dapil, ia melihat jumlah yang tertera di RUU Pemilu masih belum bisa menyederhanakan jumlah parpol di parlemen. Pasalnya, ia melihat sembilan parpol di DPR saat ini masih berpeluang untuk memperoleh kursi.

”Kalau besaran dapil 3-8 kursi, 9 parpol sebenarnya masih bisa dapat semua. Namun, kalau diperkecil lagi menjadi 3-7, kemungkinan partai yang mendapatkan kursi hanya 8-9 partai, sedangkan apabila diperkecil menjadi 3-6, hanya 7-8 parpol,” katanya.

Golkar dan Nasdem

Menurut Saan Mustopa, nilai ambang batas parlemen 7 persen di RUU Pemilu belum final. Sikap fraksi masih berbeda-beda. Di antara sembilan fraksi di DPR, ia menyebutkan, hanya Fraksi Partai Golkar dan Nasdem yang setuju besaran ambang batas 7 persen. Alasannya untuk menyederhanakan jumlah parpol di parlemen sehingga dapat menguatkan sistem presidensial.

Adapun fraksi lainnya, seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menginginkan ambang batas parlemen tetap 4 persen.

Lain lagi dengan Fraksi PDI-P yang menginginkan ambang batas nasional tak hanya berlaku untuk penentuan kursi DPR, tetapi juga DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Untuk DPR, PDI-P mengusulkan ambang batas 5 persen, provinsi 4 persen, dan kabupaten/kota 3 persen.

”Tentu nanti ketika pembahasan akan ada dinamika, dan saya yakin akan ada titik temu. Di mana titik temunya nanti kita lihat,” ujar Saan.

Namun, selain mengutak- atik ambang batas parlemen, ia pun melihat memperkecil jumlah kursi di setiap dapil dapat menjadi solusi untuk menyederhanakan jumlah parpol di parlemen. Karena itu, hal tersebut juga akan didalami DPR saat membahas RUU Pemilu kelak.

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo mengatakan, PDI-P mengusulkan ambang batas parlemen diatur berjenjang untuk nasional dan daerah karena sistem itu juga dapat menyederhanakan jumlah parpol.

”Kami mendorong itu karena kami melihat pilihan rakyat bisa berbeda-beda untuk setiap jenjang pemilihan. Upaya ini juga dalam rangka tetap mengakomodasi aspirasi politik di tingkat lokal yang berbeda. Secara bertahap, hal itu juga untuk penyederhanaan sistem kepartaian,” katanya.

Partai nonparlemen

Sementara itu, sekretaris jenderal (sekjen) dari tujuh parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2019 berkomunikasi secara daring, Sabtu (6/6) malam, menyikapi besaran ambang batas parlemen 7 persen seperti disebutkan di dalam draf RUU Pemilu.

Tujuh parpol itu, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Perindo, Garuda, Hanura, Partai Bulan Bintang, dan Partai Berkarya. Pada intinya, mereka sama-sama menolak kenaikan ambang batas parlemen jadi 7 persen.

Sekjen Hanura Gede Pasek Suardika mengatakan, jika kenaikan itu direalisasikan, esensi kesakralan demokrasi, yakni suara rakyat yang seharusnya dikawal sebaik-baiknya, berarti telah disabot aturan yang sengaja dibuat parpol besar.

Pasalnya, dengan kenaikan ambang batas parlemen, akan lebih banyak suara rakyat yang hangus atau tak terwakili di DPR. ”Itu baru suara sah nasional. Jika mau dipaksakan diberlakukan sampai ke daerah, puluhan juta suara sah rakyat untuk DPRD kabupaten, kota, dan provinsi juga disingkirkan oleh satu pasal, bahkan satu ayat dalam UU Pemilu,” katanya.

Selain itu, kenaikan ambang batas parlemen berpotensi akan menafikan keragaman aspirasi politik di Indonesia. Dampak buruknya lagi, aturan tersebut akan membuat pemilu bisa kembali seperti pada masa Orde Baru, yakni diikuti oleh tiga partai politik saja.

Agar DPR tidak menaikkan ambang batas parlemen, Sekjen Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Verry Surya Hendrawan menyatakan, para sekjen yang menamakan kelompoknya Forum Sekjen Pro- Demokrasi akan mengintensifkan komunikasi dengan para anggota DPR dan partai politik yang mengusulkan kenaikan ambang batas itu. Komunikasi juga diintensifkan dengan fraksi-fraksi yang menolak guna memperkuat sikap penolakan atas kenaikan tersebut. (RINI KUSTIASIH/PRAYOGI DWI SULISTYO)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas https://kompas.id/baca/polhuk/2020/06/08/ambang-batas-parlemen-masih-dinamis/