Standar kemampuan dan standar pemeriksaan kesehatan jasmani dan rohani calon kepala daerah di Pilkada 2018 bertumpu pada Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017. Keputusan KPU tersebut dinilai diskriminatif bagi penyandang disabilitas dalam proses Pilkada Serentak 2018. Melalui Keputusannya, KPU memasukan disabilitas dalam kategori tidak memiliki kemampuan jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai kepala daerah. Akibatnya, penyandang disabilitas dianggap tidak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah.
Atas terbitnya surat keputusan itu, Ariani Soekanwo, Ketua Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA-Penca), memandang KPU kecolongan. KPU sebenarnya telah berlaku akomodatif terhadap penyandang disabilitas dalam penyusunan peraturan-peraturan. Tapi saat menerbitkan surat keputusan itu, KPU tak teliti. Kelalaian KPU berkonsekuensi fatal terhadap pemenuhan hak politik penyandang disabilitas.
Berikut pokok-pokok obrolan bersama Ariani Soekanwo dalam acara Bincang Live Facebook Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dengan tajuk “Pilkada Tidak Ramah Disabilitas” yang dipandu oleh Kholilullah P., peneliti Perludem.
Apa sebenarnya inti dari Keputusan KPU No. 231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017?
Keputusan itu mengatur prosedur pemeriksaan kesehatan jasmani dan rohani calon kepala daerah. Apa yang disampaikan di situ untuk prosedur pemeriksaan kesehatan memang begitu. Itu pekerjaan dokter dan mereka harus memeriksa fisik calon.
Di sini, KPU agak kecolongan. Kurang teliti. KPU banyak mengakomodasi hak penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas selalu dilibatkan pada bimbingan teknis KPU. Kita punya MoU dengan KPU RI. PKPU semua sudah oke dengan hak disabilitas. Kenapa di SK ini kok tidak sinkron sehingga kesimpulannya mendiskreditkan kemampuan penyandang disabilitas.
Mengapa surat keputusan ini mendiskriminasi penyandang disabilitas?
Kalau kita mendapat definisi dalam SK itu kita penyandang disabilitas langsung dibikin tidak mampu. Dari prosedur pemeriksaan kesehatan ini, penyandang disabilitas merasa dinilai tidak capable untuk dipilih. SK ini mengabaikan bahwa hambatan disabilitas bisa diatasi. Contohnya, disabilitas netra bisa memakai laptop atau komputer dengan screen reader. Mereka punya keterampilan jadi leader.
Mestinya ditegaskan bahwa prosedur pemeriksaan kesehatan ini bertujuan untuk memberi informasi dan tidak menjadi acuan untuk mendiskualifikasi calon ya?
Ya. Dia bisa menyatakan bahwa seseorang disabilitas netra atau fisik. Tapi tidak bisa menyatakan tidak capable menjadi calon dalam pilkada. Itu tidak bisa. Memang disabilitas netra disuruh baca ya gak bisa tapi kita punya pendekatan berbeda. Pengguna kursi roda pun punya hambatan, tapi mobilitas bisa. Itu tidak bisa dikatakan tidak capable menjadi calon kepala daerah. Penentuan disabilitas dan pemeriksaan kesehatan fisik itu tugas dokter. Itu kita akui. Tapi tidak dominan atas dasar pemeriksaan IDI itu kita dianggap tidak mampu. Itu kita tidak mau.
Kondisi fisik yang lengkap bukan satu-satunya faktor yang menentukan kapabilitas calon…
Ya. Harus diingat kondisi fisik bukanlah segalanya. Harus juga di dalam keputusan ini tidak menempatkan pemeriksaan kesehatan sebagai hal dominan. Kalau disabiltas dihadapkan dengan medis tentu akan dinyatakan tidak mampu. Fisik bukan hambatan bagi disabilitas. Non disabilitas melihat keterbatasn fisik sebagai hambatan.
Lalu apa yang harus dilakukan pada SK ini?
SK ini harus disempurnakan—direvisi untuk mengakomodasi hak penyandang disabilitas. Ini harus diberi pasal di SK ini. Ini ketinggalan. Kesehatan itu terlalu dominan. Hasil pemeriksaan kesehatan itu harusnya jadi catatan untuk penyediaan akomodasi yang layak bagi para calon
Revisi juga harus dilakukan khususnya pada Bab II, yang menafsirkan syarat “mampu jasmani dan rohani” paling lambat 12 Februari 2018, sebelum masuk dalam tahapan penetapan pasangan calon dalam Pilkada Serentak 2018.
Sebetulnya keputusan ini kan lebih rendah dari PKPU. Ini kalau diubah tidak akan bertentangan dengan UU. UU Pemilu sudah mendukung. Justru standar jasmani dan rohani dalam SK ini bertentangan dengan UU Pemilu, yang menyebutkan dalam penjelasan di berbagai pasal yang mengatur tentang syarat mampu jasmani dan rohani. Cacat tubuh tidak termasuk gangguan kesehatan. Cacat tubuh tidak termasuk kategori tidak mampu secara jasmani dan rohani”.