November 15, 2024

Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Omong Kosong Penguatan Presidensialisme

Pembentuk undang-undang terlalu meyakini pemberlakuan syarat pencalonan presiden berupa ambang batas 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 25 persen suara sah hasil pemilu nasional mampu memperkuat sistem presidensial yang dianut Indonesia.

Pemberlakuan syarat yang sering salah kaprah disebut presidential threshold ini akan memaksa partai untuk membentuk koalisi yang solid sejak awal untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Dengan koalisi solid sejak awal itu, presiden terpilih kelak akan mendapat dukungan kursi memadai di DPR. Dukungan DPR yang solid, dalam sistem presidensial, sangat dibutuhkan. Sebab perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan—misalnya pembentukan undang-undang serta penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara—dilakukan oleh presiden dan DPR secara bersama-sama. Nantinya, presiden lebih leluasa menjalankan kebijakannya karena mendapat dukungan koalisi partai. Inilah yang disebut sistem pemerintahan presidensialisme yang efektif.

“Ambang batas akan memaksa partai politik untuk melakukan konsolidasi politik sehingga dengan adanya gabungan partai politik pendukung presiden, maka akan memperkuat sistem presidensial. Akan terjadi koalisi untuk memperkuat pelaksanaan pemerintahan sehingga akan membangun pemerintahan yang efektif,” kata Arsul Sani, Anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan, saat memberi keterangan pada sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta (14/10).

Lemah

Djayadi Hanan, dosen ilmu politik pada Universitas Paramadina, menganggap argumen penguatan presidensialisme melalui pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden sangat lemah. Tujuan memperkuat dukungan politik di parlemen kepada calon presiden berpotensi tidak tercapai. Hasil Pemilu 2014 yang menjadi acuan ambang batas telah kedaluwarsa. Ada potensi partai yang pada Pemilu 2014 mendapat kursi banyak, pada Pemilu 2019 justru menurun.

“Katakanlah (calon presiden 2019) didukung oleh 30 persen atau 40 persen kursi DPR hasil Pemilu 2014. Tapi kemudian, potensi dukungannya menurun di tahun 2019 misalnya karena sangat parah menjadi 20 persen atau menjadi 15 persen. Itu berarti tujuan untuk memperkuat sistem presidensial menjadi tidak tercapai melalui cara itu,” kata Djayadi saat memberi keterangan sebagai ahli pada sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta (14/10).

Angka 20 persen kursi juga tidak menjamin akan adanya dukungan mayoritas bagi presiden di DPR. Angka 20 persen kursi bukan mayoritas. Jika ingin mencari dukungan mayoritas, seharusnya ambang batas pencalonan presiden bukan 20 persen, melainkan 50 persen.

Pemberlakuan ambang batas ini hanya akan membuat koalisi dibangun untuk memenuhi syarat 20 persen saja. Partai-partai, terutama dengan raihan kursi yang sedikit, terpaksa berkoalisi karena tidak ada pilihan lain. Atau, partai-partai bisa juga berkolusi untuk menjegal pencalonan dari pihak lain dengan memborong dukungan.

“Dalam suasana sistem kepartaian kita yang tidak ideologis seperti sekarang, ambang batas pencalonan presiden justru menyuburkan transaksi untuk berkoalisi,” tandas doktor ilmu politik dengan spesialisasi penelitian sistem presidensial dalam konteks multipartai ini.

Koalisi pencalonan presiden dan koalisi pemerintahan juga dinilai berbeda. Koalisi akan berkembang mengikuti transaksi kepentingan saat calon tersebut terpilih dan menjalankan pemerintahan. Presiden Joko Widodo, misalnya, saat dicalonkan hanya mengantongi dukungan minoritas. Namun saat ini, koalisinya menjadi supermayoritas dengan mengantongi 69 persen kursi DPR.

Koalisi murni

Tanpa ada ambang batas, koalisi justru akan terbentuk lebih murni. Koalisi tidak didasari keterpaksaan untuk memenuhi ketentuan ambang batas pencalonan presiden. Banyak pertimbangan yang akan dipakai untuk menyesuaikan dengan dinamika politik yang terjadi. Partai-partai yang memiliki kesamaan kesepahaman akan berlanjut membentuk koalisi. Sementara jika tidak sepaham, partai masih punya pilihan alternatif lain—tidak ada keterpaksaan dan penjegalan.

Untuk memperkuat sistem presidensialisme, konstitusi telah memadai memberikan jaminan melalui sistem pemilu majority run-off atau dua putaran. Pada putaran kedua, partai-partai bisa berkoalisi untuk membentuk kekuatan mayoritas yang kelak bisa juga menjadi modal untuk mendukung presiden di parlemen.

Tidak ada hubungan langsung antara pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden dengan penguatan presidensialisme. Penguatan presidensialisme justru dipengaruhi oleh elemen lain dari sistem pemilu. Elemen itu antara lain satu atau dua putaran, metode konversi suara jadi kursi, besaran daerah pemilihan, dan lain-lain. Utak-atik sistem itu bisa memaksa partai untuk membentuk koalisi yang lebih solid dengan cara yang natural.

Membatasi arena pertarungan

Hadar Nafis Gumay, pendiri Constitutional and Electoral Reform Center (Correct), mempertanyakan maksud pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden ini. Ia mempertanyakan apakah ambang batas ini diterapkan untuk membuat lebih sedikit pasangan yang mencalonkan menjadi presiden. Jika maksud pembuat undang-undang demikian, ketentuan ini berpotensi bertentangan dengan konstitusi.

Djayadi memandang penerapan ambang batas dimaksudkan untuk membatasi arena pertarungan. Dengan adanya ketentuan ambang batas, jumlah orang yang bisa berkompetisi dibatasi.

“Niatnya adalah untuk agar power game-nya tidak terlalu rumit kalau terlalu banyak calon begitu,” tegas Djayadi.