December 26, 2024

ARIEF BUDIMAN | Pembuktian Keberlanjutan Citra Positif KPU

Arief Budiman sebagai ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia merupakan nama yang popularitasnya 11-12 dengan Arief Budiman (Soe Hok Djin, kakak Soe Hok Gie) sebagai cendikiawan Indonesia yang juga aktivis demokrasi 1966. Dua nama yang dalam kepemiluan bermakna paradoks. Yang pertama mengajak kita memilih sedangkan yang kedua (dulu) mengajak kita untuk “Golput”. Di Pemilu Serentak 2019 popularitas positif Arief Budiman diukur pembuktiannya dalam memimpin KPU menyelenggarakan pemilu terbesar dan terkompleks di dunia.

Arief bukan orang baru di dalam aktivisme dan pemilu. Lelaki kelahiran Kota Surabaya, Jawa Timur pada 2 Maret 1974 ini adalah Ketua OSIS di SMA. Semasa kuliah di Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga, Fakultas Sastra Universitas Tarumanegara, dan Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) DI Yogyakarta, Arief aktif di kegiatan himpunan mahasiswa dan profesi. Pada pemilu pertama pasca-Reformasi, koordinator University Network For Free And Fair Election (UNFREL) Jawa Timur lalu  direktur National Network For Democracy Empowerment Jawa Timur (1999-2001), dan dilanjutkan ke pemantau regional Asian Network for Free Elections (ANFREL).

Pengalaman itu yang menjadi dasar keterlibatan Arief sebagai penyelenggara pemilu. Saat Ketua KPU Jawa Timur Abdul Mufti Fajar menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Arief menjadi anggota KPU Jawa Timur dengan pengganti antar waktu (PAW) sejak 2004 sampai 2012. Wakil sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM), Jawa Timur 2010-2015 ini lalu melanjutkan peran penyelenggara pemilunya ke KPU pusat 2012-2017 hingga 2017-2022.

Keberlanjutan

Dalam periode keanggotaan KPU 2017-2022, Arief Budiman merupakan sosok yang coba menjawab kebutuhan keberlanjutan penyelenggara pemilu. Sebelumnya, tak ada anggota KPU yang terpilih dua kali berturut-turut. Tapi, berdasar pengalaman, kelembagaan KPU membutuhkan orang yang bisa menghubungkan penyelenggaraan pemilu sebelumnya dengan pemilu selanjutnya. Bukan hanya dalam tataran pimpinan (komisioner) yang masa jabatannya 5 tahun tapi juga kesekretariatan.

Momen keserentakan pemilu pertama Indonesia menguatkan kesadaran keberlanjutan keanggotaan KPU. Arief Budiman adalah satu-satunya komisioner KPU yang sejak awal hingga akhir periode 2012-2017 kembali menjadi komisioner KPU periode 2017-2022. Citra positif dari personal serta kolektif kolegia dan koordinasi kesekretariatan KPU diharapkan berlanjut, setidaknya dipertahankan.

Salah satu yang inspiratif dari KPU 2012-2017 periode pertama Arief sebagai komisioner nasional adalah mengoptimalkan makna konstitusional kemandirian KPU. Banyak terobosan yang dilakukan KPU melalui kewenangannya dalam membuat peraturan. Ada PKPU daftar pemilu dengan ragam istilah daftar pemilih yang melayani, pengoptimalan afirmasi perempuan dalam pemilu legislatif dan rekrutmen penyelenggara, pembelaan pemilih disabilitas mental, menjamin keterbukaan dan akuntabilitas setiap proses dan tahapan pemilu, dan bersikap mandiri terhadap anggot DPR dengan memaknai hasil konsultasi bukan sebagai kewajiban yang mengikat KPU.

