Undang-undang No.10 Tahun 2016 mengharuskan cuti bagi petahana kepala daerah yang mencalonkan di pilkada pada daerah yang sama. Ketentuan ini coba digugat melalui uji materi (judicial review) oleh Plt. Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang mencalonkan dengan alasan kerja dan pengawalan anggaran daerah (APBD). Seberapa relevan aturan dan gugatan ini, berikut penjelasan peneliti Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), Apung Widadi:
Bisakah diterima alasan kerja dan menjalan anggaran bagi petahana untuk menolak cuti kampanye?
Tidak bisa. Ini soal etika petahana. Pejabat publik. Itu pertama. Yang kedua, aturan cuti ini sudah lama. Sebagai petahana kepala daerah yang baru pertama berkesempatan mencalonkan gubernur, Ahok pasti sudah menyadari kemungkinan mencalonkan di Pilkada 2017. Kerja dan komitmen anggaran bukan alasan yang relevan karena harusya ia sudah mempersiapkan itu.
Apa yang dimaksud mempersiapkan itu?
Petahana bisa percepat kerja sebelum cuti kampanye. Tentu dengan mempercepat perencanaan, memperbaiki hubungan dengan DPRD, dan menyegerakan sektor prioritas dalam APBD 2017. Misal, kesehatan dan pendidikan. Jika percepatan ini sudah dilakukan, petahana akan plong saat kampanye. Masalah terpilih lagi atau tidak, yang penting tugas utama sudah selesai. Kalaupun tidak terpilih lagi, yang jelas telah mempersiapkan APBD 2017 dan tidak meninggalkan pekerjaan rumah untuk pemerintahan berikutnya.
Bisa dijelaskan lagi, relevansinya apa cuti bagi petahana yang mencalonkan di pilkada?
Dari kacamata korupsi politik, petahana jika mencalonkan punya kesempatan terbesar memenangkan pilkada. Pertama, petahana berkesempatan bekerja selama memimpin. Kedua, ini yang utama, petahana bisa membajak dukungan sumberdaya birokrasi dan sumberdaya anggaran. Jika tidak dibatasi, maka penyalahgunaan wewenang biasanya digunakan petahana agar terpilih kembali.
Bentuk penyalahgunaan kewenangan petahana dalam pencalonan pilkada konkretnya seperti apa?
Misalnya, perombakan birokrasi agar mensolidkan dukungan politik. Selain itu, pada saat awal tahun pembahasan APBD, anggaran populis seeprti bansos, hibah, dan bantuan langsung tunai mendadak diperbesar alokasi belanjanya dalam APBD. Sedangkan anggaran sektor lain seperti infrastruktur menjadi kecil. Mobilisasi aparat sipil negara dalam birokrasi dan penyelewengan anggaran menjadi kekuatan negative yang menciptakan kontestasi pilkada buruk dan tak adil.
Bisa dibilang, gugatan ini kecil peluang diterima Mahkamah Konstitusi?
Saya menilai, sah saja Ahok mengajukan gugatan ke MK. Tetapi jika lebih cermat, aturan kewajiban cuti pernah diputus MK pada 2008. Jimly Asshiddiqie yang mengetuai Majelis Hakim saat itu mengharuskan petahana mengambil cuti saat kampanye. Sebelumnya, undang-undang mengharuskan petahana mengundurkan diri enam bulam sebelum mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Harapan anda dari adanya gugatan cuti petahana ini?
Seknas Fitra sudah mempublikasikan sikap terhadap cuti petahan ini. Bagi kami, cuti petahana adalah keharusan, agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam hal penggunaan fasilitas negara dan potensi politisasi anggaran untuk kampanye. Kami menghimbau dan berharap, MK harus objektif dalam proses persidangan jika permohonan uji materi ini diterima. []
Foto: Suarakarya.id