Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi dasar penyelenggaraan pilkada di 2015. Perppu pilkada langsung ini membolehkan penggunaan e-voting. Pasal 85 ayat (1) Perppu No. 1 Tahun 2014 menyebutkan Pemberian suara untuk Pemilihan dapat dilakukan dengan cara: a. memberi tanda satu kali pada surat suara; atau b. memberi suara melalui peralatan Pemilihan suara secara elektronik.
Untuk memahami lebih jauh penerapan e-voting, rumahpemilu.org (8/11) menuliskan pembahasan e-voting dengan pakar perbandingan penyelenggaraan pemilu, Anastasia Wibawa. Berikut pembahasannya:
Apakah e-voting di Pilkada 2015 bisa menjadi bagian solusi atau menambah masalah?
Semua teknologi termasuk e-voting, tak bebas masalah dan risiko. Tantangannya besar, dan tak semata hanya terkait kompleksitas teknologi. Perlu diingat, dari beberapa alternatif e-voting, baik mesin pencatan langsung, yang mengandalkan pengindai, pencetakan suara, maupun melalui internet,tak ada satupun yang sempurna. Tanpa perencanaan dan disain cermat, pengenalan e-voting justru dapat merusak kepercayaan keseluruhan proses dan hasil pemilu.
Apa kelebihan e-voting?
Kelebihannya banyak. Penghitungan dan tabulasi suara lebih cepat dan akurat karena kesalahan manusia dikecualikan. Penanganannya efisien dibandingkan cara konvensional yang rumit dan menyertakan prosedur perhitungan yang melelahkan. Tampilan pun lebih baik dibanding surat suara yang rumit. Kenyamanan pemilih pun meningkat. Partisipasi pun berpotensi meningkatkan. E-voting lebih selaras dengan masyarakat bermobilitas tinggi. Bisa mencegah kecurangan TPS karena mengurangi campur tangan manusia.
Apa kekurangan e-voting?
Kekurangannya pun banyak. Kurangnya transparansi salah satunya keterbatasan terhadap keterbukaan dan pemahaman sistem bagi yang bukan ahlinya. Kurangnya standar yang disepakati sehingga memerlukan sertifikasi sistem, tapi standar sertifikasi tak disepakati luas. Berpotensi melanggar kerahasiaan pemilihan, khususnya dalam sistem yang melakukan autentikasi pemilih maupun suara yang diberikan. Ada risiko manipulasi orang dalam dengan akses istimewa ke sistem atau oleh peretas dari luar. Kemungkinan kecurangan dengan manipulasi besar-besaran oleh sekelompok kecil orang dalam. Kurangnya tingkat kendali penyelenggara pemilu karena tingginya ketergantungan terhadap vendor dan/atau teknologi.
Soal biaya pun menjadi kekurangan dari e-voting karena terkait meningkatnya persyaratan. Terjadi peningkatan biaya baik pembelian maupun sistem pemeliharaannya. Persyaratan infrastruktur dan lingkungan menjadi meningkat, contohnya, berkaitan dengan pasokan listrik, teknologi komunikasi, suhu, kelembaban. Meningkatnya persyaratan keamanan untuk melindungi sistem pemberian suara selama dan antara pemilu ke pemilu selanjutnya.
Bagi pihak pendukung penerapan di pilkada 2015, e-voting dinilai efisien, murah. Penjelasan makna murah ini lebih utuhnya bagaimana ya?
Di media ada pihak yang menyatakan, evoting lebih murah. Hanya 10 juta untuk pilkades dibandingkan 25 juta pelaksanaan manual. 10 juta ini biaya apa? Yang harus juga dipertimbangkan dalam e-voting sangat banyak. Perlu dikembangkan bagaimana technical requirement dari evoting ini. Mungkin untuk pilkades bisa. Calonnya sedikit. Ketika kita membicarakan pilkada, sedikit lebih sulit, lalu pemilu nasional dengan jumlah partai, pemilihan langsung. Semakin tinggi tingkatannya menjadi jauh lebih rumit. Kemudian perlu dikembangkan perangkat keras dan lunaknya, bukan hanya kemudian 10 juta itu hanya digunakan untuk membeli alat.