Kemandirian kuat KPU di periode sebelumnya coba dilanjutkan oleh Arief. Setidaknya ada tiga momen kemandirian KPU coba Arief teguhkan di 2017-2022. Pertama, verifikasi partai politik peserta pemilu melalui sistem informasi partai politik (Sipol). Kedua, pelarangan mantan koruptor (bandar narkoba, dan pedofilia) menjadi calon legislator (DPR, DPD, dan DPRD). Ketiga, terus bersikap pada tafsir konstitusional untuk menolak pencalonan Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Oedang (OSO) sebagai caleg Pemilu DPD.

Keterbukaan

Ada gaya kepemimpinan yang berbeda antara Ketua KPU 2012-2017, (almarhum) Husni Kamil Manik dengan Arief Budiman. Husni cenderung tenang dan menjaga harmoni antarpihak. Sedangkan Arief cenderung apa adanya bertutur dan bersikap. Mungkin ini kontribusi dari stereotipe Wong Jawa Timur dan kultur keterbukaan hubungan internasional yang lugas.

Perbedaan itu sudah tergambar sejak awal periode 2012-2017. Saat tiap komisioner berganti memimpin sidang pleno terbuka penetapan parpol peserta Pemilu 2014, sikap Husni berbeda dengan Arief. Husni menyikapi dingin oknum perwakilan parpol yang sudah teriak berkata kasar. Sedangkan Arief menghentak forum dengan teriak dan tunjukan jari. “Hey! Keluar!” Ujarnya mengusir oknum parpol tersebut.

Saat memimpin KPU 2017-2022 pun Arief menunjukan keapaadannya. Arief tak bisa menolerir ada wartawan pemilu yang menggunakan istilah “pemilih gila” atau menanyakan sekonyong-konyong “kotak suara kerdus”. Baginya, beberapa wartawan menyertakan arahan redaksi media harus diingatkan untuk terus belajar mengenai pemilu. Menurut Arief, bukan hanya KPU yang bersiap dalam pemilu tapi juga semua pihak perlu bersiap sesuai dengan peran dan fungsinya.

Arief tampak percaya bahwa keapaadaan terbuka akan mendorong keadaan yang bisa cepat diperbaiki. Ia sampaikan ke publik bahwa ada peretas yang menggunakan IP (Internet Protocol) Address dari Cina dan Rusia yang menyerang situs KPU. Di tengah tren deligitamasi proses dan hasil pemilu, sikap Arief bisa menguatkan deligitimasi tapi bisa juga menciptakan kepercayaan masyarakat kepada KPU yang memang bekerja keras tapi ada aspek di luar perkiraan KPU.

KPU dan pemilu Indonesia belakangan punya kebutuhan lebih untuk peningkatan kepercayaan proses dan hasil pemilu. Saat banyak pemangku kepentingan terbelah karena peserta pemilu dan dukungan, KPU adalah pihak terakhir yang menjadi pegangan Luber dan Jurdilnya pemilu. Di Pemilu 2014, keterbelahan banyak pihak bisa disikapi KPU dengan damai dan demokratis.

KPU 2012-2017 masa Arief menjabat, untuk pertama kalinya menutup kerja penyelenggaraan pemilu tanpa permasalahan prinsipil. Kita ingat, Pemilu 1999 penyelenggara pemilu yang teridiri dari perwakilan partai politik peserta pemilu jelas bukan format baik KPU. Pemilu 2004, implementasi pertama “komisi pemilihan umum yang nasional, tetap, dan mandiri” pertama hasil amandemen konstitusi sayangnya berkasus korupsi oleh beberapa komisonernya. Pemilu 2009 punya KPU bercelaka dengan masalah prinsipil daftar pemilih.

Indonesia sudah tepat memilih Arief sebagai pemimpin yang melanjutkan penyelenggaraan pemilu transisi penguatan presidensial Indonesia dari Pemilu 2014 ke Pemilu 2019 ini. Pengalaman dan capaian gemilang sebelumnya dipertaruhkan beserta harapan. Hasil Pemilu 2019 adalah gambaran kualitasnya. []

USEP HASAN SADIKIN