Bagaimana distribusinya? Distribusi alat seperti ini tak semudah distribusi kotak dan kertas suara, karena masalah keamanannya menjadi jauh lebih rumit. Bagaimana infrastruktur di TPS? Apa semua TPS sudah berlistrik? Apakah sudah memiliki tempat mengirimkan data, karena teknologi yang dikembangkan sekarang, data itu harus dikirimkan segera setelah pemungutan suara. Ini belum membahas soal kemanan, tapi itu pun apakah sudah termasuk ke dalam 10 juta yang dikatakan? Teknologi juga punya umur. Apakah evoting bisa digunakan selama 5 kali pemilu? Tak bisa, karena itu pun jadi bermasalah. Jadi apakah 10 juta itu sudah mencakup itu semua?
Bagaimana pengalaman negara lain yang menggunakan e-voting?
Sebuah penelitan e-voting di Norwegia menemukan, di 2012 terdapat 31 negara di dunia pernah menggunakan e-voting dalam pemilu. Hanya 4 negara yang masih menerapkan e-voting di negaranya secara menyeluruh, Brazil, Filipina, India, dan Venezuela. Terdapat 8 negara yang hanya sebagian wilayahnya yang menerapkan e-voting, Argentina, Belgia, Canada, Perancis, Japan, Mexico, Peru, dan Amerika Serikat. Terdapat 3 negara yang sebelumnya menggunakan e-voting namun kemudian memutuskan untuk tidak menggunakannya kembali, Jerman, Belanda, dan Paraguay.
Yang menarik, dari segi wilayah semakin banyak negara Asia yang tertarik menerapkan evoting, dan negara relatif lebih maju, seperti negara Eropa justru menarik diri atau kemudian lebih berhati-hati dalam menggunakan evoting. Indonesia sedang tertarik menggunakan e-voting.
Bisa lebih dijelaskan keadaan negara Asia yang sudah dan masih menerapkan e-voting!
Di India mereka tidak luput dari kelemahan sistem ini. Pada 2008, mereka sangat yakin sistemnya sangat handal, tak bisa ditembus. Kemudian, ada sebuah penelitian akademis yang menemukan kelemahan dari sistem evoting yang dianut India. Kelemahan tersebut datang bukan dari teknologi itu sendiri. Tapi, ketika evoting itu tak digunakan, mesin itu harus disimpan, dan proses penyimpanan ini jadi bermasalah, karena siapa pun yang memiliki akses terhadap mesin itu, ia bisa memanipulasi suara dalam mesin tersebut.
Permintaan penerapan e-voting terkait dengan keadaan penerapan teknologi pada hal atau bidang lain. Apakah selinear itu kaitannya?
Salah satu pernyataan yang beberapa minggu lalu sering saya baca di media adalah evoting itu pasti sukses karena Indonesia siap. Masalah internet banking, masalah incommerce, masalah ATM, semuanya sudah bisa. Padahal evoting ini merupakan sistem yang berbeda dengan sistem yang diterapkan oleh perbankan. Salah satu hal yang sederhana, misalnya, kalau di perbankan ada sistem bagaimana kemudian setiap strok itu ada identifikasi untuk memastikan bahwa stroke ini teridentifikasi dengan rekening penggunanya. Sistem seperti itu tak bisa diterapkan di Pemilu di Indonesia, karena ada asas kerahasiaan yang harus diasuh sistem evoting.
Siapa yang bisa memutuskan pelaksanaan evoting ini? Â
Yang saya lihat, saat ini pelaksanaan uji coba evoting bukan dari KPU. Sementara penyelenggara pemilu di Indonesia haruslah KPU, yang kemudian diawasi Bawaslu. Kalau mereka belum terlibat dalam uji coba itu, bisa dikatakan Indonesia tak pernah melakukan uji coba evoting, karena sebagai penyelenggara pemilu yang memahami asas-asas kepemiluan, itu harus dipertimbangkan.
Kita juga perlu melakukan restrukturisasi dari KPU sendiri, karena dibutuhkan komponen yang sangat besar untuk KPU mengetahui, mungkin dari IT-nya. Jangan sampai kejadian di KPU Filipina terjadi di Indonesia, ketika KPU, sebagai penyelenggara pemilu, menjadi tergantung kepada vendor teknologi ini. ketika KPU tidak mengetahui sebelumnya, yang memecahkan masalah kemudian adalah si vendor. []